POV: Raka
Setelah kepergian Bintang, hidupku tak lagi sama.
Awalnya aku berpikir, semuanya akan baik-baik saja. Bahwa aku bisa kembali pada hidupku yang bebas, tanpa beban, tanpa tangis. Tapi kenyataannya... yang hilang bukan hanya istri. Aku kehilangan rumah. Tempat aku pulang. Dan lebih dari itu—aku kehilangan satu-satunya perempuan yang benar-benar tulus mencintaiku.
Bintang... dia memang selalu kuat. Tapi aku terlalu bodoh untuk menghargainya. Saat dia mengandung anakku, aku malah sibuk bermain hati dengan Ika—rekan kerjaku. Aku kira Ika akan jadi pelarian yang sempurna. Nyatanya? Dia pergi juga. Menikah dengan pria lain tanpa memberi kabar apa pun.
Aku marah. Bukan hanya pada Ika, tapi juga pada diriku sendiri. Aku merasa kalah. Dihianati. Lalu mulai mencari wanita-wanita lain yang dulu pernah ku dekati. Kukira ada yang bersedia ku nikahi, demi membuktikan bahwa aku masih punya kendali. Tapi mereka semua menolak. Mungkin karena nama burukku sudah terlalu dikenal. Atau karena mereka tahu, aku bukan pilihan yang pantas untuk dipertaruhkan.
Saat itu aku mulai merasa hampa. Tapi aku terlalu gengsi untuk kembali pada Bintang.
Sampai akhirnya, aku dijodohkan dengan putri pemilik kontrakan tempatku tinggal. Keluarganya menawarkan solusi: pernikahan yang saling menguntungkan. Dan aku... menyetujuinya. Bukan karena cinta. Tapi karena aku lelah sendiri. Karena aku butuh tempat berteduh—secara harfiah dan batin.
Namun, Tuhan punya cara sendiri menegur orang sepertiku.
Beberapa bulan setelah pernikahan itu, gempa besar mengguncang kota. Tempat tinggalku runtuh. Rumah yang dulu kubangun bersama Bintang... hancur. Seperti semua kesombonganku, ditarik habis oleh tanah yang menganga.
Di reruntuhan itu, aku hanya bisa duduk. Diam. Menatap puing. Dan satu wajah yang terus menghantui pikiranku... Bintang.
Aku sempat mencoba menghubunginya. Menanyakan kabar. Mengirim pesan. Tapi ia sudah menutup semua pintu. Tidak membenciku, tapi juga tak ingin kembali.
Waktu memang tak bisa diputar.
Kini aku berdiri dalam hidup yang berbeda. Bukan dengan cinta, tapi dengan penyesalan. Istriku yang sekarang baik, tapi aku tahu rasa ini tak akan sama. Karena Bintang... adalah kehilangan terbesar yang kusesali sepanjang hidupku.
Dan yang lebih menyakitkan,
penyesalanku datang saat pintu maaf sudah tertutup selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar