Bab 4: Menjaga Jarak, Menjaga Hati
Rania duduk di teras rumah kecilnya, menyaksikan senja yang perlahan memudar.
Ia sudah lama memutuskan satu hal: tidak lagi mengizinkan dirinya disakiti oleh mereka yang tidak pernah peduli.
Anaknya kini adalah pusat dunia.
Nafkah? Rania sudah memutuskan untuk tidak lagi berharap.
Dia tahu, mantan suami dan keluarganya mungkin akan terus enggan bertanggung jawab, atau bahkan membenci. Tapi itu bukan urusannya lagi.
“Kalau mereka mau main kata-kata, ya biarlah,” gumam Rania pelan.
“Yang penting aku damai. Aku kuat. Anakku bahagia, itu sudah cukup.”
Kampung itu pernah menjadi tempat yang penuh luka.
Setiap kali Rania datang, bisik-bisik, ejekan, dan kata-kata menyakitkan selalu mengikutinya.
Orang-orang kampung yang seharusnya jadi tetangga, malah jadi saksi dan pelaku kejamnya cerita yang tak pernah ia pinta.
Mereka bilang, “Jangan menjelek-jelekkan keluargamu.”
Tapi bukankah keluarga itu yang dulu suka mengejek, menghina, dan membuatnya merasa seperti asing di tanah sendiri?
Rania menghela napas dalam.
Ia sadar, tak ada gunanya memaksa diterima oleh orang-orang yang hatinya penuh prasangka dan kebencian.
Ia bukan budak dari penilaian mereka. Ia adalah ibu. Seorang perempuan yang berhak bahagia.
Hari-hari berikutnya, Rania mulai belajar hal baru:
Menjaga jarak bukan berarti putus asa, tapi sebuah bentuk cinta pada diri sendiri.
Ia mengurangi komunikasi dengan mantan suami. Hanya bicara kalau soal anak, dan sebisa mungkin singkat dan jelas.
Ia menghindari pertemuan dengan keluarga mantan, memilih untuk membangun lingkaran baru yang positif. Teman-teman yang benar-benar mendukung dan peduli.
Kadang ia merasa sedih, tapi lebih sering ia merasa lega.
Lega karena tak lagi harus mengorbankan hati untuk orang yang tidak pernah menghargainya.
Anaknya pun tumbuh dengan penuh cinta dari ayah dan ibu yang sekarang selalu hadir.
Tak ada kata-kata kasar atau sindiran di rumah mereka. Hanya ketulusan dan pengertian.
Rania tahu, perjalanan ini belum selesai.
Tapi dia sudah punya kunci utama: Ketulusan untuk diri sendiri.
Bab 5: Batas yang Tidak Bisa Lagi Dilewati
Sudah berkali-kali Rania mencoba tenang.
Sudah sering ia diam, meski disalahkan.
Sudah berulang kali ia menghindar, walau ditarik lagi ke pusaran ribut yang sama.
Mantan suaminya tak pernah benar-benar berubah.
Setiap pesan yang masuk ke ponselnya, hanya membawa satu hal:
Keributan.
Kadang dibungkus dengan topik anak, tapi selalu berakhir dengan umpatan, makian, atau sindiran yang menyayat.
“Kenapa bajunya itu?”
“Kamu ibu macam apa?”
“Kamu ngajarin anak biar jauh dari bapaknya!”
Padahal… yang Rania inginkan hanya satu:
Tenang. Hidup tanpa gangguan. Mendidik anak dengan cinta.
Tapi laki-laki itu tak pernah mengerti.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, tidak pernah benar-benar peduli.
Sampai pada suatu sore, saat telepon kembali berdering dan suaranya kembali meninggi, Rania berkata dengan suara datar namun tegas:
“Mulai hari ini, aku tidak akan membalas apa pun dari kamu kecuali menyangkut sekolah atau kesehatan anak.
Kalau kamu masih datang hanya untuk ribut dan maki, aku anggap kamu tidak ingin damai.
Dan kalau kamu masih memaksa mengganggu, aku akan minta perlindungan. Bukan untuk melawanmu, tapi untuk menjaga kesehatan mentalku sendiri.”
Hening.
Untuk pertama kalinya, suara di seberang sana terdiam.
Rania tidak berteriak. Tidak membalas hinaan. Tidak memohon.
Hanya menegaskan: batas.
Itulah hari di mana ia memutus pola lama.
Tidak lagi memberi ruang pada racun yang selalu datang dengan nama “komunikasi demi anak.”
Ia atur semua jalur komunikasi penting lewat email.
Nomor telepon utama hanya untuk keluarga yang sehat secara emosional.
Dan untuk anaknya, ia ajarkan satu prinsip:
“Kalau seseorang datang hanya untuk membuat ibumu sedih, kamu tidak perlu merasa bersalah menjauh darinya.”
Bab 6 (Ending): Menutup Pintu, Membuka Jalan Baru
Tahun berganti.
Anaknya kini masuk SD, tumbuh cerdas, hangat, dan penuh cinta.
Rania semakin tenang.
Ia kembali menulis. Menanam bunga. Membuka kelas kecil untuk anak-anak di sekitar rumah.
Sesekali ada pesan dari mantan, tapi tidak lagi mengusik.
Sebab Rania sudah tidak membuka pintu untuk ribut. Ia hanya membuka pintu untuk tanggung jawab.
Mantan suaminya akhirnya lelah sendiri.
Tanpa bahan bakar kemarahan dari Rania, ia berhenti membakar.
Tanpa panggung drama, ia kehilangan perannya.
Dan yang paling penting:
Rania tidak lagi terikat oleh kata-kata yang dulu menyakitinya.
Ia bukan lagi perempuan yang berharap dimengerti.
Ia adalah perempuan yang telah menerima satu hal:
Beberapa luka memang tidak perlu diperdebatkan lagi. Cukup dirawat, lalu dijaga agar tidak terbuka kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar