Sabtu, 17 Mei 2025

PEREMPUAN YANG TAK DIANGGAP

 

"Perempuan yang Tidak Dianggap"

Oleh: Celly Tomokianz

Namanya Rania.
Perempuan yang dulu memilih diam saat dimaki. Yang dulu tetap menyapa dengan sopan meski hatinya koyak. Yang dulu masih berusaha menjaga tali, meski ujungnya selalu ia genggam sendiri.

Rania pernah mencintai. Pernah menikah. Pernah percaya.
Dari pernikahan itu, ia dianugerahi seorang anak laki-laki. Satu-satunya alasan ia terus bertahan di dunia yang begitu sering menyakitinya.

Setelah rumah tangga mereka retak, Rania memilih diam.
Bukan karena kalah, tapi karena ia lelah terus berteriak pada dinding yang tak pernah mau mendengar.

Ia masih menjaga komunikasi dengan keluarga mantan suaminya. Bukan untuk dirinya—tapi untuk anaknya.
"Aku ingin anakku tetap kenal siapa keluarga ayahnya," katanya.
Tulus. Selalu dari tempat yang paling tulus.

Tapi balasannya?
Ucapan manis di depan, racun di belakang.
Mereka tersenyum padanya, tapi diam-diam menjelekkan nama baiknya. Bahkan, menyusupkan kalimat-kalimat buruk ke telinga anaknya. "Ayah tirimu itu bukan orang baik."
Padahal, ayah tiri itulah yang kini bertanggung jawab, yang memenuhi semua kebutuhan anak mereka tanpa banyak bicara.

Rania hanya bisa menunduk. Menahan marah. Menelan semua kecewa.
Dan mantan suaminya?
Datang dan pergi sesuka hati. Mengirim pesan panjang, telepon berkali-kali, hanya untuk menyudutkan.
Setiap kali Rania bicara soal nafkah anak, pria itu justru memutar balik pembicaraan. Menuduh, menyalahkan, memaki.
Seolah-olah Rania minta sesuatu yang bukan haknya.

"Uang lebaran kemarin aku sudah kasih!" katanya.
Padahal Rania tak menerima satu sen pun. Rupanya, uang itu disalurkan lewat saudara, dan Rania tak pernah tahu itu berasal darinya.
Saat Rania jujur soal baju yang kebesaran dan mudah rusak, ia malah dihina.
Kamu bukan siapa-siapa di keluargaku!”
Kalimat itu seperti pisau. Tapi anehnya, Rania tidak menangis. Ia sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu. Hatinyapun sudah kebas.

Namun tetap saja, malam itu ia diam lama di kamar.
Menatap anaknya yang tertidur pulas, menggenggam jari kecil itu.
Ia tahu, hanya ini yang paling berharga.
Dan karena anak ini... ia tetap bertahan.

Esoknya, ia mengambil keputusan.
Bukan dengan marah.
Bukan dengan benci.
Tapi dengan sadar: ia akan berjarak.
Bukan putus silaturahmi, tapi cukup tahu tempat.
Ia tak akan memaksakan kehangatan pada orang-orang yang tak pernah menganggapnya ada.

Rania mulai belajar...
Bahwa tidak semua ketulusan akan dibalas.
Bahwa tidak semua orang tahu caranya menghargai.
Dan bahwa menjadi perempuan kuat, bukan berarti harus terus bertahan di tempat yang menyakiti.

Karena pada akhirnya, ia sadar…
Ia memang bukan siapa-siapa di mata mereka.
Tapi ia adalah segala-galanya bagi anak yang kini ia besarkan dengan cinta.



Perempuan yang Tidak Dianggap (Bab 2: Luka yang Tak Lagi Disembunyikan)

Rania berjalan pelan ke dapur, matanya masih sembab.
Ia baru saja melewati malam yang panjang—lagi. Mantan suaminya mengirim pesan-pesan bernada kasar, menyindir, menyalahkan, bahkan membentak melalui voice note.
Semua karena satu hal: Rania meminta tanggung jawab atas anak mereka.

Satu tahun sekali aja ngasih uang, itu pun kamu marah-marah?”
Bajunya jelek? Kamu tuh nggak tahu diri!”
Kamu itu siapa? Bukan siapa-siapa di keluargaku!”

Kata-kata itu terus terngiang, memukul sisi-sisi hatinya yang sudah lama patah tapi belum pernah benar-benar sembuh.

Sambil membuat sarapan untuk anaknya, Rania melihat bayangan dirinya di kaca jendela.
Ada lingkar hitam di bawah mata. Ada kerutan yang muncul lebih cepat dari seharusnya. Tapi yang paling kentara adalah… sorot lelah dalam tatapan seorang ibu yang sudah terlalu lama menahan segalanya sendiri.

Ia menoleh ke arah ruang tamu.
Di sana, suami barunya—Adnan—sedang membantu anak mereka merapikan tas.
Laki-laki itu bukan sempurna. Tapi ia hadir. Ia peduli. Ia tidak pernah memaksa anak itu menyebutnya “ayah,” tapi selalu memastikan anak itu punya sepatu yang layak, buku yang lengkap, dan peluk hangat sebelum tidur.

Rania menahan napas.
Satu sisi hatinya bersyukur, sisi lain masih dihantui oleh rasa nggak enak—karena semua kebutuhan anak ditanggung Adnan, bukan ayah kandungnya.
Dan karena itu… kadang ia merasa bersalah, meski ia tahu, itu bukan salahnya.

Sayang, kamu kenapa diam aja?” tanya Adnan tiba-tiba, memecah lamunan.

Rania tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Cuma… capek aja.”

Adnan tidak bertanya lebih jauh. Tapi seperti biasa, dia mendekat, menaruh tangan di bahu Rania. “Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku di sini.”

Kali ini, Rania tidak tahan lagi. Ia menangis. Untuk pertama kalinya, di hadapan seseorang yang tak menghakiminya.


Bab 3: Luka dari Masa Lalu yang Tak Mau Pergi

Beberapa hari kemudian, Rania menerima kabar bahwa keluarga mantan suaminya sedang berkumpul. Anak mereka diundang.
Dan seperti biasa, mereka tidak menyampaikan undangan itu secara langsung kepada Rania, melainkan lewat grup keluarga yang bahkan kadang ia tidak tahu masih ada.

Rania mengizinkan anaknya pergi. Ia tidak ingin memutus hubungan darah. Tapi sebelum anaknya pergi, ia menatap dalam-dalam mata kecil itu.
Nak, kamu boleh main ke rumah keluarga ayahmu. Tapi kamu juga harus tahu, yang sekarang bersamamu setiap hari itu adalah aku dan ayah Adnan. Kamu harus tahu siapa yang mencintaimu dengan nyata.”

Anaknya mengangguk. Rania tak ingin menanamkan kebencian, tapi ia ingin anaknya melihat kebenaran sendiri.

Beberapa jam setelah anaknya pergi, Rania menerima pesan suara dari keluarga mantan. Isinya? Sindiran. Tuduhan. Fitnah halus yang dibuat-buat.
Dan yang paling menyakitkan: anaknya dibilang lebih bahagia kalau tidak bersama Rania dan Adnan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...