Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya
Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tangan yang seharusnya melindungi, dipelintir oleh janji-janji yang hanya indah di spanduk, dan dibisukan oleh aturan yang dibuat bukan untuk keadilan, tapi untuk kepentingan mereka sendiri.
Tapi sejarah mengajarkan kita satu hal: bangsa ini tidak pernah sepenuhnya mati. Ia bangkit berkali-kali, meski tertatih. Ia berdiri, meski diterpa badai. Karena selalu ada orang-orang baik—meski sunyi, meski tak viral—yang terus menjaga nyala api perubahan.
Harap itu bukan ilusi, tapi keputusan.
Harapan bukan sekadar menanti pemimpin datang, tapi keberanian untuk menciptakan pemimpin di dalam diri sendiri. Setiap orang bisa jadi pelita di sekitarnya. Dan dari banyak pelita, lahirlah terang yang tak bisa lagi dipadamkan.
Kita tak menulis kisah ini untuk mengutuk masa lalu,
tapi untuk membangunkan nurani masa kini.
Kita tak mengungkap borok hanya untuk menyebar luka,
tapi agar bangsa ini sadar dan segera mencari obatnya.
“Mereka yang mengkhianati negeri ini akan terlupakan oleh waktu.
Tapi mereka yang tetap setia,
akan hidup dalam sejarah yang ditulis oleh nurani manusia.”
“Negeri yang Tidak Akan Mati”
Mereka kira negeri ini bisa dibeli,
bisa dibungkam,
bisa dijual atas nama kepentingan.Tapi mereka lupa,
tanah ini tumbuh dari darah para pejuang,
bukan dari tinta kontrak korup.Mereka lupa,
rakyat bukan boneka,
kadang diam, tapi tak buta.Maka biarlah kita akhiri dengan harap,
bukan dengan tangis.
Biarlah kita tinggalkan jejak
di jalan sunyi yang menuju pagi.Karena negeri ini tidak akan mati.
Selama masih ada satu orang yang berani jujur,
satu suara yang berani bersuara,
satu tangan yang tidak tergoda untuk mencuri.
Wahai engkau yang membaca,
sadarkah kau bahwa negeri ini sedang sakit?
Bukan karena perang,
bukan karena musuh luar,
tapi karena luka yang ditanam oleh anak-anaknya sendiri.
Negeri ini sedang gamang.
Arah hilang.
Kompas retak.
Nilai-nilai dijual murah untuk panggung kekuasaan.
Rakyat dikaburkan dari kenyataan,
dibutakan oleh layar-layar penuh drama dan sensasi,
sementara di balik layar itu,
tikus-tikus berpesta di lumbung negara.
Kita tidak sedang baik-baik saja.
Negara ini sedang kehilangan arah.
Pendidikan dibisniskan.
Kesehatan dipolitisasi.
Keadilan diperdagangkan.
Dan suara rakyat? Hanya dipinjam tiap lima tahun sekali.
Lalu siapa yang bersalah?
Mereka yang memimpin dengan kerakusan.
Ya.
Tapi juga kita yang memilih diam.
Kita yang tahu tapi enggan peduli.
Kita yang memilih menyelamatkan diri,
daripada menyelamatkan negeri.
Cukuplah.
Cukuplah kita bermain dalam lingkaran setan ini.
Cukuplah membiarkan generasi selanjutnya tumbuh dalam tumpukan kebohongan yang kita wariskan.
Bangkitlah!
Bukan dengan emosi semata.
Tapi dengan pemahaman.
Dengan keteguhan untuk mulai dari diri sendiri.
Ajarkan kejujuran kepada anakmu,
walau dunia mengajarkan mereka cara mencuri.
Ajarkan kerja keras,
walau sistem lebih memanjakan yang punya koneksi.
Ajarkan untuk berpihak pada kebenaran,
meski suara itu sendirian.
“Negeri ini tidak butuh pahlawan baru.
Negeri ini hanya butuh manusia jujur,
yang tak lelah menyalakan lentera di tengah kabut kebohongan.”
Dan jika kau berpikir kau terlalu kecil untuk membuat perubahan,
ingatlah bahwa cahaya lilin bisa terlihat bahkan di tengah malam paling gelap.
Jika kau ingin negeri ini berubah,
jangan menunggu.
Jadilah awal dari perubahan itu.
“Negeri ini tidak kekurangan orang cerdas, hanya kekurangan orang jujur yang mau berdiri walau sendirian.”