Kamis, 29 Mei 2025

NEGERI PARA PENGHIANAT 7



Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya

Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tangan yang seharusnya melindungi, dipelintir oleh janji-janji yang hanya indah di spanduk, dan dibisukan oleh aturan yang dibuat bukan untuk keadilan, tapi untuk kepentingan mereka sendiri.

Tapi sejarah mengajarkan kita satu hal: bangsa ini tidak pernah sepenuhnya mati. Ia bangkit berkali-kali, meski tertatih. Ia berdiri, meski diterpa badai. Karena selalu ada orang-orang baik—meski sunyi, meski tak viral—yang terus menjaga nyala api perubahan.


Harap itu bukan ilusi, tapi keputusan.
Harapan bukan sekadar menanti pemimpin datang, tapi keberanian untuk menciptakan pemimpin di dalam diri sendiri. Setiap orang bisa jadi pelita di sekitarnya. Dan dari banyak pelita, lahirlah terang yang tak bisa lagi dipadamkan.


Kita tak menulis kisah ini untuk mengutuk masa lalu,
tapi untuk membangunkan nurani masa kini.
Kita tak mengungkap borok hanya untuk menyebar luka,
tapi agar bangsa ini sadar dan segera mencari obatnya.


“Mereka yang mengkhianati negeri ini akan terlupakan oleh waktu.
Tapi mereka yang tetap setia,
akan hidup dalam sejarah yang ditulis oleh nurani manusia.”


 “Negeri yang Tidak Akan Mati”

Mereka kira negeri ini bisa dibeli,
bisa dibungkam,
bisa dijual atas nama kepentingan.

Tapi mereka lupa,
tanah ini tumbuh dari darah para pejuang,
bukan dari tinta kontrak korup.

Mereka lupa,
rakyat bukan boneka,
kadang diam, tapi tak buta.

Maka biarlah kita akhiri dengan harap,
bukan dengan tangis.
Biarlah kita tinggalkan jejak
di jalan sunyi yang menuju pagi.

Karena negeri ini tidak akan mati.

Selama masih ada satu orang yang berani jujur,
satu suara yang berani bersuara,
satu tangan yang tidak tergoda untuk mencuri.



Wahai engkau yang membaca,
sadarkah kau bahwa negeri ini sedang sakit?
Bukan karena perang,
bukan karena musuh luar,
tapi karena luka yang ditanam oleh anak-anaknya sendiri.

Negeri ini sedang gamang.
Arah hilang.
Kompas retak.
Nilai-nilai dijual murah untuk panggung kekuasaan.
Rakyat dikaburkan dari kenyataan,
dibutakan oleh layar-layar penuh drama dan sensasi,
sementara di balik layar itu,
tikus-tikus berpesta di lumbung negara.

Kita tidak sedang baik-baik saja.

Negara ini sedang kehilangan arah.
Pendidikan dibisniskan.
Kesehatan dipolitisasi.
Keadilan diperdagangkan.
Dan suara rakyat? Hanya dipinjam tiap lima tahun sekali.


Lalu siapa yang bersalah?

Mereka yang memimpin dengan kerakusan.
Ya.
Tapi juga kita yang memilih diam.
Kita yang tahu tapi enggan peduli.
Kita yang memilih menyelamatkan diri,
daripada menyelamatkan negeri.

Cukuplah.

Cukuplah kita bermain dalam lingkaran setan ini.
Cukuplah membiarkan generasi selanjutnya tumbuh dalam tumpukan kebohongan yang kita wariskan.

Bangkitlah!
Bukan dengan emosi semata.
Tapi dengan pemahaman.
Dengan keteguhan untuk mulai dari diri sendiri.

Ajarkan kejujuran kepada anakmu,
walau dunia mengajarkan mereka cara mencuri.
Ajarkan kerja keras,
walau sistem lebih memanjakan yang punya koneksi.
Ajarkan untuk berpihak pada kebenaran,
meski suara itu sendirian.



“Negeri ini tidak butuh pahlawan baru.
Negeri ini hanya butuh manusia jujur,
yang tak lelah menyalakan lentera di tengah kabut kebohongan.”


Dan jika kau berpikir kau terlalu kecil untuk membuat perubahan,
ingatlah bahwa cahaya lilin bisa terlihat bahkan di tengah malam paling gelap.


Jika kau ingin negeri ini berubah,
jangan menunggu.
Jadilah awal dari perubahan itu.


“Negeri ini tidak kekurangan orang cerdas, hanya kekurangan orang jujur yang mau berdiri walau sendirian.”





NEGERI PARA PENGHIANAT 6



Bab 6: Jalan Sunyi Menuju Terang

Setelah luka dibuka dan borok bangsa ditelanjangi, tibalah saatnya menengok ke depan—bukan untuk melupakan, tapi untuk melangkah dengan mata terbuka. Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar. Tapi kita haus akan ketulusan, keberanian moral, dan konsistensi melawan arus korupsi.

Perubahan tidak lahir dari sorak sorai massa atau jargon di baliho. Perubahan sejati lahir di ruang sunyi: ketika seorang pejabat menolak suap, saat seorang guru mengajar tanpa menunggu insentif, ketika petani jujur menimbang panennya, dan saat generasi muda memilih idealisme ketimbang sensasi.

Revolusi tidak selalu butuh senjata. Kadang cukup satu keteguhan yang tak bisa dibeli.

Tapi mari kita jujur, melawan sistem yang sakit tak bisa sendiri. Harus ada gerakan yang terstruktur, masif, dan independen. Berikut beberapa langkah nyata yang bisa menjadi jalan keluar dari cengkeraman korupsi dan kehancuran moral:


1. Pendidikan Karakter Sejak Dini

Kurikulum tidak cukup hanya mengajarkan angka dan rumus. Harus ada pelajaran integritas. Anak-anak harus diajak berdialog tentang kejujuran, tentang keadilan, tentang keberanian untuk tidak ikut-ikutan. Generasi penerus bangsa harus dilatih untuk berani berbeda meski sendiri.

2. Transparansi Anggaran dan Keterlibatan Publik

Setiap sen uang negara harus bisa ditelusuri. Platform digital harus dimaksimalkan. Rakyat berhak tahu ke mana pajaknya mengalir. Partisipasi publik bukan formalitas, tapi jantung demokrasi.

3. Reformasi Sistem dan Penegakan Hukum

Tidak cukup hanya menangkap “ikan kecil” sambil membiarkan “hiu besar” tertawa di kapal pesiar. Lembaga hukum harus bebas dari intervensi politik. Hukuman bagi koruptor harus nyata, menyakitkan, dan bersifat jera. Bukan diskon hukuman atau “cuti remisi” tiap hari besar.

4. Etika Media dan Literasi Publik

Media massa dan media sosial harus diselamatkan dari manipulasi penguasa. Masyarakat harus diajak berpikir kritis, bukan dicekoki opini palsu. Literasi digital adalah benteng utama agar rakyat tidak mudah terpecah.

5. Kepemimpinan yang Melayani, Bukan Memerintah

Pemimpin bukan raja. Pemimpin adalah pelayan rakyat. Mereka harus mendengar, bukan memerintah. Kepemimpinan berbasis nurani harus kembali dipopulerkan. Karena jabatan itu amanah, bukan warisan.


“Perubahan tidak menunggu pemilu.
Ia tumbuh dari keberanian-keberanian kecil,
dari hati-hati jujur yang tetap menyala
meski dunia di sekitarnya gelap gulita.”


 “Di Tepi Harapan”

Tak semua jalan menuju istana,
sebagian hanya lorong sempit tanpa cahaya,
tapi justru di lorong itu,
suara hati yang jujur terdengar paling nyaring.

Jika kau muak oleh tipu daya,
jadilah cahaya.

Jika semua sibuk menindas,
jadilah pelindung.

Jika tak ada yang berani bicara,
jadilah suara.

Karena bangsa ini tak akan runtuh,
selama masih ada satu saja jiwa
yang menolak tunduk pada kejahatan.



NEGERI PARA PENGHIANAT 5



Bab 5: Cermin Retak di Istana Rakyat

Di jantung ibu kota, berdiri megah bangunan putih dengan tiang-tiang tinggi menjulang, halaman luas, dan pagar besi yang kokoh. Mereka menyebutnya “Istana Rakyat”—tempat di mana suara rakyat seharusnya dijaga, diolah, dan diwujudkan dalam kebijakan yang adil dan berpihak. Tapi benarkah begitu?

Jika cermin bisa bicara, maka cermin di istana itu akan menjerit. Sebab yang dipantulkannya bukanlah sosok negarawan, tapi bayang-bayang penuh topeng. Ada yang tersenyum saat kamera menyala, tapi menggeram saat rapat tertutup dimulai. Ada yang mengangkat tangan bersumpah demi bangsa, tapi malam harinya menandatangani perjanjian yang menggadaikan tanah leluhur pada investor asing.

Retak demi retak muncul di cermin itu—pertanda bahwa nilai-nilai yang dulu dijunjung tinggi mulai rapuh. Integritas menjadi barang langka. Kejujuran tak lagi penting jika tak mendatangkan suara. Bahkan, kata “pengabdian” kini digantikan dengan “pengaruh” dan “posisi”.

Rakyat pun tak bodoh. Mereka mulai menyadari, bahwa pesta demokrasi hanyalah sandiwara lima tahunan. Bahwa suara mereka bisa dibeli, dibungkam, atau diselewengkan. Bahwa para pemimpin yang mereka pilih, bisa berubah menjadi sosok asing yang lupa siapa yang dulu mendorong mereka naik ke singgasana.

Sementara di desa-desa, petani masih mencangkul tanah kering yang tak kunjung mendapat subsidi. Nelayan menantang ombak tanpa perlindungan. Anak-anak sekolah berjalan kaki berkilo-kilo, sementara berita di layar kaca sibuk membahas mobil dinas baru dan renovasi gedung dewan.

Korupsi bukan lagi sekadar tindakan diam-diam. Ia telah menjadi sistem. Ia berjalan dengan angkuh di koridor-koridor pemerintahan, bersalaman dengan tangan-tangan bersarung, dan bersembunyi di balik dalil “untuk kepentingan bersama.”

Lantas siapa yang bisa dipercaya? Bahkan lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moral bangsa, kini terinfeksi penyakit yang sama. Uang berbicara lebih nyaring daripada suara hati nurani.



“Istana rakyat tak lagi punya cermin utuh.
Yang ada hanya pantulan-pantulan palsu,
yang menyembunyikan retakan demi retakan
dari kebusukan yang tak lagi bisa ditutup rapi.”


 “Negeri dalam Bingkai Pecah”

Di dinding istana tergantung cermin besar,
dulu ia memantulkan harapan,
kini hanya serpihan kaca tajam,
memantulkan wajah-wajah penuh tipu daya.

Ada nama-nama besar,
ada gelar dan simbol-simbol kehormatan,
tapi hati mereka kosong,
disesaki kepentingan, diselimuti kebohongan.

Kami ingin kembali percaya,
tapi bagaimana jika kepercayaan kami selalu dipatahkan?

Wahai istana,
kami hanya ingin pemimpin yang tak perlu sempurna,
cukup yang jujur,
cukup yang benar-benar mendengar.



NEGERI PARA PENGHIANATAN 4



Bab 4: Negeri Para Boneka

Indonesia seharusnya menjadi negeri yang merdeka—bukan hanya dari penjajah asing, tetapi juga dari bayang-bayang kekuasaan yang dikendalikan dari balik tirai. Namun kenyataannya, negeri ini seperti sebuah panggung wayang. Boneka-boneka cantik dihias, ditata, dan ditampilkan. Mereka bicara soal rakyat, soal cinta tanah air, soal moral dan pembangunan. Tapi benarkah suara itu berasal dari mereka?

Di belakang layar, para dalang sibuk menarik benang. Merekalah pengusaha rakus, pejabat tua yang tak mau turun tahta, dan elite politik yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang bisnis keluarga. Mereka tak peduli siapa yang duduk di kursi presiden, asal keputusan tetap bisa mereka arahkan.

Demokrasi yang seharusnya mengangkat suara rakyat, telah berubah menjadi pertunjukan penuh ilusi. Yang berani jujur dianggap duri. Yang vokal disingkirkan secara halus. Yang kritis disiram dengan popularitas semu, jabatan sementara, atau ancaman senyap. Media dijinakkan, opini diatur, dan rakyat disibukkan dengan sensasi, agar lupa bahwa mereka sedang dimanfaatkan.

Banyak pemimpin yang sejatinya bukan pemimpin, hanya boneka berpakaian mewah. Mereka melambai-lambai kepada rakyat di layar kaca, seolah semua baik-baik saja. Padahal, di balik layar, mereka hanya menyetujui naskah yang sudah ditulis oleh para penguasa bayangan.

Di era modern, penjajahan tidak selalu datang dari bangsa asing. Kadang, pengkhianat justru berasal dari dalam negeri, dari orang-orang yang seharusnya melindungi, tetapi justru menjerat. Mereka menjual kebijakan, menjual sumber daya, bahkan menjual mimpi rakyatnya sendiri—demi perut dan kekuasaan yang tak pernah cukup.



“Dalam panggung negeri ini, yang bicara belum tentu yang berkuasa,
dan yang berkuasa belum tentu terlihat.”


“Tali di Tangan Tak Terlihat”

Di atas panggung mereka tersenyum,
memakai jas, membungkuk manis.
Tapi di balik punggungnya,
tali-tali itu ditarik oleh tangan yang licik.

Mereka bicara demi rakyat,
tapi bisikan yang mereka dengar bukan suara rakyat.
Mereka menjanjikan langit biru,
padahal tahu awan itu hanyalah asap dari pabrik keserakahan.



NEGERI PARA PENGHIANAT 3


Bab 3: Dosa yang Disucikan

(Tentang Korupsi yang Diselimuti Agama dan Moral Palsu)

“Agama tidak mengajarkan manusia untuk rakus, selalu merasa kurang, dan memenuhi diri hingga sesak dengan kemewahan dunia.
Kendalikan dengan lembut tapi tegas semua keinginan dunia.”

Di negeri ini, sering kita temui orang-orang yang mengutip ayat, tapi menginjak maknanya sendiri. Mereka terlihat saleh di mimbar, tapi culas di meja negosiasi. Mereka bicara tentang keadilan Tuhan, tapi menindas sesama atas nama jabatan.

Korupsi tidak hanya dilakukan oleh mereka yang tidak beragama. Ironisnya, banyak yang memakai topeng agama untuk melindungi kerakusannya. Lembaga-lembaga suci pun tak luput dijadikan tameng. Seolah-olah gelar keagamaan dan pakaian religius bisa menyembunyikan lembaran dosa yang disimpan rapat di laci besi.

Yang lebih memilukan, nilai-nilai luhur agama—yang seharusnya menjadi benteng terakhir akhlak manusia—malah dibajak untuk melegitimasi perilaku korup. Disadari atau tidak, inilah bentuk “penyucian dosa” yang paling berbahaya: ketika pelaku merasa bahwa ibadahnya bisa menutupi kejahatannya.

Padahal, agama sejati tidak pernah mengajarkan kemunafikan. Ia mengajak manusia hidup sederhana, berbagi, jujur, dan bertanggung jawab atas rezeki yang diperoleh. Tapi semua itu jadi samar ketika manusia lebih mencintai dunia daripada kebenaran.


Di balik bangunan megah tempat ibadah dan gedung-gedung pemerintah yang berdiri kokoh, ada cerita yang tidak diceritakan. Tentang uang yang digelapkan atas nama program sosial. Tentang anak yatim yang dananya dipangkas agar proyek mercusuar tetap berjalan. Tentang jemaah yang percaya, tapi ternyata ditipu oleh mereka yang dipanggil "ustadz", "pendeta", "romo", atau "biksu".

Ini bukan soal agama apa. Ini soal manusia yang menyalahgunakan kepercayaan. Ketika moral hanya dijadikan selimut, maka tidur pun tak lagi tenang. Mereka menutup kepala dengan sajadah, tapi membiarkan kakinya menginjak tulang belulang orang miskin.

Di ruang-ruang yang gelap, transaksi diam-diam berlangsung. Bukan sekadar uang, tapi juga nurani yang diperjualbelikan. Sementara rakyat kecil diajarkan untuk sabar, ikhlas, dan taat — mereka yang di atas tertawa, menyusun rencana baru demi memperbesar celah korupsi.

Korupsi bukan lagi dianggap dosa besar, tapi seperti “rezeki tambahan” yang datang dari sistem yang sudah rusak sejak akar. Dan ketika ada yang mencoba melawan, yang muncul bukan pujian, tapi ancaman. Dunia terbalik. Yang jujur disingkirkan, yang korup disanjung.

Maka, benarlah kata bijak:
Ketika kemewahan menjadi tujuan, maka agama hanya tinggal simbol.


"Doa yang Tak Lagi Sampai"

Mereka menengadah, tapi bukan untuk meminta ampun
Mereka berzikir, tapi hati mereka sudah membusuk
Di tangan kiri membawa kitab, di tangan kanan mencuri hak

Ini bukan tentang Tuhan yang tidak mendengar
Tapi manusia yang pura-pura buta
Mereka tak tahu, atau pura-pura lupa
Bahwa Tuhan tak bisa dibeli, walau dengan seribu doa





NEGERI PARA PENGHIANAT 2



Bab 2: Wajah Tak Terlihat, Luka yang Nyata



Korupsi bukan sekadar mencuri uang rakyat. Ia lebih dari itu — ia adalah racun yang merusak akal sehat, melemahkan hukum, dan menghancurkan masa depan. Yang membuatnya sulit diberantas adalah karena ia jarang menampakkan wajah aslinya. Ia menyamar dalam senyuman pejabat, dalam tanda tangan basah di selembar kertas proyek fiktif, atau dalam amplop kecil di balik meja rapat.

Jaringan korupsi bukanlah satu atau dua orang. Ia sistematis. Terstruktur. Bahkan seringkali dilindungi oleh hukum yang dibuatnya sendiri. Di bawah terang lampu gedung-gedung megah, mereka berbicara tentang pembangunan, tapi di balik pintu tertutup mereka membagi-bagi jatah proyek.

Dan yang paling menyedihkan, rakyat kecil seringkali hanya bisa menjadi penonton. Mereka tidak tahu siapa yang harus dipercaya, karena suara-suara kejujuran sering dibungkam. Yang vokal dipermalukan. Yang melawan dihancurkan karakternya. Sistem ini membuat kejujuran terlihat konyol, dan kebohongan menjadi biasa.

Korupsi bukan hanya milik para pejabat. Ia menyusup ke sekolah, rumah sakit, lembaga agama, bahkan organisasi sosial. Semuanya bisa jadi ladang bagi mereka yang haus kuasa dan rakus harta. Ketika anak sekolah diajarkan untuk memberi “uang terima kasih” kepada guru atau kepala sekolah, itu adalah awal pendidikan korupsi. Ketika pasien yang sekarat tidak dilayani dengan baik tanpa “uang pelicin”, di situlah kita melihat betapa nyatanya luka bangsa ini.

Tak heran jika negara ini seolah berjalan di tempat. Setiap rupiah yang seharusnya membangun jembatan, sekolah, dan puskesmas, justru lenyap masuk ke kantong yang tak pernah merasa cukup.

Dan anehnya, mereka tidak pernah merasa bersalah. Mereka tetap bisa tersenyum di televisi, berkampanye tentang moral, dan berbicara soal nasionalisme — sementara mereka sendiri adalah pengkhianat sejati yang membakar negeri ini pelan-pelan dari dalam.

“Bayangan yang Bernyawa”

Mereka tak berkuku, tapi mencakar
Tak bertaring, tapi menggigit sadar
Mereka berbicara soal rakyat
Tapi lupa siapa yang disayat

Di antara tawa pesta dan meja kayu
Negeri ini mengering, jatuh satu-satu
Tapi mereka terus menari
Di atas luka bumi sendiri

Lanjut Part 3👉🏻👉🏻

NEGERI PARA PENGHIANAT

 "Suara Rakyat yang Tak Pernah Didengar"


Kami ini rakyat.

Bukan robot yang bisa disuruh sabar terus-menerus,

bukan angka di tabel statistik yang mudah dimanipulasi.


Kami bekerja dari pagi hingga malam,

di bawah terik, di bawah tekanan,

demi sesuap nasi yang kadang masih harus dibagi dua.


Tapi yang kami lihat di atas sana:

kursi empuk, gaji puluhan juta,

tapi amanahnya entah ke mana.



---


Kalian minta kami patuh pada aturan,

padahal kalian yang paling dulu melanggarnya.

Kalian minta kami jujur,

tapi kalian korupsi sembari tersenyum di layar kaca.


Kalian bilang "untuk rakyat",

tapi rakyat mana yang kalian maksud?



---


Kami muak.

Bukan karena benci negara,

tapi karena kami mencintainya,

dan kami sudah terlalu lama dikhianati oleh mereka yang bersumpah akan menjaganya.


Kami tidak ingin memberontak,

kami ingin perubahan.

Bukan yang kosmetik, bukan pencitraan.

Tapi yang lahir dari nurani dan keberanian.



---


Jika masih ada satu saja pejabat yang jujur,

maka padanya kami titip harapan.

Jika masih ada satu suara rakyat yang berani bersuara,

maka kepadanya kami titip masa depan.


Karena sejatinya:

Negara ini bukan milik elit — tapi milik seluruh rakyat yang berkeringat.

NEGERI PARA PENGHIANAT 1

 ❤️MERAWAT LUKA NEGERIKU ❤️


Penulis: Celly Tomokianz 


Indonesia. Sebuah negeri yang dianugerahi alam paling melimpah di dunia. Dari Sabang sampai Merauke, dari gunung-gunung tinggi yang menjulang hingga lautan biru yang membentang, tanah ini kaya akan sumber daya yang membuat iri banyak bangsa lain. Emas, minyak, batu bara, rempah-rempah, hutan tropis, hingga hasil laut yang tak terhitung jumlahnya.


Namun, di balik semua kemewahan alam itu, ada sebuah kenyataan pahit yang jarang diungkap dengan gamblang: negeri ini adalah negeri yang dicuri — bukan hanya oleh tangan asing yang datang dari luar, tapi oleh tangan-tangan yang seharusnya menjaga, malah menggerogoti dari dalam.


Sejak zaman dahulu, korupsi dan pengkhianatan sudah merayap masuk. Bangsa ini tak hanya dijajah secara fisik, tapi juga secara ekonomi dan moral. Penjajah luar mungkin sudah pergi, tapi penjajah versi baru dengan wajah berbeda masih bercokol di setiap sudut kekuasaan.


Dari para pemimpin yang mengkhianati rakyat demi ambisi dan kekayaan pribadi, hingga para birokrat yang menjadikan jabatan sebagai ladang mengumpulkan harta secara ilegal — semuanya membangun tembok ketidakadilan yang semakin tebal.


---


Bayangkan seorang petani di pedalaman yang menggarap sawah dengan susah payah, mengharap hasil yang cukup untuk menghidupi keluarganya. Namun, sebagian besar hasil panen itu tidak sampai ke meja makan mereka. Di kota, pejabat-pejabat tinggi menikmati kemewahan yang bersumber dari potongan-potongan kecil hasil kerja keras rakyat.


Di pasar-pasar tradisional, harga kebutuhan pokok melambung tinggi karena rantai distribusi yang panjang dan praktik pungutan liar. Dana bantuan sosial yang mestinya membantu rakyat miskin, malah dinikmati segelintir orang yang rakus. Pembangunan infrastruktur yang megah, seolah-olah untuk rakyat, justru berujung pada proyek-proyek fiktif yang menggelontorkan uang tanpa manfaat nyata.


Korupsi telah menjadi kanker yang membusukkan tubuh bangsa ini. Ia menyelinap di balik senyum ramah dan janji manis pemimpin, bersembunyi di balik tumpukan dokumen dan meja-meja rapat, lalu merampas masa depan jutaan orang yang berharap pada keadilan dan perubahan.


---


Negeri ini kaya, tapi rakyatnya sering kelaparan; berlimpah sumber daya, tapi kemiskinan tetap mengakar. Kesenjangan sosial membentang lebar seperti jurang, memperlihatkan betapa ketidakadilan sudah menjadi bagian dari sistem.


Namun, ada harapan di tengah kegelapan. Kesadaran perlahan mulai tumbuh. Rakyat mulai membuka mata dan menuntut perubahan. Mereka tahu, jika akar korupsi tidak dicabut, maka semua janji kemerdekaan hanyalah kata-kata kosong.


## Fakta Sejarah: Jejak Korupsi dari Masa ke Masa


### Zaman Kerajaan dan Penjajahan


Korupsi bukan masalah baru di Indonesia. Bahkan sebelum penjajahan Belanda, berbagai kerajaan Nusantara sudah mengenal praktik suap, nepotisme, dan pengkhianatan demi mempertahankan kekuasaan dan kekayaan. Misalnya, beberapa raja dan bangsawan kerap membebani rakyat dengan pajak dan upeti yang berat.


Saat VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) datang, mereka tak hanya menjajah secara militer, tapi juga menguasai ekonomi lewat monopoli rempah-rempah. Dalam praktiknya, ada pejabat lokal yang bekerja sama dengan VOC demi keuntungan pribadi, mengkhianati rakyatnya sendiri.


### Masa Penjajahan Belanda


Belanda menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang memaksa rakyat menanam komoditas ekspor seperti kopi dan tebu. Meski demikian, ada catatan bahwa sistem ini disertai praktik korupsi oleh para pegawai Belanda dan pribumi, yang mengorbankan petani dan buruh demi keuntungan pribadi.


Banyak pejabat Belanda dan pribumi yang memanfaatkan posisi mereka untuk memungut pajak berlebihan atau menjual hasil bumi tanpa memberi keuntungan yang adil bagi rakyat.


### Era Kemerdekaan dan Masa Soekarno


Setelah kemerdekaan, bangsa ini berusaha membangun negara yang bebas dari penjajahan. Namun, tantangan besar datang dari dalam. Korupsi mulai muncul dalam berbagai bentuk, meski Soekarno berusaha keras memerangi praktik tersebut.


Pada masa Soekarno, lembaga seperti Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) dibentuk untuk mengadili kasus korupsi dan kolusi. Sayangnya, sistem hukum yang belum matang dan ketidakstabilan politik membuat upaya ini kurang efektif.


### Masa Orde Baru


Di bawah rezim Soeharto, korupsi mencapai puncaknya. Kekuasaan yang terpusat pada satu orang dan kroni-kroninya membuka pintu lebar bagi praktik kolusi, nepotisme, dan korupsi sistemik.


Studi World Bank pada tahun 1990-an menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan miliaran dolar AS setiap tahun karena korupsi. Dana pembangunan dan proyek-proyek strategis banyak diselewengkan untuk memperkaya segelintir orang.


### Era Reformasi Hingga Kini


Setelah jatuhnya Orde Baru, Indonesia berusaha membenahi sistem dan memberantas korupsi lewat lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, tantangan tetap besar. Korupsi semakin canggih dan tersembunyi, menyentuh hampir semua sektor mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur.


---


### Dampak Nyata Korupsi bagi Rakyat


* Infrastruktur yang amburadul meski anggaran besar

* Pendidikan yang mahal dan berkualitas rendah

* Pelayanan kesehatan yang tidak merata

* Kemiskinan yang sulit diatasi meski sumber daya melimpah


Korupsi bukan sekadar soal uang hilang, tapi juga pengkhianatan terhadap masa depan bangsa.


---


Bersambung....




Mengupas tuntas sejarah korupsi


###

Rabu, 21 Mei 2025

CERITA TENTANG KITA



CERPEN: ALBUM NIKE ARDILLA

Karya: Celly Tomokianz

Pertama kali aku mengenalmu dan tahu siapa namamu, HATI KECILKU berbisik lirih: aku  SALUT padamu.
Tersimpan cinta di hati, namun aku terlalu gengsi untuk mengungkapkannya. CINTAKU PADAMU, hanya bisa kupeluk diam-diam.

Kaulah YANG PERTAMA membuatku memahami arti cinta. Detak jantungku berdegup kencang setiap kali berjumpa denganmu. BAYANG-BAYANGMU selalu menjelma dalam khayalku, seolah enggan pergi dari pikiranku.

Ketika kau katakan cinta padaku, aku terima cintamu. Tapi… KERAGUAN menyelinap dalam hatiku. Benarkah cintamu tulus? BERI DAKU KEPASTIAN—aku ingin yakin.

DI ANTARA PILIHAN yang ada, kaulah yang kupilih. BISIKAN CERMIN hatiku menunjuk padamu. RINDU KASIH membuncah. Aku ingin bertemu, ingin mencari BAYANG DIRIMU di sudut malamku yang sepi.

BILA CINTA MULAI BERSEMI, dan kau ciptakan lagu tentang CINTA KITA, izinkan cintaku tumbuh dan berbunga di hatimu. SUARA HATIKU berkata: kaulah CINTA PERTAMAku.

Kau NYALAKAN API KEHIDUPAN dalam cintaku. Aku tahu CERITA LAMA tentangmu. Tapi aku yakin, GARIS NASIB ini menuntunku pada WARNA CINTA KITA.

Namun ternyata… baru kusadari. Kau BUKA KARTU. Semua hanya SANDIWARA CINTA.
Kasih, cintamu yang palsu telah membuat LUKA di hatiku.
CINTAKU SUCI, sayangku murni. Tapi tak kau hargai.

Kesal hatiku menerima FAKTA ini. Kau pergi, TAKKAN KEMBALI. Hilang, larut dalam amarahku. Tapi aku yakin, DUKA PASTI BERLALU.

DI DALAM SUNYI aku termenung. Pudar sudah cinta ini. BIARLAH AKU YANG MENGALAH... namun, SANGGUPKAH AKU melupakanmu?

SURAT TERAKHIR darimu menghancurkan hatiku. PUTUSLAH SUDAH harapan cintaku.
Yang TAK MUNGKIN BERSATU, karena KAU BUKAN MILIKKU LAGI.

BIARKAN CINTAMU BERLALU, dan semestinya, JANGAN LARI DARI KENYATAAN.
Hanya karena DIA, kau tinggalkan diriku. Dan kini, TINGGALLAH DIRIKU SENDIRI.

Ke mana aku harus pergi?
Aku bagai PENGEMBARA TERASING, menyusuri jalanan yang berliku. KU HARUS MELANGKAH, berharap SEBERKAS SINAR akan menyinari hatiku yang KELAM.

KALAU AKU BISA TERBANG, ingin MERAIH REMBULAN, tapi tangan tak sampai.
DALAM BIRU HATIKU, aku hanya bisa berharap: semoga Tuhan memberiku ANUGERAH terindah dalam hidup ini.

MATAHARIKU, pancarkanlah sinarmu… agar aku bisa kembali merasakan kehangatan.
MENGAPA HARUS BERPISAH saat CINTA DI ANTARA KITA mulai bersemi?

Ingin kulupakan bayanganmu. Ingin kulepaskan diriku dari BELENGGU CINTAmu.
BAYANG-BAYANG HITAM yang menghantui, kuanggap hanya mimpi di siang hari.
UNTUK APA LAGI kupaksakan cinta PUTIH ini… jika ternyata,
KAU BUKAN UNTUKKU.



Selasa, 20 Mei 2025

CUKUP SUDAH


oleh: Celly Tomokianz

Aku telah diam, menahan luka yang dalam,
Memberi kesempatan, membuka pintu harapan.
Namun yang datang hanya dusta dan fitnah,
Menggores hati, meninggalkan luka yang parah.

Anakku dijadikan alat, dihujani doktrin palsu,
Ayah tirinya yang tulus, difitnah tanpa ragu.
Mereka berpura manis di hadapan,
Namun menusuk dari belakang, tanpa perasaan.

Tak ada lagi ruang untuk kebohongan,
Tak ada lagi tempat untuk pengkhianatan.
Cukup sudah, aku memilih menutup pintu,
Demi ketenangan, demi masa depan yang baru.



Senin, 19 Mei 2025

JENDELA TANPA SAPAAN



"Jendela Tanpa Sapaan"



Puisi tentang Bintang dan Indra yang tak lagi bersapa


By : Celly Tomokianz

Kita tak pernah benar-benar berpisah,
hanya berhenti bicara…
seperti surat yang tak jadi dikirim,
atau lagu yang berhenti di tengah bait indah.

Kita berteman di layar,
tapi tak pernah menyapa.
Dua sisi jendela yang sama,
tapi selalu tertutup tirainya.

Aku tak tahu seperti apa senyummu sekarang,
dan aku?
Masih di sini—
diam, tapi tidak menunggu.

Mungkin inilah caranya semesta menjaga kita:
dengan tidak membiarkan kita saling melihat,
agar tak ada hati yang kembali luka.

Bukan karena aku belum ikhlas,
tapi karena kenangan sepertimu
tak pernah benar-benar bisa dilupakan.

Maka, kubiarkan kau hidup di rak kenanganku,
bukan untuk kusentuh…
tapi untuk kuterima:
bahwa kita pernah ada—dan tak akan pernah kembali.


NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...