Kamis, 29 Mei 2025

NEGERI PARA PENGHIANAT 3


Bab 3: Dosa yang Disucikan

(Tentang Korupsi yang Diselimuti Agama dan Moral Palsu)

“Agama tidak mengajarkan manusia untuk rakus, selalu merasa kurang, dan memenuhi diri hingga sesak dengan kemewahan dunia.
Kendalikan dengan lembut tapi tegas semua keinginan dunia.”

Di negeri ini, sering kita temui orang-orang yang mengutip ayat, tapi menginjak maknanya sendiri. Mereka terlihat saleh di mimbar, tapi culas di meja negosiasi. Mereka bicara tentang keadilan Tuhan, tapi menindas sesama atas nama jabatan.

Korupsi tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tidak beragama. Ironisnya, banyak yang memakai topeng agama untuk melindungi kerakusannya. Lembaga-lembaga suci pun tak luput dijadikan tameng. Seolah-olah gelar keagamaan dan pakaian religius bisa menyembunyikan lembaran dosa yang disimpan rapat di laci besi.

Yang lebih memilukan, nilai-nilai luhur agama—yang seharusnya menjadi benteng terakhir akhlak manusia—malah dibajak untuk melegitimasi perilaku korup. Disadari atau tidak, inilah bentuk “penyucian dosa” yang paling berbahaya: ketika pelaku merasa bahwa ibadahnya bisa menutupi kejahatannya.

Padahal, agama sejati tidak pernah mengajarkan kemunafikan. Ia mengajak manusia hidup sederhana, berbagi, jujur, dan bertanggung jawab atas rezeki yang diperoleh. Tapi semua itu jadi samar ketika manusia lebih mencintai dunia daripada kebenaran.


Di balik bangunan megah tempat ibadah dan gedung-gedung pemerintah yang berdiri kokoh, ada cerita yang tidak diceritakan. Tentang uang yang digelapkan atas nama program sosial. Tentang anak yatim yang dananya dipangkas agar proyek mercusuar tetap berjalan. Tentang jemaah yang percaya, tapi ternyata ditipu oleh mereka yang dipanggil "ustadz", "pendeta", "romo", atau "biksu".

Ini bukan soal agama apa. Ini soal manusia yang menyalahgunakan kepercayaan. Ketika moral hanya dijadikan selimut, maka tidur pun tak lagi tenang. Mereka menutup kepala dengan sajadah, tapi membiarkan kakinya menginjak tulang belulang orang miskin.

Di ruang-ruang yang gelap, transaksi diam-diam berlangsung. Bukan sekadar uang, tapi juga nurani yang diperjualbelikan. Sementara rakyat kecil diajarkan untuk sabar, ikhlas, dan taat — mereka yang di atas tertawa, menyusun rencana baru demi memperbesar celah korupsi.

Korupsi bukan lagi dianggap dosa besar, tapi seperti “rezeki tambahan” yang datang dari sistem yang sudah rusak sejak akar. Dan ketika ada yang mencoba melawan, yang muncul bukan pujian, tapi ancaman. Dunia terbalik. Yang jujur disingkirkan, yang korup disanjung.

Maka, benarlah kata bijak:
Ketika kemewahan menjadi tujuan, maka agama hanya tinggal simbol.


"Doa yang Tak Lagi Sampai"

Mereka menengadah, tapi bukan untuk meminta ampun
Mereka berzikir, tapi hati mereka sudah membusuk
Di tangan kiri membawa kitab, di tangan kanan mencuri hak

Ini bukan tentang Tuhan yang tidak mendengar
Tapi manusia yang pura-pura buta
Mereka tak tahu, atau pura-pura lupa
Bahwa Tuhan tak bisa dibeli, walau dengan seribu doa





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...