Senin, 12 Mei 2025

AKU DAN DIA

 

Karya: Celly Tomokianz





Dulu, aku dan dia hanya dua nama yang saling tahu tapi tak pernah benar-benar mengenal. Kami satu sekolah, satu lingkungan, tapi seolah berada di dua dunia yang berbeda. Namaku Indra, dan dia... Bintang.


Namanya selalu terdengar, tapi tak pernah benar-benar aku perhatikan. Hanya sekilas di lorong, satu pandangan di kelas olahraga, atau suara tawa dari kejauhan. Dia bukan teman dekatku. Bukan pula seseorang yang pernah berbagi bangku denganku. Tapi entah kenapa, aku tak pernah benar-benar melupakannya.


Tahun berganti. Sekolah usai. Hidup membawa kami ke arah yang berbeda. Lalu, satu pesan sederhana dari media sosial membawa kami kembali bersua.


“Eh, kamu Indra, kan? Yang dulu sering bawa gitar ke sekolah?”


Aku tersenyum membaca pesan itu. Nama Bintang tertera jelas. Aku membalas dengan ringan, dan percakapan kami pun dimulai. Dari percakapan ringan tentang masa sekolah, berlanjut ke cerita-cerita hari ini. Awalnya biasa saja—nostalgia, tanya kabar, bercanda.


Tapi kemudian, obrolan jadi lebih panjang. Kami mulai saling terbuka. Tentang pekerjaan, keluarga, bahkan luka-luka kecil yang tak pernah kami bagi ke orang lain. Aku mulai tahu sisi lain Bintang. Ia bukan sekadar gadis populer seperti dulu. Ia kuat, tapi rapuh. Ceria, tapi menyimpan lelah.


Dan satu hal yang membuat hatiku terenyuh—Bintang punya kekasih. Sudah lama. Tapi sering membuatnya menangis.


“Dia sibuk. Mungkin terlalu sibuk untukku,” katanya suatu malam.


“Tapi kamu masih bertahan?” tanyaku.


“Karena aku cinta.”


Aku tak bisa berkata apa-apa. Malam itu, Bintang menangis dalam pesan-pesan panjangnya. Dan aku? Aku hanya menjadi telinga. Menjadi tempat untuk ia bersandar ketika dunianya goyah.


Lama-lama, aku terbiasa berada di sana. Saat dia butuh didengar, aku hadir. Saat dia butuh tertawa, aku membuat lelucon. Saat dia diam terlalu lama, aku mengirim lagu, berharap suaraku bisa membuatnya merasa tidak sendiri.


Perasaan itu tumbuh perlahan. Aku sendiri tak sadar kapan tepatnya. Awalnya hanya simpati, lalu rasa nyaman. Hingga akhirnya, ada rindu yang tak bisa dijelaskan.


Aku mulai menantikan kabarnya. Aku resah saat dia tak muncul seharian. Aku... jatuh cinta. Tapi, bolehkah aku?


Dia tidak sendiri. Ada seseorang di hatinya. Seseorang yang membuatnya menangis, tapi tetap ia pertahankan.


Aku ingat malam itu. Hujan turun deras. Suaranya terdengar parau lewat telepon.


“Aku ingin pergi dari hubungan ini, Indra. Tapi aku takut. Aku takut sendiri.”


Hatiku nyeri. Tapi aku tetap diam.


“Kamu tahu,” kataku pelan, “aku nggak tahu sejak kapan mulai merasa ini. Tapi setiap kali kamu cerita tentang sakit hati, aku selalu berharap... kamu tahu, kamu layak untuk lebih dari itu. Aku ingin kamu bahagia. Walau itu bukan sama aku.”


Hening.


Lalu aku mendengar isaknya. Pelan. Menyayat.


“Aku nggak nangis,” katanya dengan suara gemetar.


Tapi aku tahu. Air matanya jatuh malam itu.


Hari demi hari kami terus berkomunikasi. Kadang seperti sahabat. Kadang seperti dua orang yang saling mencintai tapi tak berani menyebutnya. Setiap aku bertanya, “Apa yang kamu rasakan tentang aku?” dia hanya menjawab:


“Entahlah… aku tidak tahu.”


Dan aku percaya. Dia memang tidak tahu. Hatinya masih terpaut pada kekasihnya. Tapi ruang di hatinya yang kosong... perlahan aku isi.


Kami sering bertemu diam-diam. Bukan untuk hal yang salah. Hanya untuk saling menenangkan. Duduk berdua di taman kota. Minum kopi tanpa banyak bicara. Tertawa, lalu saling diam, karena takut terlalu nyaman.


“Aku nggak bisa tanpanya, Indra… tapi aku juga nggak bisa tanpamu.”


Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Aku tahu aku harus pergi, tapi setiap kali aku coba menjauh, dia datang lagi. Membawaku kembali ke ruang yang setengah gelap, setengah hangat. Bukan karena jahat. Tapi karena sama-sama bingung.


Waktu terus berjalan.


Kami masih saling bicara. Masih saling menunggu kabar. Tapi tak pernah benar-benar mengucapkan apa yang sebenarnya kami rasakan.


Cinta ini... menjadi rahasia.


Bukan karena kami menyembunyikannya dari dunia. Tapi karena bahkan kami sendiri belum benar-benar mengerti. Apakah ini cinta? Atau hanya pengganti? Apakah ini akan bertahan? Atau hanya jadi bagian kecil dari cerita hidup masing-masing?


Yang jelas, aku tahu satu hal.


Jika ini hanya sebatas rasa... maka biarlah ia tetap jadi rahasia yang indah. Antara aku dan dia.


Antara Indra dan Bintang.



Namun jauh di lubuk hatinya, Bintang tahu:
Ia ingin sekali memilih Indra.

Indra yang selalu hadir, yang memahami tanpa banyak tanya, yang membuat hatinya terasa utuh saat dunia seakan menjatuhkan.

Ia tahu, bersama Indra, ia merasa tenang—dihargai, didengarkan, dan dicintai tanpa syarat. Tapi sebuah ketakutan terus membayanginya: "Bagaimana jika orang tua Indra tak bisa menerimaku?"

"Indra pantas mendapatkan yang lebih baik," pikirnya berkali-kali.
Bahkan jika hatinya ingin sekali memilih pria itu.


Tapi Bintang terlalu sadar diri. Ia hanya perempuan biasa, dari keluarga sederhana, dengan luka-luka yang masih membekas.

Sementara Indra...
Datang dari keluarga berada. Latar belakang mereka terlalu berbeda.
Bintang takut jika hubungan itu tak direstui. Ia pernah mendengar cerita adik Indra—yang menikah tanpa persetujuan orang tua, dan akhirnya hidupnya penuh luka.

"Kalau adiknya saja tidak direstui... bagaimana denganku?" bisik Bintang dalam hati.

Padahal, Indra...
Andai saja Bintang berani melangkah lebih dulu, Indra pasti akan memperjuangkannya.
Cinta itu bisa saja menjadi nyata, jika diberi kesempatan.

Tapi Bintang memilih mundur.
Bukan karena tak cinta.
Tapi karena takut tak dianggap pantas.

Sebelum cinta itu diperjuangkan,
Ia memilih menguburnya dalam diam.

Namun, Bintang juga mencintai Raka. Meski sering disakiti, ia pernah menjadi satu-satunya yang mengisi hari-harinya.
Ia bingung. Di satu sisi, ada cinta yang sudah lama tumbuh. Di sisi lain, ada ketulusan yang datang tanpa diminta.

Dan yang paling ia takutkan—bukan hanya kehilangan Raka...
Tapi kehilangan Indra.
Seseorang yang selalu ada, meski tak pernah benar-benar dimiliki.





Selesai.

Celly Tomokianz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...