Selasa, 10 Oktober 2017

SUAMIKU BUKAN SUAMIKU (BAB 2)







#Ceritafiksi


Aku terbangun dari tidurku. Pusing di kepalaku terasa mulai berkurang. Selang oksigen telah dilepas. Luka di tangan dan di lututku sudah tak senyeri kemarin. Hanya leher bagian belakang masih terasa sakit bila di gerakkan. Tapi sekarang aku sudah bisa menggerakkan badanku dengan agak leluasa.

Dari balik tirai jendela yang transparan aku dapat melihat cahaya matahari di luar masih remang. Jam dinding menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Mas Pras masih tertidur di sofa rumah sakit. Biasanya Mas Pras bangun sebelum subuh. Mungkin ia terlalu letih. Siang hari harus bekerja dan malamnya harus menjagaku. Aku tak tega membangunkannya. Dia tampak semakin kurus dan wajahnya kusam.

Aku bingung dengan perasaanku terhadapnya. Di satu sisi aku sangat mencintainya dan tak pernah ingin berpisah, tapi di sisi lain aku sungguh muak jika ingat pengkhianatan yang sudah dia lakukan. Rasa rindu dan benci yang datang silih berganti, membuat diriku terpasung dalam kebimbangan antara berpisah atau terus bertahan.

Dia menggeliat. Kemudian membuka mata melihat ke arahku. Aku segera mengalihkan pandanganku.

"Sayang, kamu sudah bangun?" tanyanya sambil berjalan ke arahku. Aku melengos tak menjawab. Ada lecutan rasa marah di dadaku mendengar kata sayang darinya.

"Aku mau sholat dulu ke musholla, ya?" aku masih tak menjawab hanya mendengus pelan.

"Ya sudah, aku sholat di sini saja." Aku tak mengerti mengapa dia berubah pikiran. Apa dengusanku tadi terdengar seperti sebuah larangan baginya? Dia berlalu ke kamar mandi. Kemudian berganti sarung dan menghamparkan sajadah di area kosong antara sofa dan ranjangku. Selesai sholat ada seorang perawat datang membawa sebuah bak aluminium tanggung, entah apa isinya.

"Apa itu, Mbak?" tanyaku dengan lirih.

"Air hangat, Bu. Untuk seka." perawat itu menjawab dengan senyum kemudian pergi, setelah meletakkan bak aluminium itu di dekat kaki ranjangku.

Mas Pras mengambil bak aluminium itu dan meletakkan di sampingku. Kemudian dia ke kamar mandi dan keluar dengan membawa sebuah waslap. Aku mengerti apa yang akan dia lakukan. Dia akan menyeka tubuhku. Mas Pras mencelupkan waslap itu kemudian memerasnya, belum sempat tangannya sampai ke wajahku aku mendorong bak aluminium itu dan... Prannngggggg!!!!!! Bak Aluminium jatuh ke bawah. Airnya tumpah dan membasahi sebagian sarung yang Mas Pras kenakan. Dia nampak terkejut dengan apa yang aku lakukan

"Ratih, kau..." ada rasa terkejut dan kesal dari nada bicaranya. Lagi-lagi aku tak menjawab. Hanya membuang muka. Aku merasa tak sudi kulitku di sentuh olehnya. Aku membayangkan setelah menyentuh wanitanya dia menyentuhku. Jijik.

Mas Pras keluar setelah mengganti sarungnya entah kemana. Dia tidak bilang padaku. Mungkin dia kesal. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan petugas kebersihan. Sementara petugas itu bekerja dia duduk di sofa. Melihat hapenya sebentar, kemudian menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan.

Petugas mengepel lantai dan mengganti keset kamar mandi yang basah. Kemudian petugas itu pergi. Mas Pras datang mendekatiku.

"Ratih, kamu marah padaku?" lagi-lagi aku bungkam. Enggan menjawab pertanyaannya. Hanya membuang muka.

"Assalamualaikum." Rupanya ada orang yang datang.

"Waalaikum salam." Mas Pras menjawab salam.

Seorang laki-laki muda berbadan tegap dengan wajah oriental masuk ke ruanganku. Dari seragam dinas dan atribut yang ia kenakan, aku tahu bahwa dia seorang pengajar. Mas Pras menyambut tamu itu dengan ramah.

"Mbak Ratih, kenalkan saya Pandu." Dia memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan kanannya. Aku tersenyum dan mengangguk tak merima uluran tangannya, tapi hanya menangkupkan kedua tanganku di depan dada dengan susah payah. Tampaknya dia mengerti.

"Oh , Maaf," ucapanya sambil menarik uluran tangannya.

"Pak Pandu ini orang yang menabrak kamu." Mas Pras menjelaskan siapa laki-laki yang berdiri si hadapanku ini.

"Silahkan duduk dulu, Pak." Aku mempersilahkan pria bernama Pandu itu untuk duduk di kursi yang ada di dekat ranjang.

"Ini, Mbak. Saya bawakan bubur ayam untuk sarapan. Semoga Mbak Ratih suka," ucap pria itu sambil menyerahkan bungkusan yang dibawanya. Mas Pras menerima bungkusan itu dan meletakkannya di meja dekat telepon.

"Terima kasih, Pak. Malah merepotkan ini," kataku basa-basi.

"Jangan panggil Pak lah. Berasa tua saya. Ha..ha..." ucapnya diiringi tawa padahal bagiku tak ada yang lucu, "panggil saja Pandu," lanjutnya.

"Maaf, Mbak. Karena saya Mbak Ratih harus dirawat seperti ini." Ucap pria berwajah oriental itu penuh penyesalan.

"Ga, kok. Bukan karena itu saja. Ada hal lain yang membuat saya seperti ini." Jawabku sambil melirik tajam ke arah Mas Pras. Namun, dia memasang wajah seolah-olah tak mengerti.

Hape Mas Pras yang tergeletak di meja sofa berdering. Dia segera melihatnya.

"Mas Pandu, saya tinggal dulu," ucapnya sambil memberi isyarat bahwa ia hendak menerima telpon. Mas Pras keluar. Dari balik jendela aku dapat melihat dia duduk di kursi taman yang ada di depan kamarku. Aku berpikir kenapa dia sampai pergi sejauh itu. Seberapa rahasiakah pembicaraannya itu? Aku tidak peduli.

Selama Mas Pras bicara di telepon. Aku mengobrol dengan Pandu. Ternyata dia orang yang lucu. Ingin sekali aku tertawa oleh cerita-cerita konyolnya, tapi jika tertawa leherku masih terasa sakit. Jadi aku hanya tersenyum saja. Dia bercerita kenakalan saat dia kecil dan pengalamannya sebagai orang tua tunggal karena istrinya meninggal saat melahirkan anak pertamanya.

Aku mendengarkan cerita Pandu dengan santai sambil menikmati bubur ayam yang dia bawa. Karena makan sambil mendengarkan cerita, tidak terasa aku hampir menghabiskan satu porsi bubur ayam itu. Padahal biasanya aku tidak nafsu makan. Setengah jam kemudian Mas Pras kembali. Dia bersungut-sungut, lalu mengambil kotak bubur ayam yang belum selesai aku makan dengan kasar.

"Jangan makan sembarangan. Kamu masih belum sepenuhnya pulih," kata Mas Pras yang membuat aku kaget begitu pula Pandu.

"Mas Pandu, ini sudah setengah tujuh, lo." Mas Pras memperingatkan Pandu yang bagiku lebih terkesan seperti mengusir secara halus.

" Oh, iya, saya lupa. Nanti saya terlambat. Saya pergi dulu ya, Mbak, Mas," pamitnya sambil menyalami Mas Pras. Dia berlalu. Mas Pras tersenyum kecut melihat kepergian Pandu.

"Ngapain sih, kamu senyum-senyum kayak gitu tadi saat bicara sama dia?" tanyanya sewot. Aku tak menjawab. Hanya keheranan tak mengerti apa maksudnya. "Kalau berantem sama dia, marah-marahnya jangan sama saya," batinku.

"Kenapa? Ga boleh?"tanyaku kesal.

"Jelas, ga boleh!" dia menjawab dengan nada yang semakin meninggi. "Dia itu duda," lanjutnya lagi.

"Trus masalahnya apa?" aku semakin tak mengerti mengapa tiba-tiba ia marah-madah tak jelas.

"Kamu istriku. Ngerti?" Kali ini aku tersenyum mendengar kata terakhirnya. Rupanya dia cemburu.

***************

Aku merasa sudah bosan berada di rumah sakit ini. Tapi dokter belum mengijinkan untuk pulang, sebelum rasa pusing dan sakit di leher benar-benar hilang. Rasa rindu pada kedua buah hatiku sudah tak terbendung lagi. Membuatku tak bisa tidur malam ini.

"Kok, belum tidur?" tanya Mas Pras kepadaku sambil tiduran di sofa

"Aku kangen sama Aya dan Alya," kali ini aku merespon pertanyaannya.

"Sudahlah, mereka baik-baik saja. Jangan khawatir," ucapanya sambil beranjak duduk.

"Tapi aku benar-benar kangen, Mas." Aku terisak merasakan rindu yang mendera, Mas Pras mendekati dan memelukku.

"Ratih, maafkan aku. Semua ini terjadi karena aku. Kau pasti marah padaku. Tapi percayalah Ratih, semua yang kau lihat tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Lalu aku harus berpikir bagaimana Mas, setelah semua yang aku lihat dan semua yang aku alami?"

"Aku mengerti Ratih, aku ngerti. Saat aku melihatmu berada di UGD, betapa aku merasa berdosa telah membuat ibu dari anak-anakku, orang yang seharusnya aku lindungi harus berada antara hidup dan mati, karena aku. Apa lagi saat kau tidak sadarkan diri hanya namaku yang kau sebutkan. Saat itu baru aku menyadari, begitu besar cintamu padaku." Bisiknya dengan suara lirih. Aku berusaha melepaskan pelukannya.

"Aku mohon padamu, tolong jangan kau hukum aku dengan kemarahanmu. Maafkan aku." Ada bulir bening yang mengalir dari sudut matanya.

"Lalu dia?"

Dia menghela napas. Dan menggeleng pelan "Entahlah." Jawaban terakhirnya yang terkesan menggantung membuat lecutan kemarahan kembali hadir di dadaku. Namun, saat melihatnya menangis, memohon maaf padaku amarah itu hilang entah kemana.

"Tidurlah, besok aku akan minta Mama untuk membawa Aya kemari," ucapa Mas Pras sambil mengusap air matanya.

"Alya?"

"Ini rumah sakit. Alya masih kecil. Akan sangat beresiko membawanya kesini." "Kau harus cepat sembuh, supaya bisa cepat pulang ke rumah. Makan yang banyak, istirahat yang cukup, dan..."

"Dan?"

"Dan tidak usah berpikir macam-macam," jawabnya sambil membenahi posisi bantal dan merapikan selimutku.

------

Hari ini aku sangat gembira. Karena besok sudah di perkenankan pulang oleh dokter. Dan lebih senang lagi karena Nina datang berkunjung menjengukku. Tidak hanya Nina, banyak kerabat dan handai taulan datang berkunjung memberiku doa dan semangat supaya lekas pulih.

Mas Pras pulang lebih awal, selepas sholat Jum'at dia tidak kembali ke kantor tapi langsung ke rumah sakit untuk menjagaku, menggantikan Mama yang sudah menjagaku sejak pagi saat Mas Pras bekerja.

"Assalamualaikum." Suara beberapa orang mengucapkan salam secara serempak.

"Waalaikumsalam." Mas Pras menjawab salam itu. Ternyata teman-teman sekantor Mas Pras yang datang.

Mas Pras menyambut dan mempersilahkan mereka masuk. Mereka semua berenam empat orang pria dan dua orang wanita.

"Apa kabar Ibu, kenalin saya Aca." ucap salah satu gadis manis dengan wajah khas Jawa. Dia menyalami dan mencium pipi kiri dan kananku. Padahal aku risih, karena beberapa hari belum mandi, hanya seka saja.

"Dan ini Bu Nadia." Orang yang di perkenalkan Aca datang menyalamiku juga tak lupa dengan cipika cipiki juga.

"Kalo yang berlesung pipit itu Pak Firman, Trus yang kurus itu Pak Andi, yang agak-agak black sweet itu Pak Rio, yang paling sehat itu Pak Reza." Gadis bernama Aca memperkenalkan teman-temannya satu persatu dengan gayanya yang tengil namun terkesan kocak. Sedangkan orang yang diperkenalkan hanya tersenyum melihat tingkahnya.

"Mbak Aca ini kelihatannya kalem, ya. Tapi ternyata..." aku menggantung kalimatku.

"Ternyata nyenengin ya, Bu," timpalnya dengan percaya diri sambil terkekeh. Disambut ucapan "Hu..." dari teman-temannya.

"Aca itu nama lengkapnya acakadul," celetuk Pak Reza disambut tawa oleh orang-orang di ruanganku.

"Akhirnya, Aca bisa ketemu Bu Ratih." Aku hanya tersenyum saja mendengar celoteh Aca.

"Pak Pras sih, ga pernah ngajakin Ibu Ratih kalau ada acara," lanjutnya.

"Diajak kok. Cuma orangnya ga mau," ucap Mas Pras membela diri.

"Bukan gitu, Mbak. Saya yang tidak mau. Anak-anak masih kecil. Takut ruwet di acara nantinya," sanggahku secara halus. Walaupun apa yang dikatakan Aca itu benar adanya, tapi bukankah aku harus menjaga nama baik dan wibawa suamiku pada bawahannya.

"Eh... Bu Lily kemana, ya? Kok ga datang." Bu Nadia yang dari tadi hanya senyum-senyum mendengar candaan Aca dan temannya yang lain tiba-tiba bersuara. Hatiku mencelos mendengar nama itu. Aku dapat melihat perubahan ekspresi pada raut wajah Mas Pras. Yang tadinya santai berubah menjadi agak kikuk. Aku berpikir apa berani wanita itu datang menemuiku?

"Ini dia WA sama aku, katanya ban motornya bocor," ucap Aca sambil memasukkan hape ke dalam tas hitamnya.

"Alasan!" batinku berteriak. Aku berdoa supaya dia tidak datang saja.

"Trus gimana ini, kita nunggu Lily atau pulang duluan?" tanya Pak Andi meminta pendapat pada teman-temannya yang lain.

"Tunggu ajalah, kasian," ucap Pak Reza.

Setengah jam berlalu. Yang ditunggu belum juga datang, Bu Nadia tampak gelisah.

"Duh, saya lupa. Anak saya gak ada yang jemput pulang dari madrasah." Bu Nadia buka suara.

"Saya juga, ada acara kondangan habis ini." Pak Firman menimpali.

"Ya sudah deh, kita pulang aja duluan. Biarin dah Lily nanti sendiri. Toh ada Pak Pras yang..." ucapan Aca terhenti karena lengannya disikut oleh Bu Nadia yang membuat Aca menjadi salah tingkah.

Mereka berenam pamit. Sebelum mereka semua keluar dari ruanganku, perempuan itu datang. Mas Pras menyambutnya dengan kaku. Dia tersenyum manis, tapi bagiku terlihat seperti seringai serigala yang licik. Punya nyali juga rupanya dia.

**★**★**★**

Lily melangkah dengan mantap menuju ke arahku. Dia terlihat anggun dengan setelan blazer merah muda berpadu dengan rok hitam panjang. Jilbab kotak-kotak merah muda kombinasi hitam serasi dengan baju yang ia kenakan, membuat wajahnya terlihat semakin manis. Bulu matanya yang lentik,dan matanya yang bulat terlihat bercahaya, bibir tipisnya menyunggingkan senyum.

Dia mengulurkan tangan dan aku menyambutnya, bagaimanapun saat ini dia adalah tamuku yang harus aku hormati.

"Bagaimana keadaanmu, Mbak? Aku turut gembira saat Mas Pras memberitahuku, kalau Mbak sudah sadar," ucapnya basa-basi.

"Seperti yang kau lihat. Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk bersama suami dan anak-anakku," jawabku dengan penuh kemenangan. Mas Pras diam saja, duduk di sofa dengan wajah tegang.

"Ya... Alhamdulillah banget, ya." Dia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang tanpa ada rasa canggung.

"Iya, berkat doamu. Aku tidak mati," ucapku dibuat seramah mungkin.

"Mbak, jangan ngomong gitu, ah."Ucapnya sambil membenahi jilbanya.

"Kenapa? Bukankah kamu ingin aku mati, supaya jalanmu bisa mulus," ucapku sinis

"Maksud Mbak?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

"Supaya jalanmu menikah dengan suamiku menjadi semakin mudah." Mata lentiknya terbelalak mendengar kata-kataku. Raut wajahnya berubah menjadi sedikit kesal.

"Rupanya kedatanganku disini tidak tepat. Aku pergi dulu." Dia beranjak dari kursi dan melangkah menuju pintu.

"Tunggu!" ucapku dengan nada memerintah. Dia menghentikan langkahnya "Bisa aku minta tolong padamu?"

"Apa?" tanyanya tanpa memalingkan wajahnya padaku. Namun lirikan mata lentiknya menunjukkan bahwa dia sangat terganggu oleh kata-kataku.

"Tolong jauhi suamiku. Pergilah jauh-jauh dari kehidupan kami. Kau bisa minta apapun padaku. Apapun itu. Tapi jangan suamiku." Pintaku dengan tegas.

"Ratih, apa-apaan kau ini." Mas Pras mendesis.

"Kau tak usah ikut campur, Mas. Ini urusan wanita. Antara aku dan dia." Mas Pras tercekat mendengar kata-kataku dia diam mematung di dekat sofa. Aku berusaha keras untuk mengendalikan emosi. Bagaimanapun ini adalah saat yang tepat untuk membuatnya pergi.

Lily berbalik, tampak air mata sudah membasahi kedua pipi mulusnya. "Mbak, aku tau, Mbak pasti benci padaku. Mbak pasti marah padaku. Tapi hari ini aku datang kemari benar-benar ingin tahu keadaaan Mbak. Aku merasa bersalah atas ini semua."

"Akting yang sempurna," ucapku sinis.

"Mbak beruntung ada di posisi yang selalu dianggap benar, dan dianggap sebagai korban dari keadaan ini. Mbak tau rasanya jadi yang kedua? Ga kan?" Tampaknya dia bukan orang yang mudah mengaku kalah.

"Seluruh dunia menyalahkan aku, karena aku datang di saat kalian sudah ada dalam sebuah ikatan pernikahan. Yang bahkan aku sendiri tidak ingin berada di posisiku saat ini. Apa Mbak tau rasanya di tuduh melakukan sesuatu yang tidak pernah kita lakukan, Mbak tau rasanya?" Ucapnya berapi-api. Aku diam saja menyimak kata demi kata yang keluar dari bibir tipisnya.

"Aku juga tidak pernah berpikir ingin merusak rumah tangga orang. Tidak Mbak. Aku juga tidak ingin. Karena...karena..." dia ragu meneruskan kalimatnya.

"Karena..." aku menirukan kata terakhirnya sebagai perintah agar ia segera menuntaskan kata-katanya.

"Karena aku tahu rasanya mempunyai orang tua yang tidak lengkap. Ayahku hanya datang satu bulan sekali itupun hanya tiga hari. Dan aku tidak ingin ada anak-anak mengalami hal serupa, apalagi akulah penyebabnya." Kali ini dia berkata dengan nada sedih dan tatapan yang sendu.

"Lalu kau pikir aku akan bersimpati dan percaya semua kata-katamu," sinisku padanya.

"Aku tak minta mbak untuk itu. Aku hanya ingin Mbak tahu. Percaya atau tidak itu adalah hak Mbak."

"Lalu bagaimana jika kau di posisiku. Apa kau tau bagaimana rasanya jika suamimu meminta ijinmu untuk menikah lagi? Bagaimana perasaanmu jika suamimu berkata dia lebih mencintai orang lain dari pada kau, istrinya."

"Sekarang Mbak tahu sakitnya, kan? Untuk itu jaga Mas Prasku baik-baik. Betapapun dia mencintaiku. Kami tak akan bisa bersama. Karena aku hanya memiliki hatinya tapi tak memiliki takdir Tuhan untuk bersama," dia berkata dengan lirih diiringi air mata yang bercucuran.

Kalimat terakhirnya benar-benar terasa menghujam ulu hatiku. Apakah itu artinya dia sadar bahwa aku tak akan pernah membiarkan suamiku jatuh ke tangannya? Dan dia akan pergi meninggalkan Mas Pras.

Hening. Aku membisu menelaah kata-kata Lily. Sedangkan Lily masih berdiri mematung dengan tatapan kosong.

"Lily, Sebaiknya kamu pulang." Akhirnya Mas Pras buka suara. Memecah kebisuan di antara kita bertiga. Lily segera menghapus air mata di pipi mulusnya dan beranjak pergi meninggalkan aku dan Mas Pras.

**★**★**★**

Selepas kepergian Lily, aku dan Mas Pras masih membisu untuk beberapa saat lamanya. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Dia menatap kosong ke arah pintu. Mungkin dia sedang kepikiran pada Lily, namun tak tega meninggalkan aku sendiri di sini. Sedangkan aku berusaha setenang mungkin agar aku tak terbawa emosi. Aku ingat pesan Ibu.

------

Malam itu....

Ada suara motor berhenti di depan rumah. Aku tak segera keluar, takut karena ini sudah lewat jam sembilan malam. Aku mengintip dari balik tirai jendela. Dua orang perempuan. Ternyata itu adalah Ibu dengan salah satu karyawan toko yang selalu mengantarkan Ibu. Akupun segera membuka pintu pagar.

"Ibu, kok malem banget?" tanyaku pada Ibu sambil mencium punggung tanggannya takzim.

"Mana Pras?"

"Ehm... anu itu lembur, Bu." Ucapku sedikit gugup. Aku mempersilahkan Ibu dan Mbak karyawan itu masuk. Ibu langsung menuju ke ruang tengah. Sedangkan Mbak karyawan itu duduk di ruang tamu.

Di ruang tengah aku duduk di kursi yang berseberangan dengan Ibu. Tatapan Ibu yang teduh, membuat aku merasa bersalah telah berbohong padanya.

"Nak, Ibu tanya sekali lagi, Pras kemana?"

"Lembur, Bu."

"Jujur?" Pertanyaan Ibu seperti menikam ulu hatiku. Aku tak kuasa membendung air mataku.

"Nak, ada apa sebenarnya antara kamu dan Pras? Mengapa setiap malam dia ada di toko. Kalau Ibu yang tanya dia hanya bilang sibuk. Makanya Ibu tanya kamu. Ada apa, Nak?" tanyanya lembut.

"Ibu, Mas Pras punya wanita lain dan dia bilang ingin menikahinya." Aku terisak, kurasakan sesak di dada harus mengatakan ini semua. Mungkin ini saatnya Ibu mengetahui keputusanku untuk berpisah dengan Mas Pras.

"Lalu? Apa kau mengijinkannya?"

Aku menggeleng lemah. "Ratih memilih untuk mengalah Ibu." Jawabku lirih dengan suara parau.

"Hmmmm... Tak kusangka menantuku ini wanita yang lemah. Menyesal aku menuruti suamiku menikahkan Pras denganmu, Nak." Kata kata ibu menohok perasaanku.

"Ibu pikir kau adalah wanita yang tangguh saat kau meminta segera dinikahkan dengan Pras dulu, walaupun kau tau Pras menentang pernikahannya. Tapi, cuma segini nyalimu. Kau mati-matian ingin menikahi Pras tapi ada godaan sedikit kau menyerah. Mana Ratih yang dulu? Mana Ratih yang gigih mengejar Pras. Mana?" Ibu berucap setengah berbisik dengan nada yang tegas.

"Lalu Ratih mesti gimana, Ibu?" Air mataku tumpah di pelukan Ibu, ia membelai lembut kepalaku.

"Nak, Ibu dulu juga pernah berada di posisimu. Ibu mengerti rasa sakitmu. Berjuanglah, Nak. Perjuangkan hakmu demi anak-anakmu, cucu Ibu. Buat Pras tak bisa lari darimu. Ibu selalu bersamamu. Ibu juga akan memperingatkannya nanti." Ibu melepaskan pelukannya.

"Kau ingat, janjimu pada mendiang Ayah mertuamu? Apa kau sudah lupa? Bahwa kau tak akan meninggalkan Pras apapun keadaannya. Kau ingat?" Ibu memegang kedua bahuku dan menatapku dengan penuh keyakinan.

"Lakukan apa saja supaya Pras tetap bersamamu. Jangan hanya menangis. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Kau harus bangkit, harus kuat. Menantuku hanya Ratih, tidak yang lain." Ibu menghapus air mataku. Senyum dan kata-kata Ibu seperti memberi kekuatan baru padaku.

-----

"Assalamualaikum," suara orang yang datang membuyarkan lamunanku.

"Waalaikumsalam," aku dan Mas Pras menjawab serempak. Mas Pras tersenyum kecut melihat orang yang baru saja masuk ke ruanganku. Pandu datang bersama seorang anak laki-laki gemuk dengan usia sekitar lima tahunan.

"Itu Om Pras, dan yang berbaring di situ Tante Ratih, salim dulu, gih," Pandu bicara lembut pada anak laki-laki yang bersamanya. Anak laki-laki menghampiri Mas Pras untuk bersalaman kemudian menghampiriku.

"Namanya siapa, Sayang?" tanyaku sambil menyambut uluran tangannya.

"Falel." Sahutnya

"Farel Tante." Pandu menirukan ucapan anak lelaki itu sambil menyalami Mas Pras.

"Farel ini anakku yang kuceritakan kapan hari. Oya, anak mbak berapa?" tanyanya padaku.

"Dua cewek semua."

"Pasti cantik kayak Mamanya, ya," ucap Pandu sambil duduk di sofa memangku anak lelakinya.

"Iyalah, masa' kayak tetangga," sela Mas Pras dengan sinis, yang justru membuat Pandu tergelak.

"Kalau menurut mitos di keluargaku ya, Mbak, jika anak pertama laki-laki berarti cinta suami lebih besar dari pada istrinya. Begitupun sebaliknya, kalau anak pertama perempuan berarti cinta istri lebih besar dari pada suaminya," jelas Pandu.

"Oya? Baru tau nih," ucap Mas Pras, mengerling sekaligus tersenyum simpul kepadaku sebagai tanda kemenangan.

"Untung cuma mitos ya," ucapku berusaha menyanggah pernyataan Pandu.

"He... iya, tapi biasanya bener lo Mbak" Pandu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ooo... iya kayaknya banyak benernya itu," ucap Mas Pras dengan angkuh membuat aku menjadi jengah.

"Tante Latih," Farel yang dari tadi hanya bengong menonton televisi yang terpasang di dinding kamarku, menyela pembicaraan kami dengan wajah agak ketakutan.

"Iya sayang, ada apa?"

"Jangan lapolin Ayah Falel ke Pak Polisi. Nanti Ayah Falel di penjala. Telus Falel tinggal sama siapa?"ucapnya dengan cadel.

"Farel, sini sayang." Aku melambaikan tangan padanya agar mendekat.

"Buat apa Tante lapor polisi?"

"Kan Ayah Falel dah nablak Tante," sahutnya dengan raut wajah sendu.

"Itu bukan sebuah kesengajaan dan lagian Tante juga salah kok, Tante kurang hati-hati. Udah, Farel ga usah mikir macem-macem. Besok Tante dah pulang kok." Farel menarik napas lega.

Farel anak yang lucu. Pipinya tembem, bibirnya mungil, matanya sipit khas wajah oriental. Dia juga termasuk anak yang kritis untuk anak seusianya. Kehadiran Farel dan Pandu membuat ketegangan antara aku dan Mas Pras sedikit mencair.

Setengah jam berlalu, Farel mulai terlihat bosan "Ayah, ayo pulang katanya mau beli es klim," rengek Farel sambil menarik tangan ayahnya.

"Iya, Ayah pamit dulu sama Om dan Tante," ucap Pandu pada anaknya. Farel mengerti maksud ucapan Pandu, dia segera bersalaman dulu padaku dan Mas Pras.

"Oya Mbak, besok pulang jam berapa? Biar aku urus semuanya."

"Ga usah repot, ya. Ratih masih ada saya, suaminya. Saya bisa urus semuanya." ucap Mas Pras pada Pandu yang terkesan angkuh. Pandu menautkan kedua alisnya melihat reaksi Mas Pras.

"Eh.. iya sebentar, Nak," kata Pandu pada Farel yang dari tadi sudah menarik-narik tangannya mengajak keluar. "Saya pulang dulu ya Mbak, Mas, sampai ketemu besok." Aku hanya merespon ucapan Pandu dengan senyuman. Pandu dan Farel berlalu dari ruang rawatku.

"Owh... nampaknya ada yang senang nih," sindir Mas Pras padaku. Aku tak menjawabnya. Hanya mengangkat bahu dan tersenyum simpul. Entah ini hanya perasaanku atau memang benar adanya, setiap Pandu datang, Mas Pras berubah menjadi laki-laki yang paling menyebalkan.

##########

Pagi ini aku sangat bahagia, karena bisa pulang ke rumah. Jenuh rasanya setelah lebih satu minggu berada di ruangan ini. Ingin segera sampai di rumah, bertemu Aya dan Alya.

Seorang dokter dan seorang perawat masuk ruanganku untuk melakukan pemeriksaan terakhir. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan dokter dan seorang perawat itu pergi. Beberapa saat kemudian perawat itu kembali dengan membawa sekantong kresek obat. Dia menjelaskan bagaimana aku harus meminum obat itu, lalu ia membuka jarum infus ditanganku.

"Bapak bisa mengurus administrasi kepulangan Ibu sekarang," ucap perawat itu kepada Mas Pras. Mas Pras mengangguk tanda mengerti. Perawat itu berlalu. Mas Pras memintaku untuk menunggu sebentar. Belum sempat Mas Pras keluar ruangan, Pandu muncul dari arah pintu.

"Aku sudah urus semuanya," ucap Pandu dengan sumringah.

"Apa?" Mas Pras mendesis.

"Terimakasih, sudah merepotkan," sahutku basa-basi.

"Tidak apa-apa Mbak, ini sudah menjadi tanggung jawab saya, sebagai bentuk permintaan maaf. Sekali lagi saya mohon maaf ya, Mbak," ucap Pandu dengan tulus.

"Ish.." lagi-lagi Mas Pras tidak menjawab hanya mendesis pelan.

"Maaf saya tak bisa lama-lama masih ada tugas mengajar."

"Oh, iya silahkan kalau mau pergi," ucap Mas Pras ketus. Pandu mengernyitkan dahi, mungkin dia merasa terusir.

"Kan, kasian muridnya kalau harus nunggu," lanjut Mas Pras menetralisir keadaan.

"Mbak, boleh saya minta nomor hapenya?" tanya Pandu sambil mengeluarkan hape smartphonenya dari saku celana.

"Ini nomor hape saya saja. Ratih jarang-jarang pegang hape," Mas Pras menyela sebelum aku sempat memberi nomor hapeku kepada Pandu.

Pandu pamit setelah mencatat nomor hape Mas Pras. Aku dan Mas Pras segera meninggalkan rumah sakit. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan kedua buah hatiku, Aya dan Alya.

------

Satu minggu berlalu. Keadaanku semakin membaik. Keluargaku kembali normal seperti sedia kala. Aku merenungi kejadian yang aku alami beberapa bulan terkahir. Ah, betapa banyak sekali yang telah aku lalui. Mulai dari kehadiran Lily, kecelakaan, dan kecemburuan Mas Pras pada Pandu yang tidak beralasan.

"Ratih, ayo masuk. Angin malam tidak bagus buat kesehatanmu," suara Mas Pras dari arah pintu mrngejutkanku.

"Mas sekarang jadi perhatian ya, tidak seperti dulu. Dulu Mas dingin, cuek padaku," sahutku tanpa menoleh ke arahnya.

"Kau suka? Bukankah itu yang kau harapakan?" tanyanya mencibir, sambil duduk di di kursi taman berseberangan denganku.

"Tentu, hanya saja..." aku menggantung kalimatku.

"Hanya apa?"

"Rasanya hambar." Mas Pras menghela napas tipis.

"Karena ada Pandu?"

"Tidak usah bawa-bawa Pandu."

"Kenapa?" tanyanya sinis.

"Kau kira aku bodoh, Pandu meminta nomor hape mu. Untung, aku pintar. Kuberi saja nomor hapeku," kilahnya, "Biasanya dari sms basa-basi, teleponan, ketemuan dan keterusan deh."

"Oh... pengalaman ya?" aku terkekeh. "Jadi ceritamu dengan Lele ups maksudku Lily seperti itu."

"Aku dan kamu beda"

"Jelaslah..."

"Laki-laki bisa menikah lebih dari satu kali, dan aku rasa kau juga tahu itu." Mas Pras berseru ketus.

"Tau," jawabku pendek.

"Tapi kau tidak mengijinkan."

"Siapa bilang?"

"Menikahlah seribu kali kalau perlu, tapi ceraikan aku dulu," ucapku dengan menatapnya tajam.

"Apakah keputusanmu tidak berubah."

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung situasi dan kondisi"

"Misalnya?"

"Aku yang akan mencarikan istri untukmu."

"Sungguh?"

"Ya, asal sesuai kriterianya menurutku," ucapku datar. Karena aku memang tak bersungguh-sunguh dengan ucapanku.

"Misalnya?" Mas Pras membenahi posisi duduknya.

"Cantik, pintar, penyayang, di sukai anak-anak dan cocok denganku."

"Lily?" ah... dia mengajukan nama itu lagi.

"Cantik iya, Pintar juga mungkin iya, tapi belum tentu disukai anak-anak," kilahku.

"Alasan," ujarnya kesal, aku terkekeh.

"Wanita yang mengerti hukum agama tak akan melarang suaminya menikah lagi," ucapnya sengit.

"Laki-laki yang taat agama akan menundukkan pandangannya dari wanita yang bukan mahramnya," sahutku tak kalah sengit.

Suara derit pintu pagar menghentikan perdebatanku dengan Mas Pras. Wanita setengah baya seumuran ibuku memasuki halaman. Diikuti seseorang yang sangat aku kenal. Dia adalah Lily. Ya Allah.. mau apa wanita itu kemari, dan siapa wanita setengah baya itu?

###########


***********


Mas Pras segera beranjak dari kursi dan menyambut tamu yang datang, sedangkan aku hanya diam saja. Suasana hatiku tiba-tiba menjadi tidak enak.

Mas Pras mempersilahkan tamunya masuk ke ruang tamu. Aku masih saja bergeming di kursi taman. Menata hati dan emosi, sebelum aku menemui tamu itu. Membaca istigfar, dan menarik napas dalam-dalam supaya sedikit lebih tenang.

Setelah aku rasa cukup menguasai diri, segera kutemui tamu Mas Pras, bersalaman dan berbasa-basi sebentar lalu aku menuju ke belakang membuatkan minum dan mengambilkan suguhan. Ternyata wanita setengah baya itu adalah ibu Lily namanya Bu Sri.

"Kok repot-repot, Nak. Ibu kesini ada perlu sama kamu dan Nak Pras," ucap Ibu Sri sambil terbatuk-batuk ketika aku meyuguhkan teh dan kudapan. Lily memegang tangan ibunya dan menggeleng mencegah Bu Sri ntuk bicara. Namun Bu Sri menepis tangan Lily dengan lembut.

Aku menatap Bu Sri lamat-lamat. Kulitnya pucat, tatapannya sayu, matanya cekung dan tubuhnya sangat kurus. Terlihat ringkih, dia juga sering batuk-batuk.

"Nak, sejak kecil Lily hanya hidup berdua dengan Ibu. Dan sekarang Ibu sakit-sakitan." Dia berhenti sejenak dan memberiku sebuah amplop besar dan sebuah amplop kecil hasil pemeriksaan dari rumah sakit.

Amplop besar itu berisi foto rontgen atas nama Bu Sri. Aku tidak bisa menerjemahkan kelainan yang ada dalam foto tersebut. Aku beralih pada amplop yang lebih kecil. Aku baca perlahan. Di situ tertera bahwa pasien mengalami kangker paru-paru stadium lanjut. Aku menarik napas dalam-dalam. Meletakkan amplop kedua di meja.

"Nak, Ibu tahu waktu ibu tidak banyak lagi. Maka dari itu sebelum Ibu menghadap Ilahi Ibu ingin melihat anak ibu satu-satunya ini bahagia. Ada yang menjaganya," Bu Sri terbatuk lagi. Suaranya semakin serak. Aku masih diam saja, sedangkan Lily terisak.

"Bu, jangan. Aku mohon, Bu," pinta Lily diantara isaknya. Ibunya tetap tidak menghiraukan.

"Untuk itu Nak, Ibu mohon kerendahan hati kamu, agar mengijinkan Lily menjadi istri kedua Pras." Bagai tersambar petir aku mendengar kata-kata yang baru Bu Sri ucapkan. Kepalaku menjadi pusing.

"Ibu tahu ini pasti menyakitkan buat kamu, Nak. Tapi Ibu sudah tak punya pilihan lain. Ibu yakin kau bisa memahami posisi Ibu, karena kau juga seorang ibu." Bu Sri terbatuk lagi.

"Bu, bagaimana jika posisinya terbalik. Jika saya meminta suami anak Ibu untuk menikahi saya, apa kira-kira Ibu mengijinkannya? Saya juga punya seorang Ibu. Bagaimana perasaan Ibu saya nanti? Bagaimana perasaan kedua anak saya melihat ayahnya menikah lagi. Apa Ibu juga memikirkan itu?" ujarku setengah emosi. Aku mulai naik pitam, setelah mendengar permintaan Bu Sri yang tak masuk akal.

"Nak, tolonglah. Ibu mohon." Tiba-tiba saja Bu Sri berlutut di hadapanku. Menggenggam kedua tanganku dan menatapku dengan mata sayunya penuh harap. Aku tercekat melihat kelakuan Bu Sri. Aku memandang Mas Pras yang duduk di sampingku. Berharap dia melakukan sesuatu untuk meolongku. Tapi Nihil. Dia bergeming dengan kepala tertunduk.

Bu Sri batuk-batuk lagi, kali ini batuknya lama, dan aku lihat ada percikan darah di sapu tangan Bu Sri yang digunakan untuk menutup mulutnya saat batuk. Sesaat kemudian Bu Sri pingsan.

Aku jadi panik, takut terjadi apa-apa pada Bu Sri. Lily histeris melihat ibunya lunglai tak berdaya, wajah Bu Sri semakin pucat. Mas Pras segera membopong tubuh Bu Sri ke mobil.

"Ratih, aku ke rumah sakit dulu," ujar Mas Pras panik. Aku hanya mengangguk saja. Tak tau harus berkata apa.

-----

Kejadian tadi berlangsung begitu cepat. Permintaan Bu Sri membuat pikiranku menjadi tak karuan. Di sisi lain aku tak ingin berbagi suamiku dengan siapapun. Tapi di sisi lain ada permintaan seorang ibu yang hampir sekarat. Ya Allah kenapa keadaannya jadi serumit ini?

Aku terbelenggu antara prinsip dan rasa kemanusiaan. Ada ketakutan dalam diriku jika suatu saat nanti berada dalam posisi yang sama dengan Bu Sri saat ini. Anakku dua-duanya juga perempuan.

Mungkin ini yang dinamakan roda kehidupan terus berputar, dulu Mas Pras terpaksa menikahiku karena tekanan dari ayahnya. Apakah sekarang aku juga harus rela berbagi suamiku dengan Lily karena permintaan ibunya?

Suara deru mobil Mas Pras menyadarkan aku dari lamunan.

"Belum tidur?" tanyanya melihatku Masih duduk bersandar pada dipan di kamarku. Aku tak menjawab, hanya menatap kosong ke arah jendela.

"Kau masih kepikiran permintaan Bu Sri?" tanyanya lagi. Aku menghela napas tipis.

"Sulit Mas, ini keadaan yang sangat rumit untukku."

"Aku tahu, kau tak mau dimadu. Tapi aku juga tak akan menceraikan kamu Ratih. Apapun alasannya," ucapnya datar.

"Lalu Lily?" tanyaku kesal.

Mas Pras meremas rambutnya dan mengusap wajahnya. "Seandainya saja aku bisa membahagiakan semua orang tanpa harus ada yang terluka," gumamnya lirih.

Pikiranku benar-benar kalut. Apakah aku harus melanggar prinsipku untuk kebahagiaan Mas Pras dan orang lain? Ataukah aku tetap pada pada prinsipku, dan melanggar janjiku pada almarhum ayah mertuaku? Ya Allah kapankah badai ini akan berlalu?


**********


#############

Seharian ini kepalaku terasa berat, karena semalam aku tidak bisa tidur. Tapi bagaimanapun itu, aku harus tetap bangun pagi, untuk mengurus rumah dan menyiapkan segala keperluan Aya juga Mas Pras. Serta harus menjaga Alya, yang sedang aktif-aktifnya berjalan ke sana ke mari membuat aku sedikit kewalahan. Karena teledor, Alya terjatuh di taman depan. Dia menjerit histeris, ada darah segar mengalir dari lututnya membuat aku panik.

"Kenapa Alya? Jatuh ya?" saking paniknya aku tak menyadari kedatangan Nina.

"Iya, Nin. Tolong ambilkan kotak obat di kotak bawah yang paling kiri, di bufet yang ada ruang tamu itu," pintaku pada Nina

Nina segera bergegas mengambil kotak obat yang dimaksud, lalu membantuku membersihkan dan membalut luka Alya. Setelah lukanya di obati, aku menggendong Alya, berusaha menenangkannya dengan menberinya sebotol susu. Beberapa saat kemudian tangis Alya berangsur mereda dan ia pun tertidur di gendonganku.

"Kok, bisa jatuh sih, Alyanya?" tanya Nina, Aku tak menjawab hanya mengangkat bahu sebagai tanda tidak mengerti.

"Hallah, paling juga kamunya ngelamun terus," tukasnya gemas melihat reaksiku, "gimana keadaanmu sekarang? Udah baikan?"

"Alhamdulillah," kujawab pendek saja.

"Trus Pras?? Udah waras?" Nina terus memcecarku dengan pertanyaan.

" Makin parah?"

"Maksudnya?"

"Bentar ya, aku mau nidurin Alya dulu," ucapku sambil berlalu ke kamar Alya, meninggalkan Nina duduk sendiri di beranda. Sekembalinya dari kamar aku menceritakan kejadian semalam, saat Bu Sri dan Lily datang. Nina mendengarkan dengan antusias.

"Gila bener tuh emaknya Lily, ya? Minta suami orang buat anaknya.Ya Allah, wanita macam apa dia?" seru Nina sambil geleng-geleng kepala.

"Aku bisa ngerti, Nin. Bu Sri tidak punya pilihan lain, walaupun tindakannya itu tak bisa dibenarkan juga." ucapku datar.

"Bisa mengerti dari Hongkong? Ga lah kalau aku, ga bisa ngerti," sahutnya kesal, "trus tanggapan kamu?" lanjut Nina masih mencecarku.

"Ya aku bingung, Nin. Kamu tau kan prinsipku aku ga mau dimadu. Tapi kalau harus bercerai, bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana dengan Ibu dan Mama? Pasti mereka kecewa padaku. Ini cukup rumit untukku. Ada banyak hati yang harus kujaga."

"Hmmm... rumit juga ya. Trus tanggapannya Pras gimana?"

"Mas Pras juga ga mau ceraikan aku, Nin. Tapi dia juga ga mau ninggalin Lily."

"Hadeh... laki-laki mau enaknya."

"Apa baiknya aku izinkan Mas Pras menikahi Lily ,ya?" gumamku lirih, merasa putus asa.

"Apa?? Ga salah denger ? Kamu sakit?" seru Nina sambil meraba keningku.

"Lalu aku mesti gimana Nina? Ayo dong kasih solusi. Jangan meledek terus, ah," ujarku sewot, sembari menepis tangannya. Nina menghela napas dalam-dalm.

"Sulit ya, Tih. Aku paham posisi kamu. Tapi dalam kondisi ini aku ga bisa ngasih pendapat. Karena ini, sudah menyangkut masalah pribadimu. Bukan ranah saya lagi, baik menurut saya belum tentu baik bagi kamu. Sholat Istikharah aja. Minta Allah pilihkan yang terbaik," ucap Nina sambil memegang kedua tanganku. Aku hanya menghela napas.

"Kamu yang sabar ya, Tih. Semoga ada jalan keluar terbaik," lanjut Nina dengan tatapan iba.

Obrolan kami harus terhenti, karena ada sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahku.

"Siapa?" tanya Nina, aku tak segera menjawab.

"Pandu, orang yang nabrak aku waktu itu," jelasku, setelah melihat Pandu keluar dari Mobil. Nina ber-oh pelan.

"Assalamualaikum," Pandu memberi salam, sambil berjalan menuju ke kami.

"Waalaikum salam," jawab kami serempak.

"Apa kabar Mbak? Gimana udah sehat?" sapa Pandu dengan ramah.

"Alhamdulillah, kok bisa tahu rumah saya," sahutku heran.

"Oh, waktu saya mengurus administrasi kepulangan, Mbak. Saya lihat alamatnya. Trus pas tadi cari-cari lihat Mbak dari jalan. Ketemu, deh. Kok sepi Mbak, kemana orang-orang?"

"Mas Pras belum pulang. Anak saya yang gede ke madrasah, yang kecil tidur," jelasku pada Pandu.

Nina menyikut lenganku pelan, "Kenalin dong, masa' dari tadi dicuekin," bisiknya kesal. Aku nyengir.

"Oh ya, lupa. Kenalin, Nina sahabatku."

"Pandu," ucap Pandu sambil mengulurkan tangan kepada Nina.

"Kayaknya kenal deh, tapi dimana ya?" ucap Nina sambil menerawang.

"Oya? Dimana, Mbak?" tanya Pandu penasaran.

"Di tivi," Pandu mengernyitkan dahinya. "Habisnya mirip Lee Min Ho, sih" lanjut Nina sambil nyengir lebar. Sontak aku dan Pandu tertawa.

"Oh ya, Mbak sampai lupa. Aku bawa es pisang ijo di mobil. Entar aku ambil." Pandu berlalu menuju mobilnya.

Nina segera mengambil alih bungkusan kresek yang berisi lima gelas es dari tangan Pandu. Dia membuka satu setelah meminta ijinku dan segera mencicipinya

"Kok, rasanya gini, ya," ucap Nina dengan tengil.

"Kenapa, Mbak? Ga enak, ya?" Pandu gelagapan melihat reaksi Nina ketika mencicipi es pisang ijo yang dia bawa.

"Rasanya lain," lanjut Nina menegaskan.

"Lain gimana, Nin?" tanyaku penasaran, akupun segera mencicipinya juga.

"Lain kalau dibawain orang ganteng," ucap Nina sambil terkekeh, yang membuat aku dan Pandu lagi-lagi tegelak melihat tingkahnya.

Kami bertiga bercengkerama dengan akrab. Pandu orang yang supel, dia bisa dengan cepat akrab dengan orang yang baru di kenal. Kehadiran Nina dan Pandu membuat soreku terasa lebih ceria. Melupakan sejenak masalah yang sedang aku hadapi. Kali ini Pandu banyak bercerita tentang siswa badungnya, yang selalu ditanggapi tengil oleh Nina. Aku hanya sesekali menimpali saja, sambil menikmati es pisang ijo yang dibawakan Pandu.

Mobil Mas Pras memasuki halaman, diikuti dengan motor Vario putih yang dikendarai oleh seorang wanita. Setelah wanita itu melepas helm yang dikenakannya baru aku tahu, dia adalah Lily.

"Siapa dia?" tanya Nina setengah berbisik.

"Lily," bisikku pada Nina.

"Huh," Nina mendengus kesal. Aku menghela napas tipis. Nina menyikutku pelan sambil melirik ke arah Pandu, yang memandang Lily tak berkedip.

############

Lily bergegas menuju beranda, di mana kami bertiga bercengkerama. Sedangkan Mas Pras masih sibuk memasukkan mobilnya ke garasi samping. Lily menyunggingkan senyum manisnya.

"Ini Lily ya, yang dulu masuk tim cheerleaders di SMA Tunas Harapan," ucap Pandu memastikan.

"Iya,... ini Kak Pandu, ya. Ketua tim basket yang menjadi incaran cewek-cewek," sahut Lily antusias. Aku masih diam melihat ekspresi gembira mereka berdua setelah sekian lama tak bertemu.

"Hmmm, ternyata dunia ini sesempit daun katu, ya," ujar Nina dengan tengil membuat Pandu dan Lily menghentikan obrolan mereka. Lily memandang Nina kemudian tersenyum.

"Kenalin, Nina sahabat Ratih. Ini Mbak Lily, ya," Nina memperkenalkan dirinya sendiri, "cantik, semoga hatinya juga cantik," lanjut Nina ketus.

"Ih, Mbak Nina bercanda terus dari tadi." Pandu menengahi, "jangan dimasukin dalam hati, Mbak Nina emang gitu orangnya," jelas Pandu pada Lily. Lily tersenyum canggung.

"Oya, minta no WAnya dong. Nanti aku masukin ke grup alumni SMA," ucap Pandu dengan riang. Pandu dan Lily mengobrol dengan asik bernostalgia tentang masa-masa sekolahnya, sedangkan aku dan Nina hanya diam saja memperhatikan mereka berdua.

"Ehemm... ehemmm." Mas Pras berdeham. Ia berdiri dengan melipat tangan di dada dan memandang sinis ke arah Lily dan Pandu, membuat Lily jadi salah tingkah.

"Wah, kelihatannya seru, nih ngobrolnya," seru Mas Pras ketus, kemudian dia beralih memandang Nina, "Nin, udah dari tadi?" sapa Mas Pras pada Nina.

"Ya, lumayan sih," jawab Nina datar.

"Dan... " Mas Pras menoleh ke arah Pandu.

"Barusan aja kok, Mas," sahut Pandu kikuk, seolah mengerti maksud pandangan Mas Pras. Hape Nina bergetar. Ada pesan masuk, Nina segera membukanya.

"Ehmm... kayaknya saya balik dulu, deh. Udah di jemput sama suami," ujar Nina sambil memasukkan hape ke dalam tasnya. Aku mengantar Nina sampai depan pintu pagar.

"Inget, ya, kamu ga boleh gegabah menghadapi Lily. Kamu harus kuat. Rival kamu berat, lho," bisik Nina padaku. Aku hanya mengangguk tanda mengerti. Kemudian Nina pergi setelah suaminya datang menjemputnya.

"Mbak, aku pamit juga deh." Pandu menyusul pamit pulang.

"Lho, mau pulang juga. Buru-buru amat, sih," sahutku basa-basi.

"Udah sore, waktunya jemput Farel. Lily aku duluan, ya. Mari, Mbak, Mas." Pandu berlalu setelah berpamitan.

------

Kini tinggal aku, Lily dan Mas Pras. Hening.

"Bagaimana Ibumu?" tanyaku pada Lily memecah keheningan.

"Ibu, masih dirawat," jawab Lily gugup.

"Lalu? Ngapain ke sini. Harusnya kamu jaga ibumu. Bukan kelayapan ke rumah orang."

"Aku ada perlu sama Mbak."

"Cepat katakan aku tak punya waktu banyak."

"Aku harap Mbak Ratih ga usah menghiraukan permintaan ibu."

"Manis sekali caramu. Kau bawa ibumu kemari, meminta suamiku, lalu kau datang, bilang padaku untuk tidak menghiraukan kata-kata ibumu."

"Ratih..." Mas Pras mendesis.

"Mengapa Mas, kamu marah? Takut wanitamu tersakiti?" sinisku pada Mas Pras. "Sekarang saatnya Mas, kamu pilih aku dan anak-anak. Atau dia? Tidak sulit, kan? Tinggal bilang," ucapku datar nyaris tanpa ekspresi. Aku sudah lelah dengan keadaan ini.

"Mbak, aku mohon. Aku tidak mau Mbak sama Mas Pras berpisah. Aku mohon," ada kesungguhan yang terpancar dari tatapan mata bulatnya. Namun, kata-katanya tak juga bisa meredakan lecutan emosiku yang kian tak terkendali.

"Kau ingin aku tak berpisah? Tapi kamu selalu hadir di tengah-tengah kami. Jika kamu memang tidak ingin aku pisah, tinggalkan suamiku mudah, kan? Tapi ya, itu kalau kamu sebaik omonganmu, kalau enggak ya..." aku menggantung kalimatku.

"Ratih! Jaga batasanmu!" Desis Mas Pras geram.

"Baiklah, jika begitu tolong bilang juga sama suami Mbak, jangan pernah menghubungi saya lagi. Dan berhenti mengejar-ngejar saya," seru Lily dengan suara parau menahan tangis.

Setengah berlari dia menuju sepeda Varionya yang terparkir di halaman. Mas Pras mengejar, mencoba menahannya tapi tak berhasil. Lily pergi tanpa sedikitpun menggubris kata-katanya.

Wajahku seketika terasa kebas mendengar kata-kata Lily. Benar, dari tadi atau bahkan dari kemarin-kemarin aku hanya menyalahkannya. Menganggap Lily sebagai wanita penggoda. Aku lupa, bahwa perselingkuhan itu terjadi karena dua pihak saling membuka diri, memberi kesempatan dan memberikan hatinya untuk orang yang tidak semestinya.

"Ratih kau benar-benar keterlaluan," ucap Mas Pras geram, "Lily kesini baik-baik, dia meminta kamu untuk tidak menuruti permintaan ibunya. Karena dia menghormati kamu sebagai istriku. Tapi kau malah menghinanya." Mas Pras berkata dengan nada marah. Ia berlalu ke kamar Alya yang terdengar menangis karena terbangun dari tidurnya.

"Kenapa lutut Alya?" tanyanya sambil menggendong Alya.

"Jatuh," kujawab pendek saja, malas berdebat lagi.

"Kok bisa jatuh? Karena keasyikan ngobrol dengan Pandu?" tuduhnya padaku, membuat emosiku naik lagi. Aku lupa ada Alya di antara kami saat ini.

"Ga usah bawa-bawa Pandu."

"Kenapa, gak terima?"

"Iya lah. Kami memang tidak ada hubungan apa-apa, beda sama kamu."

"Siapa yang tahu. Kalau dia laki-laki yang baik di harusnya tau, tidak boleh mengunjungi istri orang jika suaminya tidak di rumah."

"Hmmm kau benar. Jika wanitamu itu memang wanita baik-baik dia tidak akan menggunakan ibunya untuk meminta suami orang."

"Kau dibutakan oleh rasa kebencian Ratih."

"Kau juga dibutakan cintamu."

"Kau tahu kalau bukan karena Ibu dan anak-anak aku pasti sudah..."

"Sudah apa?" Suara Ibu menghentikan perdebatan sengit kami. Aku tidak tahu sudah berapa lama Ibu berdiri di pintu memperhatikan kami.

********--*-********

Ibu masuk mendekati kami yang sedang bertikai dengan sorot mata tajam ke arah Mas Pras, kemudian beliau mengambil alih Alya dari gendongan Mas Pras yang terlihat ketakutan karena pertengkaran kami. Ibu mencoba menghibur Alya. Sedangkan aku dan Mas Pras diam seribu bahasa, tak berani memulai pembicaraan sebelum Ibu buka suara.

"Kalian ini seperti anak kecil, ribut di depan anak," ucap Ibu kesal kepada kami.

"Eyaaaangggggg...." suara cempreng Aya dari arah luar, Dia berlari memeluk Ibu yang masih menggendong Alya, mencium tangannya, dan beralih kepadaku, kemudian duduk di pangkuan Mas Pras dengan manja. Untuk sementara pembicaraan kami terhenti karena Aya. Dia anak mulai kritis. Aku takut dia terluka, jika tahu yang sebenarnya terjadi diantara kedua orang tuanya.

"Nanti malam kalian kerumah, Ibu mau bicara." Ibu berkata datar. Kemudian pulang, setelah asisten rumah tangga Ibu datang menjemputnya.

---------

"Ibu sudah tau, ada yang tidak beres pada rumah tangga kalian," Ibu berkata dengan nada datar tapi tegas. Mas Pras melirik tajam ke arahku. Mungkin dia menganggap aku yang telah menceritakan badai rumah tangga kami pada Ibu.

"Bukan Ratih yang memberi tahu Ibu, Pras," rupanya Ibu juga menangkap maksud lirikan Mas Pras padaku. "Semua orang waras pasti mengira demikian, untuk apa tiap malam kamu cekikikan di kamar belakang toko? Dengan siapa kamu bicara? Kamu pikir Ibu tidak tahu? Jika Ibu tanya, kamu pura-pura serius, lalu menjawab sibuk. Kamu pikir Ibu bodoh?" cecar Ibu pada Mas Pras, rupanya sekian lama Ibu hanya diam mengetahui ulah anaknya, dan sekarang Ibu tumpahkan semuanya. Namum, Mas Pras tidak menjawab dia hanya tertunduk semakin dalam.

"Pras. Tolong, jujurlah pada Ibu," ujar Ibu dengan lembut.

"Maafkan, Pras Bu..." gumamnya lirih

"Kau tidak perlu meminta maaf pada Ibu, minta maaflah pada Ratih dan anak-anakmu. Kau sudah menelantarkan mereka gara-gara wanita itu." Ibu berkata dengan datar. Namun kelihatannya Mas Pras sedikit tersinggung dengan ucapan ibunya, raut wajahnya menunjukkan itu.

"Bu, kapan Pras menelantarkannya? Ibu jangan berlebihan. Pras masih bertanggung jawab pada keluarga Pras, Bu," sanggah Mas Pras mencoba membela diri. Sedangkan aku hanya diam saja menyimak pembicaraan ibu dan anak ini. Tanpa menyela sedikitpun.

"Pras, yang namanya bertanggung jawab bukan hanya urusan makan dan selangkangan. Tapi juga rasa aman, damai dan ketentraman dalam keluarga itu lebih penting dari semua itu," ucap Ibu sengit.

"Kalau kamu tiap malam keluar rumah sampai larut, kapan waktumu untuk anak dan istrimu, Nak. Seharian kamu sudah bekerja, meninggalkan rumah. Malam adalah waktunya kamu bersama istri dan anak-anakmu. Kalau terjadi apa-apa di rumah, saat kamu keluar. Bagaimana dengan menantu dan cucu-cucu Ibu? Apa kamu pernah berpikir sampai sejauh itu," lanjut Ibu yang lebih terdengar seperti ceramah dari pada sekadar omelan.

"Tapi nyatanya, kan, gak terjadi apa-apa, Bu," sanggah Mas Pras dengan santai memasang wajah tak berdosa.

"Apa???? Tidak terjadi apa-apa? Jadi, Ratih yang kecelakaan sampai hampir mati, itu karena siapa? Karena kamu! Jangan kamu pikir Ibu tidak tahu." Ibu mulai naik pitam. Nada suaranya meninggi.

"Itu kecelakaan, Bu," sergah Mas Pras menenangkan Ibu.

"Alasan! Ibu minta mulai detik ini tinggalkan wanita itu."

"Bu, tolong, aku sudah dewasa, Bu. Biarkan aku menentukan jalan hidupku sendiri."

"Oya, jalan hidup yang bagaimana maksudnya?" tanya Ibu tanpa menoleh ke arah Mas Pras.

"Aku mau menikahinya, Bu." Mas Pras menjawab pendek. Pedih kurasa saat mendengar Mas Pras mengutarakan keinginannya. Air mataku jatuh tak tertahankan lagi. Ibu mengernyitkan dahi. Memandang Mas Pras dengan tatapan marah.

"Ratih?" Ibu menoleh ke arahku. Meminta pendapatku, walaupun sebenarnya Ibu tahu jawabnnya dengan hanya melihat melihat air mata di pipiku. Aku tak menjawab, Hanya menunduk sambil menyusut air mataku.

"Kau lihat, Ratih tidak setuju, begitu pula Ibu. Jadi tidak ada acara cerai tidak ada acara menikah lagi. Titik, ibu tidak mau dibantah," ujar dengan tegas. Ibu mengakhiri bicaranya. Mas Pras beralih mendekat pada Ibu. Dia berlutut di depan ibu yang duduk di kursi. Tangan Ibu di pegangnya erat.

"Ibu, dari dulu aku selalu menuruti keinginan Ibu. Apapun itu, bahkan saat menikah dengan Ratih pun, aku menuruti keinginan Ayah dan Ibu. Walaupun aku tidak mau. Sekali ini aku minta, tolong restui aku, Bu. Aku anak Ibu satu-satunya. Apa Ibu tidak ingin melihat aku bahagia?" tanya Mas Pras dengan tatapan memohon, ia mencoba membujuk Ibu dengan mengutarakan isi hatinya. Ibu menghela napas. Membalas tatapan anaknya dengan lembut, dengan membelai kepalanya penuh kasih sayang.

"Pras, Ratih perempuan begitu pula Ibu, Nak. Ibu tahu sakitnya diduakan. Ibu tahu. Dan yang Ibu takutkan, karma akan dialami juga oleh cucu-cucu Ibu, anakmu, Nak. Ibu tidak mau mereka mengalami sakit seperti yang pernah dialami Mamanya dan neneknya," ucap Ibu sedih, sembari menerawang seperti sedang mengingat kejadian di masa lalunya yang kelam.

"Bu, jangan berpikiran sempit. Karma itu tidak ada dalam agama kita, Bu. Itu takhayul." Mas Pras masih mencoba membujuk Ibu. Ibu menghela napas tipis. Kemudian memandang Mas Pras dengan tatapan kecewa.

"Ibu percaya, kamu adalah anak Ibu yang baik, kamu sudah dewasa. Kamu bisa pikirkan mana yang baik dan yang buruk untuk hidupmu. Tapi jika kamu tetap pada keputusanmu, Ibu bisa apa? Pergilah dengan wanita pilihanmu. Biarkan Ratih dan anak-anakmu tinggal bersama Ibu," ucap Ibu kemudian menepis tangan Mas Pras dengan kasar, lalu beranjak pergi memasuki kamarnya. Meninggalkan kami berdua.

Mas Pras terperanjat mendengar keputusan Ibu, begitu pula aku. Tak kusangka Ibu lebih memilih aku dibanding Mas Pras. Anak semata wayangnya. Mas Pras tergugu di kursi sofa. Aku tak tahu pasti dia menangis karena apa. Karena ucapan Ibu atau karena merindukan wanitanya. Entahlah.

****************

Sejak pembicaraan dengan Ibu, malam itu. Mas Pras menjadi orang asing bagi aku dan anak-anak. Dia menjadi semakin pendiam dan lebih dingin. Mas Pras seperti kehilangan semangat hidupnya, selalu murung.

Aku menjadi serba salah. Apakah aku terlalu egois dengan mempertahankan prinsipku? Aku mencoba menghiburnya dengan membuat makanan kesukaannya, mengajaknya ngobrol di kala ia melamun, tapi hasilnya nihil. Mas Pras hanya tersenyum canggung, mengucapkan terimakasih lalu pergi. Aku dianggapnya seperti orang lain.

"Mas, sedang apa?" tanyaku basa-basi melihatnya melamun di kursi teras.

"Ga ada," jawabnya pendek tanpa menoleh kepadaku.

"Mas, Nina ngerayain ulang tahun anaknya besok sore, Aya dan Alya diundang. Besok, Mas anterin, ya," ucapku riang. Berharap Mas Pras mau mengantarku.

"Pergi, sendiri aja, ya."

"Tapi, Mas kan besok libur. Ga ngantor."

"Lagi pengen di rumah saja."

"Trus, aku pergi sama siapa?"

"Sama anak-anak."

"Yang nganter?"

"Besok aku teleponkan Pak Tikno."Dia berlalu meninggalkan aku di kursi teras sendiri. Sakit. Namun aku tidak putus asa, aku megikutinya dari belakang.

"Mas, mengapa seh, Mas jadi seperti ini?"

"Ga apa-apa?"

"Katakan, Mas ada masalah apa? Ayo kita selesaikan bersama. Jangan di pendam sendiri," pintaku padanya. Mas Pras menghela napas berat.

"Aku tidak berhak atas diriku. Aku hanya bertugas membahagiakan orang lain. Tapi mereka tak memikirkan kebahagiaanku."

Degh. Seperti ada sebuah beban berat menimpa pundakku. Aku mengerti maksud pembicaraannya. Namun aku masih diam, membiarkannya agar terus berbicara. Siapa tahu dengan begitu, bebannya menjadi sedikit berkurang. Dan ia kembali seperti sedia kala.

"Ratih, terimakasih atas cintamu yang begitu besar padaku. Aku tak bisa pungkiri, selama delapan tahun menikah, aku mulai terbiasa dengan kehadiranmu sebagai teman hidupku. Tapi ada ruang kosong yang hampa di sudut hatiku, yang tidak bisa aku mengerti." Mas Pras berkata dengan datar, nyaris tanpa ekspresi, dan tidak menoleh kepadaku. Aku mencoba mencerna kata-katanya, berharap ia bicara lebih banyak lagi denganku. Tapi dia berlalu dari hadapanku. Atau lebih tepatnya menghindariku.

--------

Sudah tiga hari ini Mas Pras tidak masuk kantor, badannya lemah, tapi dokter tidak menemukan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Semuanya baik-baik saja, menurut hasil pemeriksaan dokter. Namun semakin hari tubuh Mas Pras semakin ringkih, karena ia tidak mau makan.

Aku menerka-nerka, mungkin bukan sakit fisik yang Mas Pras derita, tapi sakit batin. Cintanya kepada Lily yang begitu dalam dan ancaman dari Ibu yang membuat dia menjadi sakit.

Aku merasa menjadi wanita yang paling jahat. Membuat orang yang kucintai menderita. Aku tak tega melihat suamiku menjadi hilang semangat. Mungkin aku tak sanggup untuk di madu tapi aku juga tak bisa melihatnya seperti mayat hidup. Jika aku tetap pada prinsipku, bagaimana dengan anak-anakku? Keputusanku akan melukai banyak orang. Tapi jika aku yang mengabaikan prinsipku, apa aku sanggup berbesar hati untuk berbagi suami?

Mas Pras menggeliat, rupanya ia baru saja terbangun dari tidurnya. Aku segera membuatkan teh hangat untuknya.

"Mana anak-anak?" tanyanya lirih.

"Mereka dijemput Ibu. Tadi Ibu ke sini. Tapi, karena kamu tidur Ibu ga tega bangunin. Ibu nitipin ini," ucapku sambil menyodorkan sebuah map padanya.

Dia mengambil map itu, kemudian segera membuka isinya. Mas Pras terperanjat melihat isi map itu. Seolah tak percaya dengan apa yang barusan ia baca.

***★***

Sebenarnya map itu bukan dari Ibu. Itu map dariku. Yang berisi surat pernyataan kesediaanku untuk dipoligami. Bukan tanpa alasan akhirnya aku mengizinkan Mas Pras untuk menikah lagi. Ini melalui pemikiran yang panjang, dan pergolakan batin yang sangat melelahkan. Aku hanya punya satu harapan, jika suatu saat Mas Pras akan tahu bahwa, ada seorang wanita yang akan selalu ada untuknya yaitu, aku istrinya.

Bagi sebagian wanita ini adalah pilihan yang bodoh, begitu pula bagiku awalnya. Tapi bukankah sejatinya cinta bukan bagaimana kita memiliki tapi bagaimana kita bisa membahagiakan orang yang kita cintai.

Mungkin bagi sebagian kaumku poligami adalah hal yang sangat menakutkan. Sebenarnya bukan lebih masalah takut kasih sayang suami terbagi tapi masalahnya bagaimana bisa berdamai dengan ketakutan yang ada dalam diri.

"Ratih, ini???" Aku mengangguk mantap. Mas Pras menatapku dengan tatapan seolah tak percaya.

"Nikahilah Lily, aku ikhlas," ucapku lirih, tiba-tiba ada rasa haru menyeruak dalam dadaku. Aku tak dapat membendung air mataku, rasanya aku sudah melepaskan beban yang begitu berat di pundakku.

"Lalu Ibu..."

"Jangan khawatir tentang Ibu, aku yang akan bicara pada Ibu."

Ada bulir bening yang mengalir dari sudut mata sayu Mas Pras. Dia merengkuhku, "Terimakasih, Ratih. Aku akan berusaha untuk adil." Aku tersenyum getir. Meskipun masih ada ragu yang menggelayut. Bukankah keputusan ini sudah di ambil.

----------

Sesuai janjiku, malam ini aku dan Mas Pras menemui Ibu untuk membicarakan pernikahan kedua Mas Pras. Ibu terkejut dengan keputusanku, karena sebelumnya Ibu tahu jika aku tidak mau dimadu. Bukan hal yang mudah meyakinkan Ibu, apalagi Ibu juga mengalami trauma diduakan oleh almarhum Ayah. Tapi berkat penjelasanku Ibu akhirnya melunak.

"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu, Nak?" tanya Ibu dengan sorot mata penasaran.

"Iya Bu," sahutku mantap.

"Ibu harap kau tidak menyesal dengan keputusanmu ini," ujar Ibu sambil melangkah menuju jendela ruang keluarga yang terbuka.

"InsyaAllah Bu," jawabku pendek.

"Tapi, Ibu masih ragu. Ibu harus tahu seperti apa dia. Apakah dia memang pantas untuk anakku? Aku tak akan menyerahkan putraku pada orang sembarangan. Kalau perlu dia harus berada di atas Ratih dalam segala hal," ucap Ibu tanpa menoleh kepada kami. Ia masih saja berdiri di dekat jendela dan melihat ke arah luar. Mas Pras hanya diam, dia menghela napas berat.

"Sebelum kau menikah nanti, segala bentuk kekayaan dan tabungan Ibu minta segera di atas namakan Aya dan Alya dengan Ratih sebagai walinya. Gajimu juga, Ratih yang akan mengatur semua pengeluaranmu, berikut jatah untuk wanitamu itu. Ingat, Ibu mau ada perjanjian hitam di atas putih. Ibu juga tidak mau memiliki cucu selain dari Ratih. Kau mengerti, Pras? Satu hal lagi, jangan pernah membawa wanita itu kehadapan keluarga besar kita, Ibu tidak sudi. "Ibu...." Mas Pras mendesis pelan, tampaknya ia merasa keberatan.

"Ini keputusan Ibu, kalau kau masih mau dianggap anak!" ucap Ibu tegas dengan setenfah mengancam.

"Ibu, jangan..." Ibu memotong sebelum aku menyelesaikan kata-kataku.

"Kau terlalu lemah karena cintamu, Ratih. Ini Ibu lakukan ini untuk cucu Ibu."

Mas Pras menelan ludah. "Baiklah, Bu. Secepatnya Ratih akan bawa wanita itu menemui Ibu," aku menjawab mantap.

"Baguslah, lebih cepat lebih baik. Biar cepat selesai masalah ini. Pras, Ibu ingin bicara berdua saja dengan Ratih, bisa kau tinggalkan kami," pinta Ibu.

Mas Pras segera menuruti perintah Ibu. Ia keluar membawa motor matic Ibu yang terparkir di halaman entah kemana. Ibu mendekat, dan duduk di sebelahku.

"Nak, Ibu tanya sekali lagi, kamu yakin dengan keputusanmu ini?"

"Iya, Ibu. Ratih sangat yakin. Asal Mas Pras bahagia, Ratih juga bahagia, Bu."

"Omong kosong!"

"Ibu, tolong hargai keputusan Ratih, ini untuk kebahagiaan Mas Pras, putra Ibu. Bukankah Allah memberi ujian kepada hambaNya sesuai dengan kemampuannya Ibu. Berarti Ratih mampu, kan Bu."

"Ibu, benar-benar tidak mengerti jalan pikiran kamu."

Ibu kemudian diam. Keadaan hening. Beberapa saat kemudian Mas Pras kembali. Ia masuk dengan langkah gontai dengan wajah lesu.

******★******

Mas Pras terus melangkah menuju taman belakang, di mana Aya dan Alya sedang bermain di temani oleh asisten rumah tangga Ibu. Dia kembali dengan menggendong Alya di tangan kiri dan menuntun Aya di tangan kanannya.

"Ayo, pulang," ajaknya padaku.

"Papa, Aya mau nginep di rumah Eyang. Ya, boleh, ya," pinta Aya dengan manja.

"Jangan, besok sekolah" jawabnya datar

"Yah... Papa. Aya kan pengen dengerin cerita Eyang. Papa gak pernah ceritain Aya kalau mau tidur," ucapnya sewot sambil memonyongkan bibir mungilnya.

"Biarlah dia di sini, Pras. Toh, nanti dia juga akan tinggal sama Ibu," ujar Ibu menyela pembicaraan Mas Pras dan Aya. Gadis kecilku yang ceriwis itu terlihat bengong mendengar ucapan eyangnya.

"Sayang, nanti Mama yang cerita ya. Sekarang Aya pulang dulu. Besok main lagi ke sini, ya," ucapku berusaha menenangkan Aya.

Kami berpamitan pada Ibu, kemudian kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Aya manyun dan Mas Pras masih terlihat murung. Untungnya Alya tidak rewel. Ia tertidur pulas di pangkuanku.

Sesampai di rumah, Aya langsung masuk ke kamarnya. Memeluk guling dan memejamkan mata. Rupanya dia masih jengkel. Padahal biasanya dia akan tidur jika aku atau Mas Pras menemaninya.

"Ratih, boleh aku tanya padamu?" Mas Pras menghampiriku di ruang tengah sambil membawa dua cangkir teh hangat, tidak seperti biasanya, dia hanya membuat teh untuk dirinya saja. Aku hanya mengangguk, tanda mengiyakan.

"Mengapa tiba-tiba kau mengijinkanku menikahinya? Bukankah dulu kau sangat membencinya? Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyanya menyodorkan satu cangkir teh itu padaku.

"Karena aku hanya ingin melihatmu bahagia. Selama ini aku tak pernah melihatmu memperjuangkan aku, seperti kau memperjuangkan Lily. Tatapanmu, ceriamu, perlakuanmu sangat berbeda. Aku tahu kau sangat mencintainya. Betapa beruntungnya dia," ucapku datar

"Kau benar-benar ikhlas?" tanyanya dengan raut wajah serius.

"Aku tidak tahu. Tapi aku akan berusaha. Anggap saja ini balas budi, karena kau telah bersedia menikah denganku dan menafkahiku dengan layak," aku berhenti sejenak mengesap nikmatnya teh hangat buatan suamiku untuk yang pertama kalinya. "Hanya satu pintaku, setelah kau menikah lagi nanti, tolong waktumu untuk anak-anak jangan berkurang," lanjutku dengan nada sedikit memohon atau lebih tepatnya memelas.

Mas Pras tidak menjawab, dia memberikan hapenya padaku. Hape yang tak pernah ia perbolehkan untuk aku sentuh. Rupanya dia menunjukkan foto pusara di sana, dengan batu nisan bertuliskan nama Srianingsih. Aku mengerti, ini pasti makam Bu Sri, ibunya Lily. Dari batu nisan itu diketahui bahwa Bu Sri, sudah meninggal sepuluh hari yang lalu. Ada rasa bersalah dalam hatiku. Aku tak bisa mewujudkan permintaan terakhir wanita tua itu.

"Kenapa Mas baru memberi tahu?"

"Aku juga baru tahu, itupun dari teman," sahut Mas Pras datar.

"Kok gitu?" tanyaku heran.

"Sejak kejadian sore itu, Lily mengundurkan dari kantor. Dia juga tidak mengangkat teleponku, bahkan sms dan BBM ku pun tidak dibalasnya," jelasnya padaku diakhiri dengan dengusan kesal.

"Hmm... Besok kita takziah, ya Mas aku ikut. Sekalian ngomongin pernikahannya Mas dan Lily," ucapku datar walau sebenarnya masih penasaran terhadap perubahan sikap Lily.

-------

Sore ini aku mempersiapkan diri sebaik mungkin, rencananya aku dan Mas Pras akan takziah ke rumah Lily. Aya dan Alya aku titipkan di rumah Ibu, supaya tidak mengganggu ketika kami berbicara.

Kami tiba di sebuah rumah kecil di ujung gang komplek perumahan itu. Tak ada yang istimewa dari rumah sederhana itu, modelnya sama saja dengan rumah-rumah di sekitarnya hanya beda warna cat saja. Ada beberapa tanaman bunga hias yang tampak tidak terawat. Daun-daunnya sudah banyak yang layu, dan ditumbuhi rumput liar.

Mas Pras mengucapkan salam, sebentar kemudian Lily membuka pintu. Matanya sembab, wajahnya kuyu tubuhnya semakin kurus. Dia nampak terkejut melihat kedatanganku bersama Mas Pras. Dia mempersilahkan kami masuk.

"Lily, mengapa kau tidak mengabariku? Mengapa aku tau dari orang lain?" Mas Pras langsung mencecarnya dengan pertanyaan.

"Aku rasa tidak perlu," sahutnya ketus.

"Kami turut berduka cita, semoga Ibumu khusnul khotimah. Kamu juga yang sabar ya," ucapku tulus. Dia tersenyum mencibir.

"Terima kasih, atas simpatinya," ujarnya masih ketus.

"Lily, aku ke sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu." Lagi-lagi dia tersenyum kecut. Jantungku berdegup kencang. Inilah saatnya aku melamar wanita untuk suamiku. Aku menarik napas panjang agar lebih tenang.

"Aku minta bersedialah menjadi saudaraku, menikahlah dengan suamiku," pintaku hati-hati takut membuatnya tersinggung. Aku tak tahu lagi seperti apa kata-kata yang tepat untuk meminangnya. Semoga saja dia tidak tersinggung.

Dia mengangkat sebelah alis ulat bulunya, kemudian tawanya pecah seketika. Aku dan Mas Pras berpandangan, merasa heran dengan reaksinya.

******---******



Sore ini cuaca terasa panas, hujan yang dinanti belum juga datang. Mas Pras pulang cepat dari kantor karena hendak mengantarkan aku dan Lily cek rutin ke dokter kandungan. Usia kehamilannya sudah memasuki 36 minggu dan kehamilanku baru 28 minggu.

Mas Pras datang menghampiriku dengan membawa dua gelas jus alpukat di tangan, dan memberikan satu untukku. Mas Pras duduk di kursi yang berseberangan denganku, hendak meminum jus alpukat buatannya, tapi Lily segera menyambarnya dan meneguknya tanpa sisa.

"Lily, kamu usil banget, ya," ucap Mas Pras sambil mencubit pipinya gemas.

"Biarin habis, Mas pilih kasih sih, Mbak Ratih aja dibuatin, Lily enggak," sahut Lily sewot.

"Loh, dia kan, lagi hamil,"

"Lily?" tanyanya dengan menunjuk ke arah perutnya yang sudah membuncit, seolah mengingatkan bahwa dia juga sedang mengandung. Aku tak bisa menahan tawaku melihat ekspresi Lily saat menunjuk ke arah perutnya.

"He... he... maaf," Mas Pras nyengir kuda. "Lily, sini sebentar," panggil Mas Pras dengan isyarat tangan supaya Lily duduk di sampingnya.

"Apaan sih, Mas? Lily mau di kamar aja," ucapnya dengan bibir manyun. Mas Pras melotot. Akhirnya dia menurut juga, dengan langkah gontai dia malah merebahkan diri di pangkuan Mas Pras.

"Eh, Manja ,ya. Semoga kalau anak ini lahir mirip aku," ucap Mas Pras tengil memasang wajah tak berdosa.

"Ogah!!!! Amit-amit jabang bayi deh," ucap Lily sambil terkekeh. Mendadak wajah Mas Pras menjadi serius.

"Lily, jika nanti anak ini sudah lahir, Mas mohon jangan bedakan antara anak kandung dengan anak tirimu, ya," pinta Mas Pras tulus. Aku menelan ludah mendengar kata-kata Mas Pras. Dalam hati aku juga ragu.

"Ga tau deh lihat entar," jawab Lily dengan cueknya.

"Serius Lily!"

"Lily enggak weeeekk," jawabnya santai lalu menjulurkan lidahnya. Mas Pras semakin gemas dan mengacak-acak rambutnya.

-------

Lily menghentikan tawanya dan menyusut air bening di sudut matanya.

"Kau pikir aku mau menikah dengan Mas Pras? Kau salah besar. Dari awal aku kan sudah bilang, dia Mas Prasku. Tunggu di sini sebentar." Lily beranjak dari kursi masuk ke dalam kamar. Kemudian keluar dengan membawa sebuah tas yang isinya adalah sebuah album foto dan sebuah map.

"Lihatlah," pintanya sambil menyodorkan album foto dan map itu. Mas Pras mengambil album foto dan aku mengambil mapnya. Map itu berisi sebuah akta kelahiran dan buku nikah. Betapa terkejutnya aku, melihat data yang tertera di akta kelahiran itu. Disana tertulis, bahwa telah lahir anak perempuan dengan nama Aprilya Pratidina Wijadmiko, dari perkawinan antara Handoko Wijadmiko dan Srianingsih.

Aku segera meraih buku nikah itu. Benar, di buku nikah ini tertulis nama mempelainya adalah almarhum ayah mertuaku dan ibunya Lily. Kepalaku mendadak pusing tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Mas Pras tampak shock melihat foto-foto di album, sampai dia tak sengaja menjatuhkan album itu dari tangannya. Aku memungutnya. Disitu masih terlihat dengan jelas, foto pernikahan dan foto ketika Bu Sri muda menggendong seorang bayi perempuan ada foto Ibu di sana. Foto-foto tua yang sudah menguning tepinya itu menyimpan sebuah cerita yang tak pernah aku ketahui sebelumnya.

"Jadi.. jadi.." aku tak bisa meneruskan kata-kataku.

"Iya Mbak. Aku adalah adik Mas Pras. Ibuku adalah perempuan yang terlalu baik atau bisa dibilang naif. Dia memberikan suaminya untuk orang lain ya seperti Mbak ini. Bodoh," ucapnya sengit.

"Menurut cerita Ibu, pernikahan Ayah dan Ibu tidak disetujui oleh orang tua Ayah karena ibuku besar di panti asuhan. Kemudian Kakek menjodohkan Ayah dengan Bu Mirna, mertua Mbak Ratih. Ibu dipaksa untuk menadatangani surat persetujuan poligami itu."

"Dan kau tau Mbak, Bu Mirna itu adalah wanita yang cerdas atau lebih tepatnya licik, dia menguasai semua aset Ayah. Jatah bulanan dia yang atur. Bahkan ketika dia melahirkan Mas Pras dia langsung menuntut Ayah untuk menceraikan Ibu. Tapi Ayah tidak mau, karena saat itu Ibu sedang mengandung. Bu Mirna marah besar. Dia merasa diduakan. Padahal dia yang merebut ayahku dari Ibu," jelasnya dengan suara parau menahan tangis.

"Dan sejak aku mengetahui kisah ini, aku berjanji untuk mencari kakakku. Ternyata Tuhan mengabulkan doaku. Aku diterima kerja di bank yang sama dengan Mas Pras. Aku mencurigainya saat aku lihat nama belakangnya sama denganku. Prasetyo Wijadmiko dan Mbak lihat, kan, wajahku mirip dengannya," ucapnya sambil mengusap air mata yang menganak sungai di pipi mulusnya.

"Aku mencoba mendekatinya, namun rupanya Mas Pras salah paham dengan maksudku, dan ternyata pernikahan Mbak juga ada sedikit masalah. Ya sekalian dah, aku layani sekalian untuk memberi pelajaran karena telah membuat hidupku menderita," dia tertawa getir diantara tangisnya.

"Dari kecil aku hanya berdua dengan Ibuku, Ibu kerja serabutan untuk menyambung hidup. Siang dia bekerja di gudang tembakau kadang juga menjadi buruh cuci. Ibu, menderita sepanjang hidupnya. Karena mensedekahkan suaminya untuk Ibumu," Lily berkata sengit dengan sorot mata yang tajam pada Mas Pras.

"Lily, aku tak tahu harus bicara apa? Izinkan aku menebus semua yang telah Ibuku perbuat padamu." Mas Pras berkata dengan lirih dan tatapan nanar.

"Awalnya aku ingin menghancurkan rumah tanggamu, tapi mengingat kedua anakmu, aku jadi tidak sampai hati. Mereka juga keponakanku. Ibuku yang malang, tidak pernah mengetahui kebenaran ini. Dan Mbak Ratih, dia adalah wanita yang tegar Mas. Ayah tidak salah memilihkan jodoh untukmu." Dia tergugu. Entah apa yang membuatnya terisak.

"Ibu. Tidak mungkin Ibu sejahat itu." Mas Pras mendesis. Dia menggeleng seolah tak mempercayai kata-kata Lily.

"Kau bisa menanyakannya pada Ibumu," Lily berkata tanpa menoleh ke arah kami.

--------

Hape Mas Pras berdering, karena Mas Pras sedang sholat aku langsung menerimannya.

"Assalamualaikum," ucapku membuka pembicaraan.

"Waalaikumsalam, Mbak. Dimana Lily? Kenapa dia tak menjawab telponku?" tanya pria di seberang tidak sabaran. Dia adalah Pandu.

"Oh, kelihatannya dia sudah tidur, kamu kapan selesai diklatnya?"

"Tadi sore penutupannya, sekarang sudah perjalanan pulang kok, Mbak. Kalau lancar dua jam lagi nyampe. Nanti aku langsung jemput Lily."

"Oh ya nanti aku sampaikan."

"Bagaimana kandungannya Lily?"

"Baik-baik saja. Tadi aku cek up bareng sama dia. Katanya HPL nya minggu-minggu ini. Dan bayinya cewek, lho."

"Alhamdulillah, akhirnya aku punya anak cewek. Eh, udah dulu, ya Mbak. Mumpung busnya berhenti, aku mau ke toilet dulu."

"Oke, hati-hati di jalan ya."

Setelah mengucapkan salam, Pandu memutus sambungan telepon. Pandu mengikuti Diklat PLPG selama sepuluh hari di luar kota, selama dia pergi, dia meminta Lily untuk tinggal bersama kami. Dia merasa khawatir karena Lily sedang hamil tua.

Aku kaget ketika Mas Pras memelukku dari belakang. Tangannya mengusap lembut perutku yang mulai membuncit.

"Ini yang terakhir lho, ya." Aku memegang tanganya. Menghentikan aktivitasnya mengelus perutku.

"Ga janji, kalau ga laki-laki ya bikin lagi," selorohnya.

"Kalau laki-laki, berarti dah stop ya," ucapku memastikan.

"Ehmm.. aku pikir gak juga. Ha..ha.." kelakarnya.

"Ihhh...." aku mencubit tangannya gemas. Mas Pras mengaduh, sebentar kemudian tertawa cekikian.

Allah menunjukkan caranya yang sungguh Indah dalam menyatukan kami. Lily yang awalnya datang sebagi duri dalam rumah tanggaku, ternyata kehadirannya mengajarkan banyak hal. Jalan yang tampak buruk di mata kita, terkadang jalan itulah yang terbaik dari Tuhan. Karena yang tampak benar tidak selalu benar, dan yang tampak salah tidak seluruhnya salah.

Selesai

***+***


By: Tutukz Nury Firdaus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...