Sabtu, 17 Mei 2025

PEREMPUAN YANG TAK DIANGGAP (ENDING)

 

Bab 7: Tentang Sebuah Sekolah dan Perjuangan Seorang Ibu

Hari-hari menjelang kelulusan anak semata wayangnya dari Taman Kanak-Kanak terasa campur aduk bagi Rania. Harusnya ia bahagia, bangga, dan tenang menyambut fase baru sang anak yang akan melanjutkan ke Sekolah Dasar. Tapi semua tidak semudah itu.

Satu per satu kebutuhan mulai berdatangan: formulir pendaftaran, seragam, perlengkapan belajar, biaya administrasi. Rania sudah menyiapkan sedikit demi sedikit dari hasil kerja dan bantu suaminya yang sekarang. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu: ini adalah tanggung jawab bersama — termasuk ayah kandung anaknya.

Rania memberanikan diri menghubungi mantan suaminya, meminta bantuan untuk urusan sekolah. Tapi seperti yang sudah-sudah, permintaan baik itu dibalas dengan ucapan yang menyakitkan.

Sekolah SD tuh nggak mahal-mahal amat, kenapa nggak kamu aja yang urus semuanya?”
Aku juga punya hidup, jangan semua nyuruh aku.”
Lagian kamu udah nikah lagi, kan suami kamu yang harus tanggung jawab.”

Setelah itu, kalimat-kalimat hinaan kembali menyerbu seperti peluru. Ia dituduh meminta-minta, dituding tidak becus mengurus anak, bahkan direndahkan sebagai ibu yang tak tahu diri.

Padahal, Rania tidak sedang meminta belas kasihan. Ia hanya menuntut tanggung jawab seorang ayah — yang di atas kertas masih tertera di akta lahir anaknya.

Lebaran kemarin, sang mantan sempat mengaku sudah mengirimkan uang lima ratus ribu rupiah untuk keperluan anak. Tapi uang itu tidak pernah sampai ke tangan Rania. Ternyata diberikan kepada adik-adiknya, disuruh membelikan baju. Tapi tak ada sepatah kata pun bahwa itu dari ayahnya. Bahkan bajunya pun kebesaran dan cepat rusak setelah dicuci.

Saat Rania mengeluh, ia malah kembali dimaki.

Kamu bukan siapa-siapa di keluarga aku.”
Kamu itu cuma mantan. Jangan banyak nuntut.”
Udah enak nggak jadi bagian dari keluarga aku.”

Sakit. Tapi Rania hanya diam. Ia memilih tidak membalas. Ia sudah tahu arah semuanya. Hanya datang saat ingin terlihat baik. Tapi menghilang saat tanggung jawab diminta.


Rania akhirnya memutuskan sesuatu dalam hati:
Ia tidak akan lagi memaksa. Ia tidak akan lagi membuka luka untuk berharap pada orang yang hanya datang untuk menyakiti. Jika ayah kandung anaknya memilih tidak peduli, maka biarlah.

Asal mereka tidak lagi mencampuri hidupnya.
Asal tidak lagi datang membawa drama dan pertengkaran.
Asal tidak lagi mengganggu ketenangannya yang mulai ia bangun susah payah.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...