Penulis : Celly Tomokianz
*(Bagian 1 – “Sekolah atau Panggung Gaya?”)*
Namanya **Anisa**, ibu tunggal dari seorang anak laki-laki kelas dua SD. Sejak pagi, ia sudah bangun lebih awal—menyiapkan sarapan, bekal, lalu mengantar anaknya dengan motor tuanya yang sering mogok. Tapi hari ini bukan sekadar hari antar-jemput biasa, hari ini ada rapat sekolah.
Di aula, Anisa duduk paling belakang. Ia bukan pemalu, bukan pula penakut, tapi ia tahu... **keberadaannya jarang dianggap**. Ibu-ibu lain sudah lebih dulu datang dengan tas bermerek, baju modis, sepatu berkilau. Beberapa bahkan sibuk selfie sebelum rapat dimulai.
Saat kepala sekolah berbicara soal kegiatan pentas seni, seorang ibu menyela:
“Kita bikin seragam baru ya Bu, yang bahannya bagus, dan jangan lupa make-up-nya profesional. Kalau bisa panggil EO, biar megah sekalian...”
Anisa mengangkat tangan.
“Maaf, Bu... Kalau acaranya fokus ke anak-anak, mungkin cukup sederhana saja. Yang penting anak senang dan tidak membebani orang tua.”
Ruangan langsung hening.
Beberapa ibu melirik dari ujung mata. Ada yang tersenyum sinis. Seorang ibu berbisik pada temannya, cukup keras untuk didengar:
“Aduh, ini lagi yang ngomong. Udah tau nggak mampu, tapi rewel aja.”
Anisa tersenyum pahit. Sudah sering ia diperlakukan seperti itu.
Ia menunduk, menahan air mata. Bukan karena malu, tapi karena lelah.
"Kalau semua sudah ditentukan, untuk apa dimusyawarahkan?"
Pertanyaan itu tak pernah dijawab. Hanya dibalas dengan senyuman hambar dan pandangan yang menghakimi.
Suatu hari, Anisa mencoba bicara tentang kebijakan sekolah yang menyulitkan. Ia tidak marah, tidak kasar—hanya ingin didengar. Tapi hasilnya? Ia dicap sebagai pengacau. Ada yang berkata di belakang, “Sok pintar.” Ada yang menghindar, seolah ucapannya membawa racun.
Padahal, ia hanya ingin kebaikan untuk anak-anak, bukan panggung untuk dirinya.
Lelah karena **sekolah sekarang bukan lagi tempat belajar**, tapi sudah jadi **tempat pamer dan bersaing antarorang tua**.
“Kata Pak Dedi itu gaya elit, ekonomi sulit,” gumamnya dalam hati, mengingat satu-satunya pejabat yang ia rasa benar-benar paham isi hati rakyat kecil.
Saat rapat selesai, Anisa berjalan pulang sendirian. Tidak ada yang menyapanya. Tapi ia tidak menyesal. Ia hanya ingin anak-anak bisa sekolah dengan damai. Tanpa harus menjadi ajang eksistensi orang tua. Tanpa harus membuat yang miskin merasa asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah ilmu.
“Kembalikan dunia pendidikan seperti dulu...” katanya dalam hati.
“Di mana guru mengajar, murid belajar, dan orang tua percaya.”
“Bukan ikut campur, bukan ikut gaya, bukan ikut membuat gaduh.”
---
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar