Kamis, 29 Mei 2025

NEGERI PARA PENGHIANAT 7



Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya

Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tangan yang seharusnya melindungi, dipelintir oleh janji-janji yang hanya indah di spanduk, dan dibisukan oleh aturan yang dibuat bukan untuk keadilan, tapi untuk kepentingan mereka sendiri.

Tapi sejarah mengajarkan kita satu hal: bangsa ini tidak pernah sepenuhnya mati. Ia bangkit berkali-kali, meski tertatih. Ia berdiri, meski diterpa badai. Karena selalu ada orang-orang baik—meski sunyi, meski tak viral—yang terus menjaga nyala api perubahan.


Harap itu bukan ilusi, tapi keputusan.
Harapan bukan sekadar menanti pemimpin datang, tapi keberanian untuk menciptakan pemimpin di dalam diri sendiri. Setiap orang bisa jadi pelita di sekitarnya. Dan dari banyak pelita, lahirlah terang yang tak bisa lagi dipadamkan.


Kita tak menulis kisah ini untuk mengutuk masa lalu,
tapi untuk membangunkan nurani masa kini.
Kita tak mengungkap borok hanya untuk menyebar luka,
tapi agar bangsa ini sadar dan segera mencari obatnya.


“Mereka yang mengkhianati negeri ini akan terlupakan oleh waktu.
Tapi mereka yang tetap setia,
akan hidup dalam sejarah yang ditulis oleh nurani manusia.”


 “Negeri yang Tidak Akan Mati”

Mereka kira negeri ini bisa dibeli,
bisa dibungkam,
bisa dijual atas nama kepentingan.

Tapi mereka lupa,
tanah ini tumbuh dari darah para pejuang,
bukan dari tinta kontrak korup.

Mereka lupa,
rakyat bukan boneka,
kadang diam, tapi tak buta.

Maka biarlah kita akhiri dengan harap,
bukan dengan tangis.
Biarlah kita tinggalkan jejak
di jalan sunyi yang menuju pagi.

Karena negeri ini tidak akan mati.

Selama masih ada satu orang yang berani jujur,
satu suara yang berani bersuara,
satu tangan yang tidak tergoda untuk mencuri.



Wahai engkau yang membaca,
sadarkah kau bahwa negeri ini sedang sakit?
Bukan karena perang,
bukan karena musuh luar,
tapi karena luka yang ditanam oleh anak-anaknya sendiri.

Negeri ini sedang gamang.
Arah hilang.
Kompas retak.
Nilai-nilai dijual murah untuk panggung kekuasaan.
Rakyat dikaburkan dari kenyataan,
dibutakan oleh layar-layar penuh drama dan sensasi,
sementara di balik layar itu,
tikus-tikus berpesta di lumbung negara.

Kita tidak sedang baik-baik saja.

Negara ini sedang kehilangan arah.
Pendidikan dibisniskan.
Kesehatan dipolitisasi.
Keadilan diperdagangkan.
Dan suara rakyat? Hanya dipinjam tiap lima tahun sekali.


Lalu siapa yang bersalah?

Mereka yang memimpin dengan kerakusan.
Ya.
Tapi juga kita yang memilih diam.
Kita yang tahu tapi enggan peduli.
Kita yang memilih menyelamatkan diri,
daripada menyelamatkan negeri.

Cukuplah.

Cukuplah kita bermain dalam lingkaran setan ini.
Cukuplah membiarkan generasi selanjutnya tumbuh dalam tumpukan kebohongan yang kita wariskan.

Bangkitlah!
Bukan dengan emosi semata.
Tapi dengan pemahaman.
Dengan keteguhan untuk mulai dari diri sendiri.

Ajarkan kejujuran kepada anakmu,
walau dunia mengajarkan mereka cara mencuri.
Ajarkan kerja keras,
walau sistem lebih memanjakan yang punya koneksi.
Ajarkan untuk berpihak pada kebenaran,
meski suara itu sendirian.



“Negeri ini tidak butuh pahlawan baru.
Negeri ini hanya butuh manusia jujur,
yang tak lelah menyalakan lentera di tengah kabut kebohongan.”


Dan jika kau berpikir kau terlalu kecil untuk membuat perubahan,
ingatlah bahwa cahaya lilin bisa terlihat bahkan di tengah malam paling gelap.


Jika kau ingin negeri ini berubah,
jangan menunggu.
Jadilah awal dari perubahan itu.


“Negeri ini tidak kekurangan orang cerdas, hanya kekurangan orang jujur yang mau berdiri walau sendirian.”





NEGERI PARA PENGHIANAT 6



Bab 6: Jalan Sunyi Menuju Terang

Setelah luka dibuka dan borok bangsa ditelanjangi, tibalah saatnya menengok ke depan—bukan untuk melupakan, tapi untuk melangkah dengan mata terbuka. Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar. Tapi kita haus akan ketulusan, keberanian moral, dan konsistensi melawan arus korupsi.

Perubahan tidak lahir dari sorak sorai massa atau jargon di baliho. Perubahan sejati lahir di ruang sunyi: ketika seorang pejabat menolak suap, saat seorang guru mengajar tanpa menunggu insentif, ketika petani jujur menimbang panennya, dan saat generasi muda memilih idealisme ketimbang sensasi.

Revolusi tidak selalu butuh senjata. Kadang cukup satu keteguhan yang tak bisa dibeli.

Tapi mari kita jujur, melawan sistem yang sakit tak bisa sendiri. Harus ada gerakan yang terstruktur, masif, dan independen. Berikut beberapa langkah nyata yang bisa menjadi jalan keluar dari cengkeraman korupsi dan kehancuran moral:


1. Pendidikan Karakter Sejak Dini

Kurikulum tidak cukup hanya mengajarkan angka dan rumus. Harus ada pelajaran integritas. Anak-anak harus diajak berdialog tentang kejujuran, tentang keadilan, tentang keberanian untuk tidak ikut-ikutan. Generasi penerus bangsa harus dilatih untuk berani berbeda meski sendiri.

2. Transparansi Anggaran dan Keterlibatan Publik

Setiap sen uang negara harus bisa ditelusuri. Platform digital harus dimaksimalkan. Rakyat berhak tahu ke mana pajaknya mengalir. Partisipasi publik bukan formalitas, tapi jantung demokrasi.

3. Reformasi Sistem dan Penegakan Hukum

Tidak cukup hanya menangkap “ikan kecil” sambil membiarkan “hiu besar” tertawa di kapal pesiar. Lembaga hukum harus bebas dari intervensi politik. Hukuman bagi koruptor harus nyata, menyakitkan, dan bersifat jera. Bukan diskon hukuman atau “cuti remisi” tiap hari besar.

4. Etika Media dan Literasi Publik

Media massa dan media sosial harus diselamatkan dari manipulasi penguasa. Masyarakat harus diajak berpikir kritis, bukan dicekoki opini palsu. Literasi digital adalah benteng utama agar rakyat tidak mudah terpecah.

5. Kepemimpinan yang Melayani, Bukan Memerintah

Pemimpin bukan raja. Pemimpin adalah pelayan rakyat. Mereka harus mendengar, bukan memerintah. Kepemimpinan berbasis nurani harus kembali dipopulerkan. Karena jabatan itu amanah, bukan warisan.


“Perubahan tidak menunggu pemilu.
Ia tumbuh dari keberanian-keberanian kecil,
dari hati-hati jujur yang tetap menyala
meski dunia di sekitarnya gelap gulita.”


 “Di Tepi Harapan”

Tak semua jalan menuju istana,
sebagian hanya lorong sempit tanpa cahaya,
tapi justru di lorong itu,
suara hati yang jujur terdengar paling nyaring.

Jika kau muak oleh tipu daya,
jadilah cahaya.

Jika semua sibuk menindas,
jadilah pelindung.

Jika tak ada yang berani bicara,
jadilah suara.

Karena bangsa ini tak akan runtuh,
selama masih ada satu saja jiwa
yang menolak tunduk pada kejahatan.



NEGERI PARA PENGHIANAT 5



Bab 5: Cermin Retak di Istana Rakyat

Di jantung ibu kota, berdiri megah bangunan putih dengan tiang-tiang tinggi menjulang, halaman luas, dan pagar besi yang kokoh. Mereka menyebutnya “Istana Rakyat”—tempat di mana suara rakyat seharusnya dijaga, diolah, dan diwujudkan dalam kebijakan yang adil dan berpihak. Tapi benarkah begitu?

Jika cermin bisa bicara, maka cermin di istana itu akan menjerit. Sebab yang dipantulkannya bukanlah sosok negarawan, tapi bayang-bayang penuh topeng. Ada yang tersenyum saat kamera menyala, tapi menggeram saat rapat tertutup dimulai. Ada yang mengangkat tangan bersumpah demi bangsa, tapi malam harinya menandatangani perjanjian yang menggadaikan tanah leluhur pada investor asing.

Retak demi retak muncul di cermin itu—pertanda bahwa nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi mulai rapuh. Integritas menjadi barang langka. Kejujuran tak lagi penting jika tak mendatangkan suara. Bahkan, kata “pengabdian” kini digantikan dengan “pengaruh” dan “posisi”.

Rakyat pun tak bodoh. Mereka mulai menyadari, bahwa pesta demokrasi hanyalah sandiwara lima tahunan. Bahwa suara mereka bisa dibeli, dibungkam, atau diselewengkan. Bahwa para pemimpin yang mereka pilih, bisa berubah menjadi sosok asing yang lupa siapa yang dulu mendorong mereka naik ke singgasana.

Sementara di desa-desa, petani masih mencangkul tanah kering yang tak kunjung mendapat subsidi. Nelayan menantang ombak tanpa perlindungan. Anak-anak sekolah berjalan kaki berkilo-kilo, sementara berita di layar kaca sibuk membahas mobil dinas baru dan renovasi gedung dewan.

Korupsi bukan lagi sekadar tindakan diam-diam. Ia telah menjadi sistem. Ia berjalan dengan angkuh di koridor-koridor pemerintahan, bersalaman dengan tangan-tangan bersarung, dan bersembunyi di balik dalil “untuk kepentingan bersama.”

Lantas siapa yang bisa dipercaya? Bahkan lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moral bangsa, kini terinfeksi penyakit yang sama. Uang berbicara lebih nyaring daripada suara hati nurani.



“Istana rakyat tak lagi punya cermin utuh.
Yang ada hanya pantulan-pantulan palsu,
yang menyembunyikan retakan demi retakan
dari kebusukan yang tak lagi bisa ditutup rapi.”


 “Negeri dalam Bingkai Pecah”

Di dinding istana tergantung cermin besar,
dulu ia memantulkan harapan,
kini hanya serpihan kaca tajam,
memantulkan wajah-wajah penuh tipu daya.

Ada nama-nama besar,
ada gelar dan simbol-simbol kehormatan,
tapi hati mereka kosong,
disesaki kepentingan, diselimuti kebohongan.

Kami ingin kembali percaya,
tapi bagaimana jika kepercayaan kami selalu dipatahkan?

Wahai istana,
kami hanya ingin pemimpin yang tak perlu sempurna,
cukup yang jujur,
cukup yang benar-benar mendengar.



NEGERI PARA PENGHIANATAN 4



Bab 4: Negeri Para Boneka

Indonesia seharusnya menjadi negeri yang merdeka—bukan hanya dari penjajah asing, tetapi juga dari bayang-bayang kekuasaan yang dikendalikan dari balik tirai. Namun kenyataannya, negeri ini seperti sebuah panggung wayang. Boneka-boneka cantik dihias, ditata, dan ditampilkan. Mereka bicara soal rakyat, soal cinta tanah air, soal moral dan pembangunan. Tapi benarkah suara itu berasal dari mereka?

Di belakang layar, para dalang sibuk menarik benang. Merekalah pengusaha rakus, pejabat tua yang tak mau turun tahta, dan elite politik yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang bisnis keluarga. Mereka tak peduli siapa yang duduk di kursi presiden, asal keputusan tetap bisa mereka arahkan.

Demokrasi yang seharusnya mengangkat suara rakyat, telah berubah menjadi pertunjukan penuh ilusi. Yang berani jujur dianggap duri. Yang vokal disingkirkan secara halus. Yang kritis disiram dengan popularitas semu, jabatan sementara, atau ancaman senyap. Media dijinakkan, opini diatur, dan rakyat disibukkan dengan sensasi, agar lupa bahwa mereka sedang dimanfaatkan.

Banyak pemimpin yang sejatinya bukan pemimpin, hanya boneka berpakaian mewah. Mereka melambai-lambai kepada rakyat di layar kaca, seolah semua baik-baik saja. Padahal, di balik layar, mereka hanya menyetujui naskah yang sudah ditulis oleh para penguasa bayangan.

Di era modern, penjajahan tidak selalu datang dari bangsa asing. Kadang, pengkhianat justru berasal dari dalam negeri, dari orang-orang yang seharusnya melindungi, tetapi justru menjerat. Mereka menjual kebijakan, menjual sumber daya, bahkan menjual mimpi rakyatnya sendiri—demi perut dan kekuasaan yang tak pernah cukup.



“Dalam panggung negeri ini, yang bicara belum tentu yang berkuasa,
dan yang berkuasa belum tentu terlihat.”


“Tali di Tangan Tak Terlihat”

Di atas panggung mereka tersenyum,
memakai jas, membungkuk manis.
Tapi di balik punggungnya,
tali-tali itu ditarik oleh tangan yang licik.

Mereka bicara demi rakyat,
tapi bisikan yang mereka dengar bukan suara rakyat.
Mereka menjanjikan langit biru,
padahal tahu awan itu hanyalah asap dari pabrik keserakahan.



NEGERI PARA PENGHIANAT 3


Bab 3: Dosa yang Disucikan

(Tentang Korupsi yang Diselimuti Agama dan Moral Palsu)

“Agama tidak mengajarkan manusia untuk rakus, selalu merasa kurang, dan memenuhi diri hingga sesak dengan kemewahan dunia.
Kendalikan dengan lembut tapi tegas semua keinginan dunia.”

Di negeri ini, sering kita temui orang-orang yang mengutip ayat, tapi menginjak maknanya sendiri. Mereka terlihat saleh di mimbar, tapi culas di meja negosiasi. Mereka bicara tentang keadilan Tuhan, tapi menindas sesama atas nama jabatan.

Korupsi tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tidak beragama. Ironisnya, banyak yang memakai topeng agama untuk melindungi kerakusannya. Lembaga-lembaga suci pun tak luput dijadikan tameng. Seolah-olah gelar keagamaan dan pakaian religius bisa menyembunyikan lembaran dosa yang disimpan rapat di laci besi.

Yang lebih memilukan, nilai-nilai luhur agama—yang seharusnya menjadi benteng terakhir akhlak manusia—malah dibajak untuk melegitimasi perilaku korup. Disadari atau tidak, inilah bentuk “penyucian dosa” yang paling berbahaya: ketika pelaku merasa bahwa ibadahnya bisa menutupi kejahatannya.

Padahal, agama sejati tidak pernah mengajarkan kemunafikan. Ia mengajak manusia hidup sederhana, berbagi, jujur, dan bertanggung jawab atas rezeki yang diperoleh. Tapi semua itu jadi samar ketika manusia lebih mencintai dunia daripada kebenaran.


Di balik bangunan megah tempat ibadah dan gedung-gedung pemerintah yang berdiri kokoh, ada cerita yang tidak diceritakan. Tentang uang yang digelapkan atas nama program sosial. Tentang anak yatim yang dananya dipangkas agar proyek mercusuar tetap berjalan. Tentang jemaah yang percaya, tapi ternyata ditipu oleh mereka yang dipanggil "ustadz", "pendeta", "romo", atau "biksu".

Ini bukan soal agama apa. Ini soal manusia yang menyalahgunakan kepercayaan. Ketika moral hanya dijadikan selimut, maka tidur pun tak lagi tenang. Mereka menutup kepala dengan sajadah, tapi membiarkan kakinya menginjak tulang belulang orang miskin.

Di ruang-ruang yang gelap, transaksi diam-diam berlangsung. Bukan sekadar uang, tapi juga nurani yang diperjualbelikan. Sementara rakyat kecil diajarkan untuk sabar, ikhlas, dan taat — mereka yang di atas tertawa, menyusun rencana baru demi memperbesar celah korupsi.

Korupsi bukan lagi dianggap dosa besar, tapi seperti “rezeki tambahan” yang datang dari sistem yang sudah rusak sejak akar. Dan ketika ada yang mencoba melawan, yang muncul bukan pujian, tapi ancaman. Dunia terbalik. Yang jujur disingkirkan, yang korup disanjung.

Maka, benarlah kata bijak:
Ketika kemewahan menjadi tujuan, maka agama hanya tinggal simbol.


"Doa yang Tak Lagi Sampai"

Mereka menengadah, tapi bukan untuk meminta ampun
Mereka berzikir, tapi hati mereka sudah membusuk
Di tangan kiri membawa kitab, di tangan kanan mencuri hak

Ini bukan tentang Tuhan yang tidak mendengar
Tapi manusia yang pura-pura buta
Mereka tak tahu, atau pura-pura lupa
Bahwa Tuhan tak bisa dibeli, walau dengan seribu doa





NEGERI PARA PENGHIANAT 2



Bab 2: Wajah Tak Terlihat, Luka yang Nyata



Korupsi bukan sekadar mencuri uang rakyat. Ia lebih dari itu — ia adalah racun yang merusak akal sehat, melemahkan hukum, dan menghancurkan masa depan. Yang membuatnya sulit diberantas adalah karena ia jarang menampakkan wajah aslinya. Ia menyamar dalam senyuman pejabat, dalam tanda tangan basah di selembar kertas proyek fiktif, atau dalam amplop kecil di balik meja rapat.

Jaringan korupsi bukanlah satu atau dua orang. Ia sistematis. Terstruktur. Bahkan seringkali dilindungi oleh hukum yang dibuatnya sendiri. Di bawah terang lampu gedung-gedung megah, mereka berbicara tentang pembangunan, tapi di balik pintu tertutup mereka membagi-bagi jatah proyek.

Dan yang paling menyedihkan, rakyat kecil seringkali hanya bisa menjadi penonton. Mereka tidak tahu siapa yang harus dipercaya, karena suara-suara kejujuran sering dibungkam. Yang vokal dipermalukan. Yang melawan dihancurkan karakternya. Sistem ini membuat kejujuran terlihat konyol, dan kebohongan menjadi biasa.

Korupsi bukan hanya milik para pejabat. Ia menyusup ke sekolah, rumah sakit, lembaga agama, bahkan organisasi sosial. Semuanya bisa jadi ladang bagi mereka yang haus kuasa dan rakus harta. Ketika anak sekolah diajarkan untuk memberi “uang terima kasih” kepada guru atau kepala sekolah, itu adalah awal pendidikan korupsi. Ketika pasien yang sekarat tidak dilayani dengan baik tanpa “uang pelicin”, di situlah kita melihat betapa nyatanya luka bangsa ini.

Tak heran jika negara ini seolah berjalan di tempat. Setiap rupiah yang seharusnya membangun jembatan, sekolah, dan puskesmas, justru lenyap masuk ke kantong yang tak pernah merasa cukup.

Dan anehnya, mereka tidak pernah merasa bersalah. Mereka tetap bisa tersenyum di televisi, berkampanye tentang moral, dan berbicara soal nasionalisme — sementara mereka sendiri adalah pengkhianat sejati yang membakar negeri ini pelan-pelan dari dalam.

“Bayangan yang Bernyawa”

Mereka tak berkuku, tapi mencakar
Tak bertaring, tapi menggigit sadar
Mereka berbicara soal rakyat
Tapi lupa siapa yang disayat

Di antara tawa pesta dan meja kayu
Negeri ini mengering, jatuh satu-satu
Tapi mereka terus menari
Di atas luka bumi sendiri

Lanjut Part 3👉🏻👉🏻

NEGERI PARA PENGHIANAT

 "Suara Rakyat yang Tak Pernah Didengar"


Kami ini rakyat.

Bukan robot yang bisa disuruh sabar terus-menerus,

bukan angka di tabel statistik yang mudah dimanipulasi.


Kami bekerja dari pagi hingga malam,

di bawah terik, di bawah tekanan,

demi sesuap nasi yang kadang masih harus dibagi dua.


Tapi yang kami lihat di atas sana:

kursi empuk, gaji puluhan juta,

tapi amanahnya entah ke mana.



---


Kalian minta kami patuh pada aturan,

padahal kalian yang paling dulu melanggarnya.

Kalian minta kami jujur,

tapi kalian korupsi sembari tersenyum di layar kaca.


Kalian bilang "untuk rakyat",

tapi rakyat mana yang kalian maksud?



---


Kami muak.

Bukan karena benci negara,

tapi karena kami mencintainya,

dan kami sudah terlalu lama dikhianati oleh mereka yang bersumpah akan menjaganya.


Kami tidak ingin memberontak,

kami ingin perubahan.

Bukan yang kosmetik, bukan pencitraan.

Tapi yang lahir dari nurani dan keberanian.



---


Jika masih ada satu saja pejabat yang jujur,

maka padanya kami titip harapan.

Jika masih ada satu suara rakyat yang berani bersuara,

maka kepadanya kami titip masa depan.


Karena sejatinya:

Negara ini bukan milik elit — tapi milik seluruh rakyat yang berkeringat.

NEGERI PARA PENGHIANAT 1

 ❤️MERAWAT LUKA NEGERIKU ❤️


Penulis: Celly Tomokianz 


Indonesia. Sebuah negeri yang dianugerahi alam paling melimpah di dunia. Dari Sabang sampai Merauke, dari gunung-gunung tinggi yang menjulang hingga lautan biru yang membentang, tanah ini kaya akan sumber daya yang membuat iri banyak bangsa lain. Emas, minyak, batu bara, rempah-rempah, hutan tropis, hingga hasil laut yang tak terhitung jumlahnya.


Namun, di balik semua kemewahan alam itu, ada sebuah kenyataan pahit yang jarang diungkap dengan gamblang: negeri ini adalah negeri yang dicuri — bukan hanya oleh tangan asing yang datang dari luar, tapi oleh tangan-tangan yang seharusnya menjaga, malah menggerogoti dari dalam.


Sejak zaman dahulu, korupsi dan pengkhianatan sudah merayap masuk. Bangsa ini tak hanya dijajah secara fisik, tapi juga secara ekonomi dan moral. Penjajah luar mungkin sudah pergi, tapi penjajah versi baru dengan wajah berbeda masih bercokol di setiap sudut kekuasaan.


Dari para pemimpin yang mengkhianati rakyat demi ambisi dan kekayaan pribadi, hingga para birokrat yang menjadikan jabatan sebagai ladang mengumpulkan harta secara ilegal — semuanya membangun tembok ketidakadilan yang semakin tebal.


---


Bayangkan seorang petani di pedalaman yang menggarap sawah dengan susah payah, mengharap hasil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Namun, sebagian besar hasil panen itu tidak sampai ke meja makan mereka. Di kota, pejabat-pejabat tinggi menikmati kemewahan yang bersumber dari potongan-potongan kecil hasil kerja keras rakyat.


Di pasar-pasar tradisional, harga kebutuhan pokok melambung tinggi karena rantai distribusi yang panjang dan praktik pungutan liar. Dana bantuan sosial yang mestinya membantu rakyat miskin, malah dinikmati segelintir orang yang rakus. Pembangunan infrastruktur yang megah, seolah-olah untuk rakyat, justru berujung pada proyek-proyek fiktif yang menggelontorkan uang tanpa manfaat nyata.


Korupsi telah menjadi kanker yang membusukkan tubuh bangsa ini. Ia menyelinap di balik senyum ramah dan janji manis pemimpin, bersembunyi di balik tumpukan dokumen dan meja-meja rapat, lalu merampas masa depan jutaan orang yang berharap pada keadilan dan perubahan.


---


Negeri ini kaya, tapi rakyatnya sering kelaparan; berlimpah sumber daya, tapi kemiskinan tetap mengakar. Kesenjangan sosial membentang lebar seperti jurang, memperlihatkan betapa ketidakadilan sudah menjadi bagian dari sistem.


Namun, ada harapan di tengah kegelapan. Kesadaran perlahan mulai tumbuh. Rakyat mulai membuka mata dan menuntut perubahan. Mereka tahu, jika akar korupsi tidak dicabut, maka semua janji kemerdekaan hanyalah kata-kata kosong.


## Fakta Sejarah: Jejak Korupsi dari Masa ke Masa


### Zaman Kerajaan dan Penjajahan


Korupsi bukan masalah baru di Indonesia. Bahkan sebelum penjajahan Belanda, berbagai kerajaan Nusantara sudah mengenal praktik suap, nepotisme, dan pengkhianatan demi mempertahankan kekuasaan dan kekayaan. Misalnya, beberapa raja dan bangsawan kerap membebani rakyat dengan pajak dan upeti yang berat.


Saat VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) datang, mereka tak hanya menjajah secara militer, tapi juga menguasai ekonomi lewat monopoli rempah-rempah. Dalam praktiknya, ada pejabat lokal yang bekerja sama dengan VOC demi keuntungan pribadi, mengkhianati rakyatnya sendiri.


### Masa Penjajahan Belanda


Belanda menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang memaksa rakyat menanam komoditas ekspor seperti kopi dan tebu. Meski demikian, ada catatan bahwa sistem ini disertai praktik korupsi oleh para pegawai Belanda dan pribumi, yang mengorbankan petani dan buruh demi keuntungan pribadi.


Banyak pejabat Belanda dan pribumi yang memanfaatkan posisi mereka untuk memungut pajak berlebihan atau menjual hasil bumi tanpa memberi keuntungan yang adil bagi rakyat.


### Era Kemerdekaan dan Masa Soekarno


Setelah kemerdekaan, bangsa ini berusaha membangun negara yang bebas dari penjajahan. Namun, tantangan besar datang dari dalam. Korupsi mulai muncul dalam berbagai bentuk, meski Soekarno berusaha keras memerangi praktik tersebut.


Pada masa Soekarno, lembaga seperti Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) dibentuk untuk mengadili kasus korupsi dan kolusi. Sayangnya, sistem hukum yang belum matang dan ketidakstabilan politik membuat upaya ini kurang efektif.


### Masa Orde Baru


Di bawah rezim Soeharto, korupsi mencapai puncaknya. Kekuasaan yang terpusat pada satu orang dan kroni-kroninya membuka pintu lebar bagi praktik kolusi, nepotisme, dan korupsi sistemik.


Studi World Bank pada tahun 1990-an menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan miliaran dolar AS setiap tahun karena korupsi. Dana pembangunan dan proyek-proyek strategis banyak diselewengkan untuk memperkaya segelintir orang.


### Era Reformasi Hingga Kini


Setelah jatuhnya Orde Baru, Indonesia berusaha membenahi sistem dan memberantas korupsi lewat lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, tantangan tetap besar. Korupsi semakin canggih dan tersembunyi, menyentuh hampir semua sektor mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.


---


### Dampak Nyata Korupsi bagi Rakyat


* Infrastruktur yang amburadul meski anggaran besar

* Pendidikan yang mahal dan berkualitas rendah

* Pelayanan kesehatan yang tidak merata

* Kemiskinan yang sulit diatasi meski sumber daya melimpah


Korupsi bukan sekadar soal uang hilang, tapi juga pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.


---


Bersambung....




Mengupas tuntas sejarah korupsi


###

Rabu, 21 Mei 2025

CERITA TENTANG KITA



CERPEN: ALBUM NIKE ARDILLA

Karya: Celly Tomokianz

Pertama kali aku mengenalmu dan tahu siapa namamu, HATI KECILKU berbisik lirih: aku  SALUT padamu.
Tersimpan cinta di hati, namun aku terlalu gengsi untuk mengungkapkannya. CINTAKU PADAMU, hanya bisa kupeluk diam-diam.

Kaulah YANG PERTAMA membuatku memahami arti cinta. Detak jantungku berdegup kencang setiap kali berjumpa denganmu. BAYANG-BAYANGMU selalu menjelma dalam khayalku, seolah enggan pergi dari pikiranku.

Ketika kau katakan cinta padaku, aku terima cintamu. Tapi… KERAGUAN menyelinap dalam hatiku. Benarkah cintamu tulus? BERI DAKU KEPASTIAN—aku ingin yakin.

DI ANTARA PILIHAN yang ada, kaulah yang kupilih. BISIKAN CERMIN hatiku menunjuk padamu. RINDU KASIH membuncah. Aku ingin bertemu, ingin mencari BAYANG DIRIMU di sudut malamku yang sepi.

BILA CINTA MULAI BERSEMI, dan kau ciptakan lagu tentang CINTA KITA, izinkan cintaku tumbuh dan berbunga di hatimu. SUARA HATIKU berkata: kaulah CINTA PERTAMAku.

Kau NYALAKAN API KEHIDUPAN dalam cintaku. Aku tahu CERITA LAMA tentangmu. Tapi aku yakin, GARIS NASIB ini menuntunku pada WARNA CINTA KITA.

Namun ternyata… baru kusadari. Kau BUKA KARTU. Semua hanya SANDIWARA CINTA.
Kasih, cintamu yang palsu telah membuat LUKA di hatiku.
CINTAKU SUCI, sayangku murni. Tapi tak kau hargai.

Kesal hatiku menerima FAKTA ini. Kau pergi, TAKKAN KEMBALI. Hilang, larut dalam amarahku. Tapi aku yakin, DUKA PASTI BERLALU.

DI DALAM SUNYI aku termenung. Pudar sudah cinta ini. BIARLAH AKU YANG MENGALAH... namun, SANGGUPKAH AKU melupakanmu?

SURAT TERAKHIR darimu menghancurkan hatiku. PUTUSLAH SUDAH harapan cintaku.
Yang TAK MUNGKIN BERSATU, karena KAU BUKAN MILIKKU LAGI.

BIARKAN CINTAMU BERLALU, dan semestinya, JANGAN LARI DARI KENYATAAN.
Hanya karena DIA, kau tinggalkan diriku. Dan kini, TINGGALLAH DIRIKU SENDIRI.

Ke mana aku harus pergi?
Aku bagai PENGEMBARA TERASING, menyusuri jalanan yang berliku. KU HARUS MELANGKAH, berharap SEBERKAS SINAR akan menyinari hatiku yang KELAM.

KALAU AKU BISA TERBANG, ingin MERAIH REMBULAN, tapi tangan tak sampai.
DALAM BIRU HATIKU, aku hanya bisa berharap: semoga Tuhan memberiku ANUGERAH terindah dalam hidup ini.

MATAHARIKU, pancarkanlah sinarmu… agar aku bisa kembali merasakan kehangatan.
MENGAPA HARUS BERPISAH saat CINTA DI ANTARA KITA mulai bersemi?

Ingin kulupakan bayanganmu. Ingin kulepaskan diriku dari BELENGGU CINTAmu.
BAYANG-BAYANG HITAM yang menghantui, kuanggap hanya mimpi di siang hari.
UNTUK APA LAGI kupaksakan cinta PUTIH ini… jika ternyata,
KAU BUKAN UNTUKKU.



Selasa, 20 Mei 2025

CUKUP SUDAH


oleh: Celly Tomokianz

Aku telah diam, menahan luka yang dalam,
Memberi kesempatan, membuka pintu harapan.
Namun yang datang hanya dusta dan fitnah,
Menggores hati, meninggalkan luka yang parah.

Anakku dijadikan alat, dihujani doktrin palsu,
Ayah tirinya yang tulus, difitnah tanpa ragu.
Mereka berpura manis di hadapan,
Namun menusuk dari belakang, tanpa perasaan.

Tak ada lagi ruang untuk kebohongan,
Tak ada lagi tempat untuk pengkhianatan.
Cukup sudah, aku memilih menutup pintu,
Demi ketenangan, demi masa depan yang baru.



Senin, 19 Mei 2025

JENDELA TANPA SAPAAN



"Jendela Tanpa Sapaan"



Puisi tentang Bintang dan Indra yang tak lagi bersapa


By : Celly Tomokianz

Kita tak pernah benar-benar berpisah,
hanya berhenti bicara…
seperti surat yang tak jadi dikirim,
atau lagu yang berhenti di tengah bait indah.

Kita berteman di layar,
tapi tak pernah menyapa.
Dua sisi jendela yang sama,
tapi selalu tertutup tirainya.

Aku tak tahu seperti apa senyummu sekarang,
dan aku?
Masih di sini—
diam, tapi tidak menunggu.

Mungkin inilah caranya semesta menjaga kita:
dengan tidak membiarkan kita saling melihat,
agar tak ada hati yang kembali luka.

Bukan karena aku belum ikhlas,
tapi karena kenangan sepertimu
tak pernah benar-benar bisa dilupakan.

Maka, kubiarkan kau hidup di rak kenanganku,
bukan untuk kusentuh…
tapi untuk kuterima:
bahwa kita pernah ada—dan tak akan pernah kembali.


Telepon yang Tak Pernah Selesai

Ada suara dari masa lalu,
datang melalui sambungan telepon yang ragu-ragu.
Katanya ingin bicara,
tapi tak jelas ingin apa.

Kupilih jujur,
menjabarkan luka yang pernah kubalut sendiri,
mengurai simpul yang tak pernah dia pahami,
menjawab pertanyaan yang seharusnya bukan untukku lagi.

Tapi, kenapa kau diam di akhir?
Tak ada “terima kasih”,
tak ada “selamat tinggal”…
hanya keheningan yang diputus seperti sinyal.

Haruskah aku marah?
Tidak.
Aku hanya merasa…
lelah jadi jawaban untuk orang yang datang karena penasaran, bukan karena peduli.

Biarlah,
kalau memang harus selesai begini,
aku ikhlaskan telepon itu
sebagai akhir dari bab yang memang tidak perlu dibuka lagi.




"Aku Sudah Bicara"


oleh: Celly Tomokianz

Aku sudah diam, bertahun-tahun,
menyimpan luka, menahan dendam.
Kupikir cukup kutelan sendiri,
tanpa perlu dunia ikut mengerti.

Tapi hari ini aku bicara—
tentang janji yang tak ditepati,
tentang anak yang tak dinafkahi,
tentang luka yang kalian beri lalu pura-pura tak tahu diri.

Kalian datang,
mencari-cari kesalahan dari tempat yang telah kutinggalkan.
Kalian bertanya, lalu pergi,
tanpa pamit, tanpa empati,
seolah-olah aku hanya angin yang tak perlu dipahami.

Aku sudah bicara,
bukan untuk menyakiti,
tapi agar kalian berhenti menyakiti.

Kalau setelah ini kalian tetap tak mau dengar,
silakan.
Tapi jangan pernah bilang aku tak pernah menjelaskan.


Minggu, 18 Mei 2025

SURAT UNTUK DIA



Untukmu, yang selalu datang dengan amarah,
Seolah aku adalah sebab dari luka-lukamu
Seolah aku masih harus menunduk
Padahal aku sudah terlalu sering kau injak diam-diam.

Kau datang lagi—dengan kata-kata tajam
Yang tak kupinta, tak kunanti,
Tapi selalu kau lemparkan seolah aku papan sasaran
Padahal yang aku lakukan hanya… bertahan.

Aku tidak ingin membalas,
Bukan karena aku kalah,
Tapi karena aku tidak ingin menjadi
Apa yang telah mengubahmu jadi seperti itu.

Kini, aku hanya menjauh
Bukan untuk membuatmu kalah,
Tapi untuk membuat diriku tenang
Dan anak kita—tak tumbuh dalam badai kata.

Jangan salah artikan diamku
Bukan karena aku tidak bisa berbicara
Tapi karena aku sudah terlalu sering bicara
Dan kau memilih untuk tetap tidak mendengar.

Jadi kali ini,
Aku memilih menjadi sunyi
Yang tidak lagi menyebut-nyebut namamu
Bahkan dalam tangis yang aku tahan diam-diam.

Cukup sampai sini.
Tak perlu lagi kau mengetuk ruang yang sudah aku kunci
Sebab kini, pintu itu bukan lagi tempatmu kembali—
Melainkan tempatku sembuh… perlahan, meski sendiri.



Ditulis oleh:
Celly Tomokianz

🕊️

DIAMKU BUKAN UNTUKMU


Jangan datang padaku membawa pertanyaan,
sedang kau tinggalkan aku bersama beban yang tak kau pikul.
Jangan ajukan klarifikasi,
jika yang kau cari hanyalah pembenaran untuk lari dari tanggung jawab.

Aku bukan tempat menampung limbah dari luka yang kau ciptakan sendiri.
Aku bukan penghapus dosa yang kau ulang-ulang tanpa penyesalan.

Diamku bukan tanda rindu,
tapi pilihan untuk tidak lagi menjatuhkan harga diriku
demi mendengar alasan yang tak pernah berubah.

Dan jika kau pikir aku akan kembali meratap
pada kenangan yang kau injak tanpa rasa bersalah,
ketahuilah: aku sudah berdamai dengan sunyi yang tak menyebut-nyebut namamu lagi.

— Celly Tomokianz 🖤


SUARA YANG TAK DIANGGAP 3



Penulis: Celly Tomokianz

(Bagian 3 – “Insiden yang Membuka Mata”)

Hari itu aula sekolah penuh sesak. Anak-anak duduk berbaris, bersiap tampil dalam pentas seni yang selama ini diributkan. Ibu-ibu bergaya berlalu-lalang, sibuk dengan kamera ponsel, merapikan make-up anak, mengatur baju agar tetap tampak mewah di layar sosial media.

Tiba giliran anak laki-laki Anisa tampil—sederhana, polos, tapi penuh semangat. Saat ia selesai menari, ia melihat ke arah ibunya di pojok aula, lalu melambaikan tangan dengan bangga. Anisa tersenyum, menahan haru. Meski tak seheboh anak-anak lain, tapi itu tulisan cinta paling jujur antara ibu dan anak.

Tak lama setelah itu, kericuhan kecil terjadi.

Salah satu ibu berteriak karena kostum anaknya terkena noda dari make-up anak lain. Lalu terjadi adu mulut, disaksikan anak-anak. Suasana pentas seni berubah jadi tegang. Beberapa guru panik, acara sempat dihentikan.

“Lihat kan, Bu... ini yang saya takutkan dari awal,” ucap Anisa perlahan, mendekati salah satu guru.

Beberapa orang tua yang awalnya diam mulai saling memandang. Mulai muncul bisikan:

“Benar juga ya kata Bu Anisa selama ini.”
“Acara seperti ini kok malah bikin ribut.”
“Harusnya sekolah lebih tegas, batasi gaya-gayaan yang nggak penting begitu.”

Esok harinya, grup WhatsApp wali murid ramai. Tapi kali ini bukan menyindir Anisa, justru banyak yang menyuarakan keinginan perubahan.

“Kami dukung sekolah buat acara yang sederhana tapi bermakna.”
“Kalau bisa mulai tahun depan, tanpa kostum mahal, tanpa EO, cukup kreatifitas anak dan guru.”
“Setuju kebijakan seperti yang sering disuarakan Pak Dedi Mulyadi... pendidikan harus kembali ke akarnya.”

Kepala sekolah akhirnya mengirimkan pengumuman resmi:

“Mulai semester depan, seluruh acara sekolah akan disesuaikan dengan nilai kesederhanaan, partisipatif, dan berfokus pada anak, bukan pada kompetisi gaya antarorang tua.”

Anisa membaca pengumuman itu sambil memeluk anaknya.

“Akhirnya, suara yang tak dianggap... mulai terdengar.”


 Ternyata tak semua diam.

Beberapa memang hanya menunggu satu suara pertama...
dan semoga setelah ini,
pendidikan kembali pada esensinya:
bukan tentang siapa yang terlihat paling mewah,
tapi siapa yang benar-benar peduli.”

Bersambung....

SUARA YANG TAK DIANGGAP 2

Penulis : Celly Tomokianz


(Bagian 2 – “Gaya Istri, Luka Suami”)

Minggu pagi di warung kopi dekat sekolah. Tiga orang ayah duduk membicarakan pentas seni yang akan digelar bulan depan. Sambil menyeruput kopi hitam dan menghembuskan napas lelah, mereka berbincang dalam nada rendah—takut terdengar, tapi terlalu sesak untuk disimpan.

Istriku minta duit buat beli gaun baru. Katanya biar matching sama ibu-ibu lain pas pentas seni nanti,” ucap seorang pria berkaos oblong, wajahnya kusut.
Aku udah kerja dari pagi sampai malam, tapi tetap saja kurang. Kadang pengin kabur aja dari semua ini.”

Yang lain menimpali:

Aku malah dipaksa cicil tas branded. Katanya biar nggak malu waktu rapat sekolah. Astaga... padahal anak kita cuma nari 5 menit di panggung kecil.”

Tertawa hampa mengisi meja kecil itu. Mereka bukan lelaki lemah, bukan pula tak sayang keluarga. Tapi gaya hidup istri-istri mereka yang ikut-ikutan bersaing di sekolah, membuat mereka kehabisan napas.

Sementara itu, di rumah kontrakannya yang sederhana, Anisa sedang menjahit pita kecil untuk kostum anaknya yang akan tampil. Ia tak minta sumbangan, tak beli baru, hanya memanfaatkan sisa kain dari tahun lalu.

Nisa, kamu ikut bantu rapat dekorasi nggak besok?” tanya tetangganya lewat pesan.

Anisa menjawab, Kalau untuk dekor panggung anak-anak, insya Allah. Tapi kalau rapatnya cuma isinya debat soal model baju dan EO, aku izin ya, Mbak...”

Jawabannya singkat, tapi bagi yang mengerti, itu bentuk luka dan perlawanan kecil.

Hari demi hari, nama Anisa makin terdengar asing di antara grup-grup WhatsApp sekolah. Ia sering tidak dilibatkan, tidak disapa. Tapi diam-diam, ada beberapa ibu lain yang mulai mengagumi sikapnya. Mereka yang juga sesak, tapi belum cukup berani untuk bersuara seperti Anisa.

Dan tanpa mereka sadari, Anisa sedang menjadi suara dari banyak orang yang diam.

Kalau semua diam karena takut tidak diterima,
maka sistem yang salah akan terus berjalan,
dan anak-anak kita... yang akan jadi korban.”


Bersambung


Lanjut part 3👉🏻👉🏻👉🏻

SUARA YANG TAK DIANGGAP

Penulis : Celly Tomokianz


*(Bagian 1 – “Sekolah atau Panggung Gaya?”)*


Namanya **Anisa**, ibu tunggal dari seorang anak laki-laki kelas dua SD. Sejak pagi, ia sudah bangun lebih awal—menyiapkan sarapan, bekal, lalu mengantar anaknya dengan motor tuanya yang sering mogok. Tapi hari ini bukan sekadar hari antar-jemput biasa, hari ini ada rapat sekolah.


Di aula, Anisa duduk paling belakang. Ia bukan pemalu, bukan pula penakut, tapi ia tahu... **keberadaannya jarang dianggap**. Ibu-ibu lain sudah lebih dulu datang dengan tas bermerek, baju modis, sepatu berkilau. Beberapa bahkan sibuk selfie sebelum rapat dimulai.


Saat kepala sekolah berbicara soal kegiatan pentas seni, seorang ibu menyela:


 “Kita bikin seragam baru ya Bu, yang bahannya bagus, dan jangan lupa make-up-nya profesional. Kalau bisa panggil EO, biar megah sekalian...”


Anisa mengangkat tangan.

“Maaf, Bu... Kalau acaranya fokus ke anak-anak, mungkin cukup sederhana saja. Yang penting anak senang dan tidak membebani orang tua.”


Ruangan langsung hening.

Beberapa ibu melirik dari ujung mata. Ada yang tersenyum sinis. Seorang ibu berbisik pada temannya, cukup keras untuk didengar:


 “Aduh, ini lagi yang ngomong. Udah tau nggak mampu, tapi rewel aja.”

Anisa tersenyum pahit. Sudah sering ia diperlakukan seperti itu.

Ia menunduk, menahan air mata. Bukan karena malu, tapi karena lelah.

"Kalau semua sudah ditentukan, untuk apa dimusyawarahkan?"
Pertanyaan itu tak pernah dijawab. Hanya dibalas dengan senyuman hambar dan pandangan yang menghakimi.

Suatu hari, Anisa mencoba bicara tentang kebijakan sekolah yang menyulitkan. Ia tidak marah, tidak kasar—hanya ingin didengar. Tapi hasilnya? Ia dicap sebagai pengacau. Ada yang berkata di belakang, “Sok pintar.” Ada yang menghindar, seolah ucapannya membawa racun.

Padahal, ia hanya ingin kebaikan untuk anak-anak, bukan panggung untuk dirinya.

Lelah karena **sekolah sekarang bukan lagi tempat belajar**, tapi sudah jadi **tempat pamer dan bersaing antarorang tua**.


 “Kata Pak Dedi itu gaya elit, ekonomi sulit,” gumamnya dalam hati, mengingat satu-satunya pejabat yang ia rasa benar-benar paham isi hati rakyat kecil.


Saat rapat selesai, Anisa berjalan pulang sendirian. Tidak ada yang menyapanya. Tapi ia tidak menyesal. Ia hanya ingin anak-anak bisa sekolah dengan damai. Tanpa harus menjadi ajang eksistensi orang tua. Tanpa harus membuat yang miskin merasa asing di tempat yang seharusnya menjadi rumah ilmu.


 “Kembalikan dunia pendidikan seperti dulu...” katanya dalam hati.

 “Di mana guru mengajar, murid belajar, dan orang tua percaya.”

 “Bukan ikut campur, bukan ikut gaya, bukan ikut membuat gaduh.”


---


Bersambung.... 



Sabtu, 17 Mei 2025

SENANDUNG HATI IBU



Senandung Hati Ibu

Di balik senyum yang kusambut tiap pagi,
tersembunyi letih yang tak pernah tumpah.
Dalam bisu langkahku yang sabar,
terdengar doa tanpa suara untuk masa depan yang sederhana.

Kupu-kupu kecilku menari di taman mimpi,
tak ingin kusulam beban yang berat pada sayapnya.
Namun gelombang dunia kadang deras menyapa,
membawa arus yang mencoba menyeretku jauh.

Aku hanyalah sebuah pelita kecil,
berusaha memberi cahaya tanpa padam,
meski angin dan hujan mencoba meredupkannya.
Aku ingin damai, bukan perang tanpa kemenangan.

Jika suara ini terlalu lembut untuk didengar,
aku akan tetap bernyanyi dalam diam,
menguatkan hati yang rapuh,
menjaga bunga kecil ini tetap mekar.

Tak semua jalan yang aku tempuh mudah,
ada duri yang tersembunyi di balik bunga.
Namun aku berjalan, tak gentar,
karena cinta adalah pelindung dan penggerakku.

Mereka mungkin tak selalu mengerti,
tapi aku percaya waktu yang akan bicara.
Suatu hari, kupu-kupu kecilku akan terbang tinggi,
bebas dari bayang yang selama ini membayangi.

Jadi aku terus bertahan, terus berharap,
karena ibu adalah pelita, penabur harapan.
Dalam sunyi, aku tetap berdiri,
menjaga mimpi, menjaga hati yang penuh cinta.



PEREMPUAN YANG TAK DIANGGAP (ENDING)

 

Bab 7: Tentang Sebuah Sekolah dan Perjuangan Seorang Ibu

Hari-hari menjelang kelulusan anak semata wayangnya dari Taman Kanak-Kanak terasa campur aduk bagi Rania. Harusnya ia bahagia, bangga, dan tenang menyambut fase baru sang anak yang akan melanjutkan ke Sekolah Dasar. Tapi semua tidak semudah itu.

Satu per satu kebutuhan mulai berdatangan: formulir pendaftaran, seragam, perlengkapan belajar, biaya administrasi. Rania sudah menyiapkan sedikit demi sedikit dari hasil kerja dan bantu suaminya yang sekarang. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu: ini adalah tanggung jawab bersama — termasuk ayah kandung anaknya.

Rania memberanikan diri menghubungi mantan suaminya, meminta bantuan untuk urusan sekolah. Tapi seperti yang sudah-sudah, permintaan baik itu dibalas dengan ucapan yang menyakitkan.

Sekolah SD tuh nggak mahal-mahal amat, kenapa nggak kamu aja yang urus semuanya?”
Aku juga punya hidup, jangan semua nyuruh aku.”
Lagian kamu udah nikah lagi, kan suami kamu yang harus tanggung jawab.”

Setelah itu, kalimat-kalimat hinaan kembali menyerbu seperti peluru. Ia dituduh meminta-minta, dituding tidak becus mengurus anak, bahkan direndahkan sebagai ibu yang tak tahu diri.

Padahal, Rania tidak sedang meminta belas kasihan. Ia hanya menuntut tanggung jawab seorang ayah — yang di atas kertas masih tertera di akta lahir anaknya.

Lebaran kemarin, sang mantan sempat mengaku sudah mengirimkan uang lima ratus ribu rupiah untuk keperluan anak. Tapi uang itu tidak pernah sampai ke tangan Rania. Ternyata diberikan kepada adik-adiknya, disuruh membelikan baju. Tapi tak ada sepatah kata pun bahwa itu dari ayahnya. Bahkan bajunya pun kebesaran dan cepat rusak setelah dicuci.

Saat Rania mengeluh, ia malah kembali dimaki.

Kamu bukan siapa-siapa di keluarga aku.”
Kamu itu cuma mantan. Jangan banyak nuntut.”
Udah enak nggak jadi bagian dari keluarga aku.”

Sakit. Tapi Rania hanya diam. Ia memilih tidak membalas. Ia sudah tahu arah semuanya. Hanya datang saat ingin terlihat baik. Tapi menghilang saat tanggung jawab diminta.


Rania akhirnya memutuskan sesuatu dalam hati:
Ia tidak akan lagi memaksa. Ia tidak akan lagi membuka luka untuk berharap pada orang yang hanya datang untuk menyakiti. Jika ayah kandung anaknya memilih tidak peduli, maka biarlah.

Asal mereka tidak lagi mencampuri hidupnya.
Asal tidak lagi datang membawa drama dan pertengkaran.
Asal tidak lagi mengganggu ketenangannya yang mulai ia bangun susah payah.



PEREMPUAN YANG TAK DIANGGAP BAB 4

 


Bab 4: Menjaga Jarak, Menjaga Hati

Rania duduk di teras rumah kecilnya, menyaksikan senja yang perlahan memudar.
Ia sudah lama memutuskan satu hal: tidak lagi mengizinkan dirinya disakiti oleh mereka yang tidak pernah peduli.

Anaknya kini adalah pusat dunia.
Nafkah? Rania sudah memutuskan untuk tidak lagi berharap.
Dia tahu, mantan suami dan keluarganya mungkin akan terus enggan bertanggung jawab, atau bahkan membenci. Tapi itu bukan urusannya lagi.

“Kalau mereka mau main kata-kata, ya biarlah,” gumam Rania pelan.
“Yang penting aku damai. Aku kuat. Anakku bahagia, itu sudah cukup.”

Kampung itu pernah menjadi tempat yang penuh luka.
Setiap kali Rania datang, bisik-bisik, ejekan, dan kata-kata menyakitkan selalu mengikutinya.
Orang-orang kampung yang seharusnya jadi tetangga, malah jadi saksi dan pelaku kejamnya cerita yang tak pernah ia pinta.

Mereka bilang, “Jangan menjelek-jelekkan keluargamu.”
Tapi bukankah keluarga itu yang dulu suka mengejek, menghina, dan membuatnya merasa seperti asing di tanah sendiri?

Rania menghela napas dalam.
Ia sadar, tak ada gunanya memaksa diterima oleh orang-orang yang hatinya penuh prasangka dan kebencian.
Ia bukan budak dari penilaian mereka. Ia adalah ibu. Seorang perempuan yang berhak bahagia.

Hari-hari berikutnya, Rania mulai belajar hal baru:
Menjaga jarak bukan berarti putus asa, tapi sebuah bentuk cinta pada diri sendiri.

Ia mengurangi komunikasi dengan mantan suami. Hanya bicara kalau soal anak, dan sebisa mungkin singkat dan jelas.
Ia menghindari pertemuan dengan keluarga mantan, memilih untuk membangun lingkaran baru yang positif. Teman-teman yang benar-benar mendukung dan peduli.

Kadang ia merasa sedih, tapi lebih sering ia merasa lega.
Lega karena tak lagi harus mengorbankan hati untuk orang yang tidak pernah menghargainya.

Anaknya pun tumbuh dengan penuh cinta dari ayah dan ibu yang sekarang selalu hadir.
Tak ada kata-kata kasar atau sindiran di rumah mereka. Hanya ketulusan dan pengertian.

Rania tahu, perjalanan ini belum selesai.
Tapi dia sudah punya kunci utama: Ketulusan untuk diri sendiri.




Bab 5: Batas yang Tidak Bisa Lagi Dilewati

Sudah berkali-kali Rania mencoba tenang.
Sudah sering ia diam, meski disalahkan.
Sudah berulang kali ia menghindar, walau ditarik lagi ke pusaran ribut yang sama.

Mantan suaminya tak pernah benar-benar berubah.
Setiap pesan yang masuk ke ponselnya, hanya membawa satu hal:
Keributan.

Kadang dibungkus dengan topik anak, tapi selalu berakhir dengan umpatan, makian, atau sindiran yang menyayat.

“Kenapa bajunya itu?”
“Kamu ibu macam apa?”
“Kamu ngajarin anak biar jauh dari bapaknya!”

Padahal… yang Rania inginkan hanya satu:
Tenang. Hidup tanpa gangguan. Mendidik anak dengan cinta.

Tapi laki-laki itu tak pernah mengerti.
Dan yang lebih menyakitkan lagi, tidak pernah benar-benar peduli.

Sampai pada suatu sore, saat telepon kembali berdering dan suaranya kembali meninggi, Rania berkata dengan suara datar namun tegas:

“Mulai hari ini, aku tidak akan membalas apa pun dari kamu kecuali menyangkut sekolah atau kesehatan anak.
Kalau kamu masih datang hanya untuk ribut dan maki, aku anggap kamu tidak ingin damai.
Dan kalau kamu masih memaksa mengganggu, aku akan minta perlindungan. Bukan untuk melawanmu, tapi untuk menjaga kesehatan mentalku sendiri.”

Hening.

Untuk pertama kalinya, suara di seberang sana terdiam.
Rania tidak berteriak. Tidak membalas hinaan. Tidak memohon.
Hanya menegaskan: batas.

Itulah hari di mana ia memutus pola lama.
Tidak lagi memberi ruang pada racun yang selalu datang dengan nama “komunikasi demi anak.”

Ia atur semua jalur komunikasi penting lewat email.
Nomor telepon utama hanya untuk keluarga yang sehat secara emosional.
Dan untuk anaknya, ia ajarkan satu prinsip:

“Kalau seseorang datang hanya untuk membuat ibumu sedih, kamu tidak perlu merasa bersalah menjauh darinya.”


Bab 6 (Ending): Menutup Pintu, Membuka Jalan Baru

Tahun berganti.
Anaknya kini masuk SD, tumbuh cerdas, hangat, dan penuh cinta.
Rania semakin tenang.
Ia kembali menulis. Menanam bunga. Membuka kelas kecil untuk anak-anak di sekitar rumah.

Sesekali ada pesan dari mantan, tapi tidak lagi mengusik.
Sebab Rania sudah tidak membuka pintu untuk ribut. Ia hanya membuka pintu untuk tanggung jawab.

Mantan suaminya akhirnya lelah sendiri.
Tanpa bahan bakar kemarahan dari Rania, ia berhenti membakar.
Tanpa panggung drama, ia kehilangan perannya.

Dan yang paling penting:
Rania tidak lagi terikat oleh kata-kata yang dulu menyakitinya.

Ia bukan lagi perempuan yang berharap dimengerti.
Ia adalah perempuan yang telah menerima satu hal:
Beberapa luka memang tidak perlu diperdebatkan lagi. Cukup dirawat, lalu dijaga agar tidak terbuka kembali.



PEREMPUAN YANG TAK DIANGGAP

 

"Perempuan yang Tidak Dianggap"

Oleh: Celly Tomokianz

Namanya Rania.
Perempuan yang dulu memilih diam saat dimaki. Yang dulu tetap menyapa dengan sopan meski hatinya koyak. Yang dulu masih berusaha menjaga tali, meski ujungnya selalu ia genggam sendiri.

Rania pernah mencintai. Pernah menikah. Pernah percaya.
Dari pernikahan itu, ia dianugerahi seorang anak laki-laki. Satu-satunya alasan ia terus bertahan di dunia yang begitu sering menyakitinya.

Setelah rumah tangga mereka retak, Rania memilih diam.
Bukan karena kalah, tapi karena ia lelah terus berteriak pada dinding yang tak pernah mau mendengar.

Ia masih menjaga komunikasi dengan keluarga mantan suaminya. Bukan untuk dirinya—tapi untuk anaknya.
"Aku ingin anakku tetap kenal siapa keluarga ayahnya," katanya.
Tulus. Selalu dari tempat yang paling tulus.

Tapi balasannya?
Ucapan manis di depan, racun di belakang.
Mereka tersenyum padanya, tapi diam-diam menjelekkan nama baiknya. Bahkan, menyusupkan kalimat-kalimat buruk ke telinga anaknya. "Ayah tirimu itu bukan orang baik."
Padahal, ayah tiri itulah yang kini bertanggung jawab, yang memenuhi semua kebutuhan anak mereka tanpa banyak bicara.

Rania hanya bisa menunduk. Menahan marah. Menelan semua kecewa.
Dan mantan suaminya?
Datang dan pergi sesuka hati. Mengirim pesan panjang, telepon berkali-kali, hanya untuk menyudutkan.
Setiap kali Rania bicara soal nafkah anak, pria itu justru memutar balik pembicaraan. Menuduh, menyalahkan, memaki.
Seolah-olah Rania minta sesuatu yang bukan haknya.

"Uang lebaran kemarin aku sudah kasih!" katanya.
Padahal Rania tak menerima satu sen pun. Rupanya, uang itu disalurkan lewat saudara, dan Rania tak pernah tahu itu berasal darinya.
Saat Rania jujur soal baju yang kebesaran dan mudah rusak, ia malah dihina.
Kamu bukan siapa-siapa di keluargaku!”
Kalimat itu seperti pisau. Tapi anehnya, Rania tidak menangis. Ia sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu. Hatinyapun sudah kebas.

Namun tetap saja, malam itu ia diam lama di kamar.
Menatap anaknya yang tertidur pulas, menggenggam jari kecil itu.
Ia tahu, hanya ini yang paling berharga.
Dan karena anak ini... ia tetap bertahan.

Esoknya, ia mengambil keputusan.
Bukan dengan marah.
Bukan dengan benci.
Tapi dengan sadar: ia akan berjarak.
Bukan putus silaturahmi, tapi cukup tahu tempat.
Ia tak akan memaksakan kehangatan pada orang-orang yang tak pernah menganggapnya ada.

Rania mulai belajar...
Bahwa tidak semua ketulusan akan dibalas.
Bahwa tidak semua orang tahu caranya menghargai.
Dan bahwa menjadi perempuan kuat, bukan berarti harus terus bertahan di tempat yang menyakiti.

Karena pada akhirnya, ia sadar…
Ia memang bukan siapa-siapa di mata mereka.
Tapi ia adalah segala-galanya bagi anak yang kini ia besarkan dengan cinta.



Perempuan yang Tidak Dianggap (Bab 2: Luka yang Tak Lagi Disembunyikan)

Rania berjalan pelan ke dapur, matanya masih sembab.
Ia baru saja melewati malam yang panjang—lagi. Mantan suaminya mengirim pesan-pesan bernada kasar, menyindir, menyalahkan, bahkan membentak melalui voice note.
Semua karena satu hal: Rania meminta tanggung jawab atas anak mereka.

Satu tahun sekali aja ngasih uang, itu pun kamu marah-marah?”
Bajunya jelek? Kamu tuh nggak tahu diri!”
Kamu itu siapa? Bukan siapa-siapa di keluargaku!”

Kata-kata itu terus terngiang, memukul sisi-sisi hatinya yang sudah lama patah tapi belum pernah benar-benar sembuh.

Sambil membuat sarapan untuk anaknya, Rania melihat bayangan dirinya di kaca jendela.
Ada lingkar hitam di bawah mata. Ada kerutan yang muncul lebih cepat dari seharusnya. Tapi yang paling kentara adalah… sorot lelah dalam tatapan seorang ibu yang sudah terlalu lama menahan segalanya sendiri.

Ia menoleh ke arah ruang tamu.
Di sana, suami barunya—Adnan—sedang membantu anak mereka merapikan tas.
Laki-laki itu bukan sempurna. Tapi ia hadir. Ia peduli. Ia tidak pernah memaksa anak itu menyebutnya “ayah,” tapi selalu memastikan anak itu punya sepatu yang layak, buku yang lengkap, dan peluk hangat sebelum tidur.

Rania menahan napas.
Satu sisi hatinya bersyukur, sisi lain masih dihantui oleh rasa nggak enak—karena semua kebutuhan anak ditanggung Adnan, bukan ayah kandungnya.
Dan karena itu… kadang ia merasa bersalah, meski ia tahu, itu bukan salahnya.

Sayang, kamu kenapa diam aja?” tanya Adnan tiba-tiba, memecah lamunan.

Rania tersenyum kecil. “Nggak apa-apa. Cuma… capek aja.”

Adnan tidak bertanya lebih jauh. Tapi seperti biasa, dia mendekat, menaruh tangan di bahu Rania. “Kamu nggak harus kuat sendirian. Aku di sini.”

Kali ini, Rania tidak tahan lagi. Ia menangis. Untuk pertama kalinya, di hadapan seseorang yang tak menghakiminya.


Bab 3: Luka dari Masa Lalu yang Tak Mau Pergi

Beberapa hari kemudian, Rania menerima kabar bahwa keluarga mantan suaminya sedang berkumpul. Anak mereka diundang.
Dan seperti biasa, mereka tidak menyampaikan undangan itu secara langsung kepada Rania, melainkan lewat grup keluarga yang bahkan kadang ia tidak tahu masih ada.

Rania mengizinkan anaknya pergi. Ia tidak ingin memutus hubungan darah. Tapi sebelum anaknya pergi, ia menatap dalam-dalam mata kecil itu.
Nak, kamu boleh main ke rumah keluarga ayahmu. Tapi kamu juga harus tahu, yang sekarang bersamamu setiap hari itu adalah aku dan ayah Adnan. Kamu harus tahu siapa yang mencintaimu dengan nyata.”

Anaknya mengangguk. Rania tak ingin menanamkan kebencian, tapi ia ingin anaknya melihat kebenaran sendiri.

Beberapa jam setelah anaknya pergi, Rania menerima pesan suara dari keluarga mantan. Isinya? Sindiran. Tuduhan. Fitnah halus yang dibuat-buat.
Dan yang paling menyakitkan: anaknya dibilang lebih bahagia kalau tidak bersama Rania dan Adnan.


NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...