Edisi: Cahaya Gemilang
Penulis: Celly Tomokianz
Bab 1 – Pertemuan Tak Terduga
Pertemuan kembali antara dua insan yang telah lama terpisah sejak masa sekolah dulu, tak pernah disangka akan menjadi awal dari kisah yang begitu hangat—penuh tawa dan canda. Cahaya, seorang wanita dewasa yang kini menjalani hidupnya dengan tenang, bertemu kembali dengan Gemilang, sahabat lamanya.
Hari demi hari berlalu, kedekatan mereka semakin erat. Ada tawa dalam setiap percakapan, candaan dalam setiap sapa, dan rasa nyaman yang tumbuh diam-diam. Gemilang seolah menjadikan Cahaya sebagai tempat pulangnya, selalu melapor sebelum berangkat kerja, selalu ada alasan untuk menyapa.
Namun dalam hati Cahaya, timbul keraguan. “Ah, mungkin dia hanya terlalu ramah... atau hanya sekadar iseng,” gumamnya suatu hari. Ia tak ingin terjebak dalam angan-angan yang mungkin hanya khayalan.
Bab 2 – Rasa yang Tak Terduga
Meski awalnya bersikap biasa, lambat laun perhatian Gemilang mulai menyentuh hati Cahaya. Ia merasa kehilangan ketika tak ada kabar dari Gemilang. Wajah, suara, bahkan bayangannya, terus mengisi ruang pikirannya.
Suatu hari, Cahaya mengunggah foto karya seseorang yang ia kagumi. Dalam foto itu, tampak seorang pria bertato di punggung. Gemilang, yang melihat foto itu, tanpa banyak tanya langsung menato punggungnya, menirukan gambar yang dilihatnya.
Cahaya terkejut.
“Apa itu kamu dalam foto itu?” tanyanya.
“Bukan, itu temanku,” jawab Gemilang datar.
“Kamu bertato seperti itu?”
“Iya. Kenapa, kamu nggak suka?”
“Tidak. Aku hanya suka karyanya, bukan orangnya. Aku tidak suka pria bertato,” jawab Cahaya tegas.
Sejak hari itu, Gemilang menghilang. Tak ada kabar, tak ada pesan. Cahaya mulai gelisah, merasa bersalah. “Apakah ucapanku membuatnya tersinggung?” pikirnya.
Bab 3 – Teka-Teki Hati
Cahaya merasa hampa. Hari-harinya tak lagi secerah dulu. Gemilang seolah menghilang ditelan waktu. Dalam sepi, ia bertanya pada diri sendiri: "Benarkah perasaanku? Sejak kapan aku menyayanginya? Kenapa bayangannya selalu hadir, bahkan dalam tidurku?”
Suatu hari, Cahaya mencoba menguji hati Gemilang. Ia memposting foto mesra bersama teman lelakinya yang tomboy, hanya untuk melihat reaksi Gemilang. Tapi rencana itu justru berbalik arah. Gemilang berubah drastis. Ia menjadi dingin dan menjaga jarak. Cahaya terdiam. Ia tak menyangka tindakannya membuat Gemilang menjauh.
Bab 4 – Bayangmu Tak Hilang
Hari-hari Cahaya menjadi muram. Tawa yang dulu menghiasi harinya menghilang. Ia menyesal telah bersikap sembrono. Namun semuanya sudah terlambat.
“Kau yang dulu memberi terang di malamku... kini menghilang, tertiup angin. Aku salah menafsirkan hadirmu. KAU BUKAN UNTUKKU... Tapi mengapa rindu ini tak jua pudar?”
Ia berharap—walau kecil—bahwa suatu hari Gemilang akan memahami perasaannya. Untuk saat ini, Cahaya memutuskan untuk melangkah. Ia mencoba move on, mencoba menjalani hari tanpa bayangan Gemilang. Tapi kenyataannya, bayangan itu masih hadir. Terus bermain di pikirannya.
Bab 5 – Kabar Terakhir
Waktu berlalu. Hari-hari sepi tak lagi diisi kabar dari Gemilang. Cahaya tetap bertanya-tanya, berharap suatu pagi ada pesan darinya. Tapi tidak ada. Hening.
Hingga suatu hari, kabar itu datang. Bukan dari Gemilang, tapi dari seorang teman lama. Dengan nada pelan dan hati-hati, ia berkata, “Gemilang sudah menikah.”
Cahaya terdiam. Dunia seolah berhenti berputar sejenak. Napasnya tercekat.
“Menikah?” ulangnya pelan, nyaris tak terdengar.
“Iya. Beberapa minggu lalu. Perempuannya bukan orang yang kita kenal, tapi katanya dari tempat kerjanya,” lanjut temannya.
Berita itu menghantam hati Cahaya seperti badai. Sakit. Pedih. Ia merasa ditinggalkan tanpa pernah diberi kesempatan untuk benar-benar tahu bagaimana perasaan Gemilang yang sebenarnya.
Namun ia tahu, ini adalah kenyataan. Dan seperti namanya, Cahaya harus terus bersinar meski kini Gemilang telah memilih jalan yang berbeda.
Bab 6 – Masih Sendiri
Hari-hari berlalu. Musim berganti. Namun hati Cahaya tetap di tempat yang sama—sepi dan sendiri. Meski ia mencoba membuka diri, mencoba mengalihkan pikirannya, kenyataan tak bisa disangkal: belum ada yang mampu menggantikan posisi Gemilang dalam hatinya.
Setiap kali ia melangkah lebih jauh, bayangan masa lalu itu kembali hadir. Seolah menegaskan bahwa ia belum benar-benar sembuh. Namun Cahaya tidak menyerah. Ia tak ingin terjebak dalam kenangan. Ia ingin bangkit, meski perlahan.
Ia percaya, mungkin saat ini belum waktunya. Tapi suatu hari, seseorang akan datang. Bukan untuk mengisi kekosongan, tapi untuk menyempurnakan.
Dan sampai saat itu tiba, Cahaya memilih tetap setia pada dirinya sendiri.
Bab 7 – Cahaya dalam Diam
Aku masih di sini. Di tempat yang sama. Duduk sendiri di teras rumah setiap sore, menatap langit jingga yang perlahan berubah kelam. Kadang kupikir, bagaimana bisa sebuah kenangan yang bahkan tak pernah resmi menjadi cinta, bisa begitu dalam meninggalkan jejak?
Aku mulai terbiasa. Mungkin ini semacam proses penyembuhan, meski sesekali luka itu berdarah lagi. Aku belajar menertawakan rindu yang tak pernah sampai. Belajar berdamai dengan kehilangan yang bahkan tak sempat memiliki.
Aku mulai kembali menulis, menumpahkan segalanya pada kata. Menulis membuatku lega, membuatku merasa hidup. Entah kenapa, dari semua luka yang kubawa, justru lewat menulis aku merasa utuh.
Temanku bilang, aku terlalu dalam mencintai dalam diam. Tapi bagaimana aku bisa tak peduli pada seseorang yang membuatku tersenyum bahkan hanya dengan satu pesan singkat?
Sekarang, hidupku tak seramai dulu. Tapi bukan berarti aku tak bahagia. Ada ketenangan dalam kesendirian. Ada kedewasaan yang tumbuh di balik sepi. Aku belajar mencintai diriku lebih dari sebelumnya.
Dan jika suatu hari nanti, seseorang datang mengetuk hatiku, aku akan tahu... bukan karena aku sedang butuh dicintai, tapi karena aku sudah siap untuk memberi cinta yang sehat, tanpa luka lama.
Untuk saat ini, biarkan aku menikmati sunyiku. Biarkan aku menjadi Cahaya... meski tanpa Gemilang.
Bab 8 – Takdir Baru
Setelah melewati masa-masa kelam, Cahaya mulai bangkit. Ia menata hidupnya kembali. Fokus pada karier, memperdalam keahliannya, dan mengembangkan bisnis kecil yang dulu sempat terbengkalai. Perlahan tapi pasti, usahanya mulai dilirik banyak pihak. Namanya mulai dikenal di lingkungan profesional.
Tak disangka, ia mendapat tawaran bekerja di sebuah perusahaan besar. Di sana, ia menunjukkan kompetensi dan kerja keras yang luar biasa. Bakatnya bersinar. Dalam waktu yang singkat, ia dipercaya menangani proyek besar. Bosnya, seorang pria paruh baya yang berwibawa dan bijak, mulai memperhatikan dedikasi Cahaya.
Awalnya hanya sebatas kerja profesional. Namun perhatian tulus dan cara sang bos mendengarkan setiap ide dan keresahan Cahaya, membuat hati wanita itu perlahan membuka. Ia merasa dihargai, didengar, dan—yang paling penting—tidak dihakimi.
Lelaki itu bukan sosok romantis yang penuh kata manis. Tapi dari caranya memandang Cahaya saat ia lelah, dari cara ia membela di ruang rapat, dari cara ia menepati janji kecil... Cahaya tahu, ini berbeda.
Tak lama, benih cinta tumbuh perlahan, tanpa paksaan. Dan ketika sang bos menyatakan keinginannya untuk membangun rumah tangga bersamanya, Cahaya tak lagi ragu.
Kini Cahaya bukan hanya wanita yang telah berhasil mengobati luka masa lalu, tapi juga sosok yang menemukan cinta dalam bentuk paling dewasa: penuh penerimaan, kedewasaan, dan penghargaan.
Cahaya akhirnya menikah dengan pria yang kini menjadi suaminya—bos besar yang dulu hanya ia kagumi dari jauh. Hidupnya kini lebih seimbang. Bahagia bukan karena akhirnya ia dimiliki, tetapi karena ia merasa pantas dicintai.
Dan tentang Gemilang... ia kini hanyalah bagian dari cerita masa lalu.
TAMAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar