Minggu, 18 Mei 2025

SUARA YANG TAK DIANGGAP 3



Penulis: Celly Tomokianz

(Bagian 3 – “Insiden yang Membuka Mata”)

Hari itu aula sekolah penuh sesak. Anak-anak duduk berbaris, bersiap tampil dalam pentas seni yang selama ini diributkan. Ibu-ibu bergaya berlalu-lalang, sibuk dengan kamera ponsel, merapikan make-up anak, mengatur baju agar tetap tampak mewah di layar sosial media.

Tiba giliran anak laki-laki Anisa tampil—sederhana, polos, tapi penuh semangat. Saat ia selesai menari, ia melihat ke arah ibunya di pojok aula, lalu melambaikan tangan dengan bangga. Anisa tersenyum, menahan haru. Meski tak seheboh anak-anak lain, tapi itu tulisan cinta paling jujur antara ibu dan anak.

Tak lama setelah itu, kericuhan kecil terjadi.

Salah satu ibu berteriak karena kostum anaknya terkena noda dari make-up anak lain. Lalu terjadi adu mulut, disaksikan anak-anak. Suasana pentas seni berubah jadi tegang. Beberapa guru panik, acara sempat dihentikan.

“Lihat kan, Bu... ini yang saya takutkan dari awal,” ucap Anisa perlahan, mendekati salah satu guru.

Beberapa orang tua yang awalnya diam mulai saling memandang. Mulai muncul bisikan:

“Benar juga ya kata Bu Anisa selama ini.”
“Acara seperti ini kok malah bikin ribut.”
“Harusnya sekolah lebih tegas, batasi gaya-gayaan yang nggak penting begitu.”

Esok harinya, grup WhatsApp wali murid ramai. Tapi kali ini bukan menyindir Anisa, justru banyak yang menyuarakan keinginan perubahan.

“Kami dukung sekolah buat acara yang sederhana tapi bermakna.”
“Kalau bisa mulai tahun depan, tanpa kostum mahal, tanpa EO, cukup kreatifitas anak dan guru.”
“Setuju kebijakan seperti yang sering disuarakan Pak Dedi Mulyadi... pendidikan harus kembali ke akarnya.”

Kepala sekolah akhirnya mengirimkan pengumuman resmi:

“Mulai semester depan, seluruh acara sekolah akan disesuaikan dengan nilai kesederhanaan, partisipatif, dan berfokus pada anak, bukan pada kompetisi gaya antarorang tua.”

Anisa membaca pengumuman itu sambil memeluk anaknya.

“Akhirnya, suara yang tak dianggap... mulai terdengar.”


 Ternyata tak semua diam.

Beberapa memang hanya menunggu satu suara pertama...
dan semoga setelah ini,
pendidikan kembali pada esensinya:
bukan tentang siapa yang terlihat paling mewah,
tapi siapa yang benar-benar peduli.”

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...