Rabu, 14 Mei 2025

CINTA YANG MENYAKITIKU



Karya: Celly Tomokianz


Aku pernah percaya, cinta bisa menyembuhkan segala luka. Maka aku bertahan. Aku memilih Raka—laki-laki yang pernah kubela mati-matian, meski hatiku sempat ragu. Aku memilihnya, bukan karena lupa pada Indra, tapi karena yakin... bahwa setiap orang layak diberi kesempatan untuk membuktikan cintanya.


Tapi ternyata, kesempatan itu seperti senjata yang perlahan membunuhku.


Hari-hariku setelah menikah bukan bahagia seperti dalam doa. Justru penuh luka yang diam-diam mengikis keyakinanku. Raka tak pernah benar-benar hadir. Ia sering pulang larut, membawa aroma asing yang tak bisa kusebutkan. Katanya kerja, katanya lelah. Tapi aku tahu... hatinya tak utuh bersamaku.

Setiap malam, aku mendengar suara langkahnya pulang larut.
Suara-suara telepon yang ia sembunyikan, pesan-pesan yang ia hapus dengan tergesa.
Namun, aku bukan orang bodoh.
Aku tahu ada yang tidak benar.

Aku menemukan nama Ika.
Teman sekantornya yang entah mengapa menjadi wanita yang selalu ada di teleponnya.
Awalnya aku mencoba berpikir positif—mungkin hanya rekan kerja biasa.
Tapi semakin aku menggali, semakin dalam aku tenggelam dalam kesedihan.


Aku hamil besar ketika semua ini terjadi.
Beban di tubuhku terasa ringan dibandingkan beban di hati yang terus bertambah berat.
Saat perutku membesar, Raka semakin jauh.
Ia sibuk dengan dunia lain, yang tak bisa aku sentuh atau pahami.

Malam-malam panjang kuhabiskan dalam kesendirian.
Kuterima kepedihan ini sebagai konsekuensi cinta yang dulu kubela.
Setiap kali aku ingin mengadu, suaraku tenggelam dalam diam.
Aku takut anak kami mendengar ibunya menangis.


Hatiku hancur. Tapi aku diam.


Aku tidur sendirian malam itu, menggenggam perutku yang mulai terasa berat, sambil menahan isak dalam sunyi. Aku tidak ingin anakku mendengar tangis ibunya sejak dalam rahim.


Tapi rasa sakit itu tak berhenti di sana.


Beberapa kali, aku mendengar nama-nama lain. Wajah-wajah asing yang kadang kulihat muncul di notifikasi pesannya. Kadang kubaca sekilas, kadang kubiarkan, karena hatiku sudah terlalu lelah untuk mencari tahu.

Kehadiran anak kami seharusnya menjadi titik terang,
Namun cahaya itu malah semakin menjauh.
Raka tak pernah benar-benar hadir.
Dia hanya bayang-bayang yang hilang timbul di antara janji-janji yang tak terpenuhi.

Aku bertahan, tapi aku rapuh.
Menanti kasih sayang yang tak kunjung datang.
Menanti cinta yang tak pernah tumbuh.

Setelah melahirkan, aku sadar—aku tidak bisa terus begini.

Aku hanya ingin melahirkan anakku dengan selamat. Itu saja.


Dan ketika putra kecilku lahir, aku menatapnya dengan air mata. Bukan air mata bahagia. Tapi campuran antara syukur dan perih yang tak bisa kuucapkan.


Aku menatap bayi itu, dan berkata dalam hati:


"Maafkan Mama, Nak. Dunia ini tak seindah yang Mama harapkan. Tapi Mama janji, kamu tidak akan hidup dalam kebohongan seperti ini."


Aku bertahan beberapa bulan. Menyusui dengan tubuh yang lelah, bangun malam dengan mata sembab, dan menyambut Raka yang semakin asing. Hingga akhirnya, aku menyerah. Bukan karena aku lemah, tapi karena aku tahu... aku pantas mendapatkan lebih dari sekadar sakit hati.


Aku mengemasi harapanku, dan keluar dari rumah itu.

Untuk pertama kalinya, aku berjalan bukan demi cinta, tapi demi diriku sendiri.

Aku harus memilih, bukan hanya demi anak kami, tapi juga demi diriku sendiri.
Aku tak mau cinta yang seharusnya menguatkan, malah menjadi luka yang merenggut seluruh hidupku.

Aku memutuskan untuk pergi.
Dengan hati yang penuh luka, tapi dengan kepala yang tegak.
Aku memilih kebebasan dari penjara cinta yang menyakitiku.

Ini bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari perjalanan baru.
Perjalanan untuk menemukan kembali siapa aku,
dan apa arti cinta sejati yang sesungguhnya.






Pagi itu, aku bangun dengan rasa lega yang aneh.
Setelah sekian lama terperangkap dalam kebohongan dan kepedihan, aku akhirnya berani mengambil langkah yang selama ini kutakuti: pergi.

Aku merapikan sedikit barang, mengemas pakaian putraku dan beberapa milikku.
Tidak banyak, karena aku sadar—hidup baru tidak butuh beban lama.
Kuangkat anak kecil itu dalam pelukanku, melihat wajah mungilnya yang polos, tanpa dosa, tanpa beban masa lalu.

“Maafkan Mama, Nak,” bisikku lirih.
“Ini demi kita. Demi hidup yang lebih baik.”

Hari-hari pertama di tempat baru penuh dengan kebingungan dan rasa sepi.
Tempat baru, suasana baru, dan yang paling berat: tanpa Raka.
Banyak yang bertanya, mengapa aku berani mengambil keputusan ini.
Ada yang menganggapku pengecut, meninggalkan suami dan anak di tengah masalah.
Tapi aku tahu, aku justru sedang berjuang untuk anakku.

Aku mulai bekerja lagi, mencari penghasilan supaya kami bisa bertahan.
Tentu saja, bukan hal mudah bagi ibu baru yang juga masih berjuang menerima luka hati.
Setiap malam aku menangis diam-diam, membujuk diri untuk tetap kuat.

Tapi seiring waktu, aku mulai merasakan sesuatu yang lama hilang: harapan.
Aku bertemu dengan teman-teman baru, orang-orang yang tulus mendukungku.
Anakku tumbuh sehat dan ceria, menjadi sumber kekuatanku yang tak tergantikan.

Aku belajar bahwa kebahagiaan bukan tentang memiliki seseorang yang sempurna.
Tapi tentang bagaimana aku mencintai diri sendiri,
dan bagaimana aku mampu membangun kehidupan yang penuh makna, meski tanpa Raka.

Masih ada luka, tentu saja.
Tapi luka itu tidak lagi menghalangiku.
Aku tahu, aku harus tetap berdiri, tetap melangkah, demi masa depan kami.

Dan aku percaya, suatu hari nanti,
aku akan menemukan cinta yang benar-benar menguatkan, bukan yang menyakiti.


Dan aku pergi...
Dengan tubuh yang lelah, hati yang remuk, tapi jiwa yang perlahan bangkit.

Aku tak ingin anakku tumbuh dalam rumah yang penuh teriakan dan diam yang menyakitkan.
Aku tak ingin ia mengira cinta seperti itu adalah hal yang patut dipertahankan.

Mungkin aku pernah mencintai Raka dengan seluruh jiwaku.
Tapi aku lebih mencintai diriku sekarang—dan anakku—lebih dari rasa sakit itu.

Aku bangkit. Aku memilih hidup.
Dan luka ini... bukan akhirku. Tapi awal dari aku yang baru.


***
Suatu hari nanti
Kau akan melihatku berdiri tegak
Dengan kedua kakiku
Setelah kau patahkan sayap-sayapku

Aku mampu berputar tanpamu
Meraih mimpi, meski bukan untukmu
Jemariku, perang kembali
Kadang terjerat dua sisi

Termenungku, panik, aku takut
Tersadar, langkahku terpaku
Gelap, hambar, suasana cemberut
Tetap kuat mencari hati yang baru

Buat apa aku mengingatmu
Kau masa lalu
Menunggu datang terang
Gelap ini pasti hilang

Jangan, jangan aku lihat ke belakang
Semua akan hilang
Roda ini masih membawaku
Pergi tinggalkan masa lalu


                Selesai....

Celly Tomokianz





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...