Kamis, 29 Mei 2025

NEGERI PARA PENGHIANAT 5



Bab 5: Cermin Retak di Istana Rakyat

Di jantung ibu kota, berdiri megah bangunan putih dengan tiang-tiang tinggi menjulang, halaman luas, dan pagar besi yang kokoh. Mereka menyebutnya “Istana Rakyat”—tempat di mana suara rakyat seharusnya dijaga, diolah, dan diwujudkan dalam kebijakan yang adil dan berpihak. Tapi benarkah begitu?

Jika cermin bisa bicara, maka cermin di istana itu akan menjerit. Sebab yang dipantulkannya bukanlah sosok negarawan, tapi bayang-bayang penuh topeng. Ada yang tersenyum saat kamera menyala, tapi menggeram saat rapat tertutup dimulai. Ada yang mengangkat tangan bersumpah demi bangsa, tapi malam harinya menandatangani perjanjian yang menggadaikan tanah leluhur pada investor asing.

Retak demi retak muncul di cermin itu—pertanda bahwa nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi mulai rapuh. Integritas menjadi barang langka. Kejujuran tak lagi penting jika tak mendatangkan suara. Bahkan, kata “pengabdian” kini digantikan dengan “pengaruh” dan “posisi”.

Rakyat pun tak bodoh. Mereka mulai menyadari, bahwa pesta demokrasi hanyalah sandiwara lima tahunan. Bahwa suara mereka bisa dibeli, dibungkam, atau diselewengkan. Bahwa para pemimpin yang mereka pilih, bisa berubah menjadi sosok asing yang lupa siapa yang dulu mendorong mereka naik ke singgasana.

Sementara di desa-desa, petani masih mencangkul tanah kering yang tak kunjung mendapat subsidi. Nelayan menantang ombak tanpa perlindungan. Anak-anak sekolah berjalan kaki berkilo-kilo, sementara berita di layar kaca sibuk membahas mobil dinas baru dan renovasi gedung dewan.

Korupsi bukan lagi sekadar tindakan diam-diam. Ia telah menjadi sistem. Ia berjalan dengan angkuh di koridor-koridor pemerintahan, bersalaman dengan tangan-tangan bersarung, dan bersembunyi di balik dalil “untuk kepentingan bersama.”

Lantas siapa yang bisa dipercaya? Bahkan lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moral bangsa, kini terinfeksi penyakit yang sama. Uang berbicara lebih nyaring daripada suara hati nurani.



“Istana rakyat tak lagi punya cermin utuh.
Yang ada hanya pantulan-pantulan palsu,
yang menyembunyikan retakan demi retakan
dari kebusukan yang tak lagi bisa ditutup rapi.”


 “Negeri dalam Bingkai Pecah”

Di dinding istana tergantung cermin besar,
dulu ia memantulkan harapan,
kini hanya serpihan kaca tajam,
memantulkan wajah-wajah penuh tipu daya.

Ada nama-nama besar,
ada gelar dan simbol-simbol kehormatan,
tapi hati mereka kosong,
disesaki kepentingan, diselimuti kebohongan.

Kami ingin kembali percaya,
tapi bagaimana jika kepercayaan kami selalu dipatahkan?

Wahai istana,
kami hanya ingin pemimpin yang tak perlu sempurna,
cukup yang jujur,
cukup yang benar-benar mendengar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...