
#ceritafiksi
"Aku mencintainya, " katanya datar. Tapi mampu membuat duniaku runtuh seketika. Delapan tahun aku berumah tangga dengannya. Ada dua gadis mungil di tengah-tengah kami. Buah cinta kami. Bukan, bukan buah cinta. Hanya aku yang mencintai suamiku. Dia tidak. Aku pikir setelah ada dua gadis mungil dia telah mencintaiku. Ternyata aku salah.
Kami menikah atas sebuah perjodohan. Dari awal dia memang menolak perjodohan ini. Dia sempat pergi keluar kota dengan alasan kuliah, untuk menunda pernikahan kami. Dari kota itu dia menyurati aku. Agar bersedia memohon pada orang tuaku untuk membatalkan perjodohan ini. Tapi mana mungkin aku lakukan. Karena aku benar-benar mencintainya. Dia adalah cintaku. Cinta pertamaku. Namanya selalu ada dalam doa-doaku. Aku tak melakukan permintaannya. Justru aku meminta pada orang tuaku untuk segera dinikahkan dengannya. Karena aku tahu dia tidak bisa menolak dan melawan permintaan ayahnya. Itu menjadi senjata andalanku.
Ternyata Tuhan mengabulkan permohonanku. Kini sudah delapan tahun aku menjadi istrinya. Tapi aku hanya memiliki raganya namun tidak dengan hatinya. Kini, dia meminta ijinku untuk menikah lagi. Dengan wanita yang ia cintai. Tuhan... Kuatkan aku.
*********************
Aku tak curiga saat suamiku hendak membeli handphone baru. Aku justru gembira. Itu berarti aku dapat handphone baru juga, bekas suamiku itu. Menggantikan handphone tulalit jadulku yang keypadnya sudah banyak yang jebol.
----
Seharian suamiku berkutat dengan handphone barunya. Wajar, pikirku. Tapi belakangan dia semakin sibuk. Sibuk dengan pekerjaannya sebagai pegawai Bank. Semalaman berkutat dengan laptop dan handphone. Sibuk sangat sibuk. Pulang ke rumah dia mandi, sholat, makan kemudian berkutat lagi dengan laptopnya hingga larut malam. Dan ada lagi kebiasaan barunya memakai headset dan mengunci hp dengan sandi.
"Aya... ayo dong jangan ganggu Papa!" Kulihat suamiku mendengus kesal dengan ulah Aya, anak sulungku. Segera aku turun tangan. Aku jewer telinganya.
"Aduh... Mama sakit, Ma," Aya mengerang kesakitan.
"Ingat, Mama bilang apa? Jangan ganggu Papa saat bekerja!" Aku memperingatkan Aya agar menjauhi Papanya.
"Tapi, Ma. Papa itu ga kerja. Cuma main-main aja." Aku mengernyitkan dahiku. Mana mungkin suamiku sebegitu marahnya pada anak kesayangannya itu jika Aya tidak mengganggunya.
"Aya, cuma mau pinjem headset Papa. Papa sampai marah begitu." Jawabnya sambil keluar menuju halaman rumah bergabung dengan anak tetangga yang sedang asik bermain lompat tali. Sedangkan suamiku. Dia hanya menoleh dan meneruskan mengotak-atik laptopnya sambil sesekali melihat ke arah hape baru itu. Aku kembali ke dapur meneruskan aktivitasku membuat makanan mp-asi untuk anak keduaku yang baru berusia sembilan bulan.
"Iya, Aya nanti kita ke pasar malam. Sekarang Aya jangan ganggu Papa dulu." Aku dengar suamiku berdebat lagi dengan Aya.
"Papa, ayo dong Aya cuma mau pinjam headsetnya. Sebentar saja." Aya masih saja terus merengek manja.
"Pokoknya enggak ya enggak!" Dan sekali lagi, dia berkata pada Aya dengan nada tinggi. Hal yang sangat jarang dia lakukan atau bahkan bisa dibilang tidak pernah.
Segera aku bergegas menyelesaikan aktivitasku di dapur. Sampai di ruang tengah langsung aku sambar lagi telinga Aya.
"Aduh.. aduh... sakit Ma" Aya mengaduh sambil memegangi telinganya.
"Sudah berapa kali Mama bilang jangan ganggu Papa." "Harusnya Mama berterimakasih sama Aya. Aya itu sayang sama Mama." Aya tak mau kalah.
"Apa maksud kamu Aya?" Aku agak terkejut mendengar jawaban yang tidak ku duga.
"Tidak ada. Pokoknya kalau nanti tidak ke pasar malam rahasia Ayah akan ku bongkar." Aya berlalu sambil mengerling penuh arti pada Papanya. " Beres" jawab suamiku dengan mengacungkan dua jempolnya.
Hatiku mencelos. Rahasia? Apa rahasianya. Mengapa raut wajah suamiku langsung berubah setelah Aya mengancamnya. Aku memnadang tajam suamiku. Meminta penjelasan. Tapi seperti biasa. Dia acuh kepadaku. Kami memang jarang bicara. Jarang mengobrol bersama. Walaupun kami sama-sama di rumah. Suamiku lebih suka bercanda dan bermain-main dengan anak-anak dari pada ngobrol denganku. Begitupun aku. Tapi, kali ini beda. Ada rasa yang tidak bisa aku jelaskan. Ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dalam hatiku.
**************
Malam harinya kami sekeluarga, Suamiku, aku, Aya dan anakku yang kecil pergi ke Pasar Malam. Kulihat Aya sangat bahagia disana. Suamiku dan Aya bermain-main dengan gembira, tak lupa juga befoto-foto dengan hape baru. Dan akulah yang jadi juru foto mereka. Melihat kegembiraan mereka aku tak tega merusaknya. Kuredam sendiri semua perasaan gundah dalam hatiku. Aku berharap semua akan kembali normal seperti sediakala.
Tapi sejak kejadian sore itu, Mas Pras-Suamiku semakin menjaga jarak denganku dan Aya. Hari-hari kami biasa walau tetap ada yang berbeda. Mas Pras semakin sibuk, dan jarang bisa bersama dengannya. Tiap hari dia selalu pulang ke rumah dengan tepat waktu. Namun dia bagai orang lain. Bukan Mas Pras yang biasanya. Dia lebih senang menghabiskan waktu sendiri, bersama dengan laptop dan hape barunya. Seperti malam ini selepas Isya, dia sudah mengemasi laptop dan segala perangkatnya.
"Aku mau ke Toko Ibuku." Pamitnya datar Aku hanya mengangguk mengiyakan. Baru pukul lima sore dia tiba di rumah. Sekarang sudah pergi lagi. Dan selalu begitu pada hari-hari berikutnya. Dia lebih senang berada di toko Ibu Mertua, dari pada bermain dengan anak-anaknya. Dia baru pulang setelah hampir tengah malam.
Aku ingin protes sebenarnya. Tapi apa daya aku tak sanggup bicara padanya. Takut dia marah padaku dan meninggalkan aku dan anak-anak. Namun naluriku sebagai wanita mendorong untuk mengikutinya malam ini. Setelah Alya-anak bungsuku tidur, tanpa sepengetahuannya aku datang ke Toko. Sampai di sana aku memberi isyarat pada penjaga toko untuk tidak memberitahukan kedatanganku pada Mas Pras.
Penjaga Toko memberi tahu, kalau Mas Pras ada di ruang belakang toko ini. Didekat gudang ada buah kamar dengan ukuran 3×3 m. Terdapat sebuah dipan single bed dengan sprei warna coklat. Serta satu buah meja kerja lengkap dengan komputer dekstop. Aku berjalan mengendap-endapsecara berhati-hati agar tidak di ketahui suamiku. Kudengar Mas Pras tertawa renyah. Dengan siapa bicara? Entahlah.Aku hanya berdiri di balik pintu tanpa berani membukanya.
Dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku tata hati ini yang sedari tadi remuk redam mendengar pembicaraan mereka berdua. Bukan masalah isi pembicaraannya yang membuat aku cemburu. Tapi, bagaimana Mas Pras bisa senyaman itu bicara panjang lebar, bercerita ini itu, tertawa lepas dengan teman bicaranya itu. Namun, aku tak mau berburuk sangka. Mungkin itu teman lamanya. Atau saudara jauhnya yang telah lama tak berjumpa. Aku mencoba berpikir positif. Aku tarik napas dalam-dalam. Kemudian pulang kerumah takut anak bungsuku bangun dari tidurnya.
"Mama, dari mana sih lama amat? Aya kan takut Adek nangis, Ma," baru saja sampai di rumah, Aya sudah memberondongku dengan pertanyaan.
"Mama dari toko Eyang." Aku menghempaskan tubuhku ke sofa.
"Kok tidak bawa apa-apa?" Ya ampun aku lupa harusnya aku membeli sesuatu untuk Aya. Entah itu hanya sekedar biskuit atau susu kesukaannya sebagai reward karena mau menjaga adiknya.
"Mama lupa bawa uang. Besok deh ya mama buatin puding kesukaan Aya." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.
" Beneran lo Ma. Janji ya." Aya tampak senang. " Tapi dengan satu syarat."
" Apa?"
" Aya jawab dulu pertanyaan Mama."
" Oke, janji," jawab Aya penuh semangat sambil menautkan jari kelingkingnya dengan kelingkingku.
" Ada rahasia apa Aya dengan Papa?"
Seketika raut wajah Aya menjadi murung. Wajahnya menunduk. Aku dekati dia, aku belai rambutnya.
"Aya... Aya, sayang kan sama Mama?" Aku masih mencoba membujuknya. Dia hanya mengangguk pelan.
"Lihat wajah Mama, Sayang?" Dia mendongakan kepalanya.
"Tapi Aya sudah janji sama Papa, dan Pak Ustad bilang kita tidak boleh ingkar janji."
" Kalau begitu Mama ubah pertanyaannya, mengapa Aya pengen banget pinjam headset Papa?"
" Ehm... soalnya Aya pengen dengerin musik kayak Papa." Bukan bukan jawaban itu yang aku ingin dengar.
" Selain dengerin musik biasanya Papa ngapain lagi dengan headsetnya?"
"Bicara sama orang."
"Aya dengar?"
"Iya, dengar kadang-kadang."
"Suaranya laki-laki atau perempuan?"
"Perempuan."
Ya Allah... benar dugaanku. Aku tak kuasa menahan airmataku. Segera aku masuk ke kamar melihat anak bungsuku. Aku tak mau Aya melihatku menangis. Aku benar-brnar cemburu. Mas Pras bisa selepas itu ngobrol dengan wanita lain. Sedangkan denganku, istrinya yang selama delapan tahun bersamanya dia jarang bicara denganku, kecuali ada masalah keluarga. Selebihnya tak ada. Mas Pras benarkah tak ada cinta dihatimu untukku?
***********
Hari ini hari Sabtu. Mas Pras tidak masuk kantor. Biasanya sehabis subuh dia jalan-jalan bersama Aya atau sekedar jogging keliling kampung. Tapi tidak kali ini. Seharian hanya bermalas-malasan di kamar. Alya pun luput dari perhatiannya. Dia datang pada Alya saat menangis saja. Dia benar-benar berubah menjadi seseorang yang tak aku kenal. Biarpun Mas Pras cuek padaku tapi dia adalah sosok ayah perhatian bagi Aya dan Alya.
Sampai detik ini pun aku tak berani menegurnya. Aku tak punya cukup bukti. Dan lagi pula buat apa aku menegurnya. Toh, kewajibannya sebagai suami dan ayah dia penuhi walau ada yang berkurang, tapi dia masih ada dan pulang ke rumah tepat waktu. Itu sudah cukup bagiku. Ini caraku mencintainya. Tak menuntut apapun. Segala keperluannya aku siapkan. Tanpa perlu dia mengatakannya. Rumah selalu bersih, barang-barangnya selalu rapi. Itu merupakan bentuk baktiku padanya. Tapi tampaknya semua itu tak cukup.
-*-
Sore yang indah, matahari masih memancarkan sinarnya yang hangat, angin bertiup sepoi-sepoi. Namun, tanpa kehadiran Aya dan Alya rumahku terasa sepi. Aya pergi ke Madrasah, Alya di bawa neneknya ke rumah sepupuku. Aku lihat suamiku duduk di teras. Masih khusuk dengan hapenya. Tapi anehnya dia hanya terpaku menatap layar hapenya. Penasaran, aku mengintip dari balik kaca jendela. Ya Allah... ternyata dia sedang memperhatikan foto seorang wanita. Kali ini aku tak dapat menahan diri. Segera aku temui dan duduk di sampingnya. Menyadari kehadiranku dia segera menutup layar hape itu dengan tenang.
"Siapa dia?" Aku bertanya dengan ketus.
"Maksudmu?" Dia pura-pura tidak mengerti.
"Aku melihatnya, jadi tak usah mengelak. Katakan!" Aku semakin gusar melihat wajahnya yang seolah tak berdosa.
"Lily, teman kantorku." Dia memjawab datar
"Teman??" Nada suaraku semakin meninggi.
"Ya." Dia masih bisa menjawab dengan santai.
"Sejak kapan kamu berteman? Sejak kapan kamu menyimpan fotonya?"
"Dia hanya teman." Masih dengan gaya yang sama. Santai dan merasa tak berdosa.
"Oya? Teman? Memangnya ada berapa teman perempuan yang kamu simpan fotonya? Kau pikir aku tidak tahu selama dua minggu terakhir tiap malam kamu kemana?" Emosiku semakin tak terkendali. "Mas, lihat aku. Jelaskan semuanya. Kau anggap aku ini apa? Aku..."
"Aku mencintainya." Dia menyela saat aku sedang meluapkan emosiku. Seketika aku terdiam. Pengakuannya membuat rasa sesak di dadaku semakin sakit. Dia mengatakannya tanpa ada ragu sedikitpun dalam nada suaranya. Tanpa ada rasa berdosa yang terpancar dari rona wajahnya. Tanpa ada rasa iba sedikitpun, tanpa memikirkan hancurnya perasaanku. Dia mengatakannya dengan yakin. Tanpa sedikitpun menoleh kepadaku. Walau airmataku telah menganak sungai dia tetap tak peduli. Dia justru kembali asik dengan hapenya. Cinta. Cinta macam apa yang hadir dengan menyakiti orang-orang di sekelilingnya.
"Bagaimana denganku? Apakah kau tak mencintai aku?" Ditengah pikiran yang kalut, kata-kata itu meluncur begitu saja. Dia hanya menoleh ke arahku, menarik napas dalam-dalam dan membuangnya begitu saja. Tanpa ada sepatah katapun. "Aku sudah tau jawabannya." Aku hapus air mataku dan hendak beranjak dari kursi.
"Maafkan, aku. Rasa ini hadir begitu saja. Ini di luar kendaliku."
Mendengar kata-katanya, aku tak kuasa lagi menahan emosiku. Aku berlari menuju kamar. Aku hempaskan tubuhku ke ranjang, menangis sejadi-jadinya.Menumpahkan semua rasa sesak dalam dadaku. Delapan tahun aku hidup bersamanya. Belum pernah dia mengatakan cinta kepadaku. Dan kini dia menyatakan cintanya untuk orang lain. Bukan untukku. Ya Allah jika dia memang bukan tercipta untukku mengapa Kau satukan kami dalam ikatan suci yang bernama pernikahan? Jika aku bukan tercipta dari tulang rusuknya, mengapa aku yang Kau jadikan ibu dari anak-anaknya? Apakah ini teguran atau ujian bagi rumah tanggaku? Apakah aku harus bertahan atau menyerah? Jika aku bertahan, apa yang harus aku perjuangkan? Jika aku menyerah bagaimana nasib anak-anakku?
*****---*******
Hubunganku dengan Mas Pras semakin memanas. Kami tidak bertegur sapa. Walaupun begitu aku berusaha tampak baik-baik saja di depan anak-anak. Seolah tidak ada apa-apa, apalagi di depan para sanak keluarga dan tetangga. Aku masih bersikap seperti biasa begitu pula Mas Pras. Apabila ada teman atau saudara bermain ke rumah aku dan Mas Pras akan bersikap seolah bahwa kami keluarga harmonis. Padahal di balik itu semua ada bara panas yang sedang membakar biduk rumah tanggaku.
Tapi bagaimanapun, diri ini hanya wanita biasa. Punya titik jenuh, ada kalanya juga butuh orang lain untuk berkeluh kesah. Rasanya kepalaku sudah tidak mampu lagi melihat ulah Mas Pras yang sekarang semakin gila. Siang malam hanya berkutat dengan handphone, headset dan laptopnya. Lelah menghadapi semua ini. Akibatnya aku sering uring-uringan. Aya dan Alya menjadi korban pelampiasan kekesalanku. Beruntung, Aya di jemput oleh Ibuku tadi siang untuk berlibur ke rumah adikku yang berada di Yogyakarta selama seminggu.
Sedangkan Alya, sejak hubunganku dengan Mas Pras kurang baik, Alya menjadi rewel. Dia jadi gampang marah dan semakin manja. Alya baru mau tidur jika Mas Pras yang menggendongnya. Begitupun pada malam hari saat dia terbangun. Dia akan memanggil Papa bukan Mama. Ini membuat aku mau tidak mau harus berinteraksi dengan Mas Pras. Hal yang sangat aku benci saat ini. Kalau tidak karena Alya dan Aya mungkin saat ini aku sudah pergi dari rumah.
Seperti malam ini sejak Mas Pras pergi Alya terus-terusan menangis, dia mencari-cari Papanya. Aku mencoba menenangkannya. Berbagai cara dilakukan, tapi hasilnya nihil. Alya terus saja menangis sesenggukan sambil sesekali berteriak-teriak memanggil Papanya. Di tengah kebigungan, aku coba menekan rasa gensi dan ego, demi anak. Aku mencoba menelpon Mas Pras, berkali-kali dan hasilnya sama hanya operator yang terdengar, " Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi."
Sebenarnya aku tahu, saat ini Mas Pras pasti sedang berasik-asik ria telponan dengan wanita itu di kamar belakang Toko Ibu Mertua. Ingin menyusulnya, tapi bagaimana mungkin aku membawa motor dengan menggendong Alya. Jika meminta tolong seseorang untuk menyusul Mas Pras ke toko Ibu, aku takut orang itu tau kelakuan Mas Pras dan itu bisa jadi gosip sekampung. Ah... tidak aku harus menutup rapat masalah ini. Tapi bagaimana dengan gadis tak berdosa di gendonganku ini. Suaranya hampir habis karena menangis.
Akhirnya aku punya ide untuk kirim sms saja. Meskipun sedang menelpon, sms bisa masuk dan ada semacam notifikasi. Bukankah Mas Pras memakai headset? Segera aku ketik pesan singkat untuk memintanya segera pulang dengan alasan Alya. Aku berdoa semoga Mas Pras segera membaca pesan dariku. Harap-harap cemas aku menunggu Mas Pras. Semoga cepat datang. Setelah 10 menit menunggu, Akhirnya dia datang. Segera Alya dia ambil alih. Tidak berapa lama di gendongannya, Alya langsung diam.
"Alya, minum susu dulu ya sayang," ucap Mas Pras pada Alya sambil berupaya menyerahkan Alya kepangkuanku, tapi rupanya Alya tak mau melepaskan pelukannya. Dia tetap bersandar manja dan melingkarkan tangannya di leher Mas Pras.
"Mau minum susu di botol aja? Sama Papa, ya," Alya mengangguk lemah. Aku segera bangkit ke dapur membuatkan susu formula untuk Alya.
Alya meneguk susu itu dengan lahap, sebentar saja sudah habis dan ia terlelap di pangkuan Papanya. Setelah dirasa benar-benar terlelap, Mas Pras memindahkan Alya ke tempat tidur.
"Jika pikiranmu tidak tenang, bagaimana kamu bisa menenangkan anakmu. Ikatan batin antara ibu dan anak itu kuat," Mas Pras mulai bicara lagi padaku setelah beberapa waktu lamanya tidak bicara. Tapi itu bukan hal yang menyenangkan bagiku, justru muak sekali aku mendengar kata-katanya.
"Ha..ha.. oya? Tau juga tentang hal itu?" jawabku sinis atau malah terkesan malah mencibir.
"Maling teriak maling, kau cobalah bercermin dulu, siapa yang menyulut api di rumah ini? Siapa yang membuat rumah ini seperti di neraka? Kau!!!" Aku berkata dengan nada serendah mungkin tapi dengan tekanan yang kuat. Agar ia tahu bahwa betapa sakitnya aku oleh perbuatannya.
"Ha..ha.. Ratih..Ratih kau memang tak pernah berubah. Tetap seperti dulu. Egois." Dia berkata dengan tenang sambil memencet remote televisi memindah-mindahkan chanel.
"Ha????? Aku?"
"Ya, siapa lagi? Siapa yang menginginkan pernikahan ini?" sambungnya lagi masih dengan ekspresi yang sama. Dingin.
"Oh.. jadi kamu menyesal menikah denganku. Bagaimanapun aku adalah ibu dari anak-anakmu. Darah dagingmu. Ingat itu!!!"
"Itulah kau, Ratih. Keras kepala. Percuma bicara denganmu. Bertahun-tahun hidup bersama. Tapi tak pernah mengerti aku." Dia tersenyum dengan menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa maksudnya membuat diri ini semakin muak melihatnya.
"Tak pernah mengerti? Aku harus bagaimana, Mas? Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik. Aku urus rumah ini dengan baik, aku rawat kau dan anak-anakmu hingga tidak kurang satu apapun."
"Ratih, aku tidak hanya butuh istri yang bisa membersihkan rumah, memasak makanan, mencucikan bajuku, mengurus rumahku. Tidak. Kalau cuma seperti itu apa bedanya kamu dengan asisten rumah tangga. Aku butuh istri yang bisa menjadi teman saat aku gembira dan bisa menjadi sahabat saat aku terluka."
"Hallah... itu kan bisa-bisanya kamu saja mencari alasan. Agar saya maklum kamu jalan dengan perempuan murahan itu"
"Jangan sebut dia dengan kata-kata murahan. Lily tidak seperti itu."
"Lalu, apa namanya bagi perempuan yang merusak rumah tangga orang lain. Apa tidak pantas kalau di sebut Pela..." aku tidak meneruskan kata-kataku ketika sadar Mas Pras sudah berdiri dengan wajah memerah menahan amarah dan tangan terangkat bersiap akan menamparku.
Hatiku benar-benar sakit melihat reaksi dari Mas Pras. Dia benar-benar tidak terima wanitanya disebut murahan olehku. Dia menatapku tajam, dadanya naik turun karena menahan emosi yang memuncak. Aku sudah tak bisa membendung air mataku. Perlahan dia menarik tangannya yang terangkat. Dan pergi ke kamar Alya meninggalkan aku sendiri di ruang tengah.
Aku terisak mengingat kejadian tadi. Kata-kata Mas Pras benar-benar melukai hatiku. Tak kusangka sedalam itu rasa cintanya untuk wanita itu. Aku benci. Aku harus menemuinya dan melabrak wanita sialan pengganggu rumah tanggaku. Ya, aku tidak boleh kalah.
*********-**********
Semalaman aku tak bisa tidur. Kata-kata Mas Pras terus terngiang-ngiang di telingaku.
"... Aku butuh istri yang bisa menjadi teman saat aku gembira dan menjadi sahabat saat aku terluka... "
"...Apa bedanya kamu dengan asisten rumah tangga...."
Ya Allah benarkah selama ini aku hanya dianggap sebagai asisten rumah tangga? Aku begitu mencintai Mas Pras, benarkah masih tak ada sedikitpun rasa cinta padaku?
Selama delapan tahun menikah pertengkaran semalam bisa di bilang adalah pertengkaran kami yang paling menakutkan. Mas Pras tidak pernah berkata kasar dengan nada tinggi apalagi sampai mengangkat tangannya untuk memukulku. Wanita itu telah benar-benar mengubah Suamiku menjadi orang lain.
Aku mengenal Mas Pras jauh sebelum aku menikah. Mas Pras orang yang berwatak halus. Dia orang yang taat. Selalu sholat tepat waktu di masjid, kecuali ada sesuatu yang tidak memungkinkan dia untuk pergi ke Masjid baru dia sholat di rumah. Dia orang yang patuh dengan orang tuanya. Saat Ayahnya menjodohkannya denganku, dia diam saja walaupun sebenarnya hatinya berontak. Dia minta tolong kepada Ibu dan saudara-saudaranya untuk membatalkan perjodohan itu. Tapi, Ayah mertuaku orang yang keras kepala dia tetap melanjutkan perjodohan itu. Apalagi saat aku meminta segera dinikahkan beliau segera mengiyakan. Mas Pras sejak masih muda tidak suka neko-neko apalagi jelalatan. Tidak, dia bukan seperti itu. Makanya saat aku tau dia punya wanita idaman lain, aku yakin wanita itulah yang menggodanya duluan.
-*-
Pagi ini aku melakukan aksi mogok tidak melakukan pekerjaan rumah. Tidak memasak, mencuci, tidak beres-beres rumah dan tidak menyiapkan keperluan Mas Pras untuk ke kantor. Agar ia tau bedanya istri dengan asisten rumah tangga. Aku tersenyum sinis saat dia mencari kaos kakinya, aku biarkan dia mengacak-acak isi lemari untuk mencari sapu tangan. Dia bersungut-sungut saat tak menemukan apapun di meja makan. Ha..ha.. Puas aku melihat ekspresinya.
Sejak pagi sebenarnya aku tidak berdiam diri aku menyusun strategi untuk melabrak perempuan sialan itu. Aku sudah menyiapkan berbagai keperluan Alya nanti, mulai dari baju ganti, popok, bubur, susu, sampai kereta dorong. Menyadari itu Mas Pras tampak penasaran.
"Mau di bawa kemana Alya?" tanyanya sinis.
"Ke rumah Nina. Sumpek di rumah." Nina adalah sahabatku sejak masih sekolah. Rencananya aku akan mengajak Nina untuk melabrak perempuan bernama... Ah, menyebut namanya saja aku tak sudi. "Aku antar," ucapanya ketus.
"Ga perlu," jawabku tak kalah sinis.
"Alya aku antar. Kamu terserah." Dia langsung memasukkan perlengkapan Alya ke bagasi mobil. Mengambil Alya dari gendonganku dengan kasar, Alya menangis. Mau tidak mau aku juga ikut masuk mobil. Sesampainya di rumah Nina dia menurunkan perlengkapan Alya dan meneruskan perjalanannya ke kantor setelah mencium Alya tanpa berpamitan padaku.
Rumah Nina tampak sepi. Mungkin suaminya juga sudah berangkat bekerja. Aku memencet bel. Asisten rumah tangga Nina membukakan pintu, Dan mempersilahkan aku masuk.
"Hai, Ra apa kabar? Tumben datang ga telpon dulu?" Dia menyapaku ramah tak lupa dengan pelukan hangat yang biasa kami lakukan jika lama tak berjumpa, kemudian ia beralih menyapa Alya. "Halo cantik, mana Mbak sayang? Ga ikut juga?" Dia tampak sangat senang dengan kehadiran kami. Dia langsung mengambil Alya dari kereta dorong. Aku menghela napas tak segera menjawab pertanyaannya. Pikiranku masih kalut. Rupanya Nina dapat merasakan kerisauanku.
" Ada masalah?"
"Sedikit," jawabku pendek, "kamu ada acara ga hari ini?"
"Ehm.... ga sih." jawab Nina pendek, sambil bermain-main dengan Alya
" Temenin aku ya?"
"Mau kemana?" Dia masih asyik bermain-main dengan Alya.
"Ke kantor Mas Pras,'' aku langsung fokus pada tujuan awalku datang kemari.
"Lo, ngapain?" Dia nampak kebingungan, meletakkan Alya pada kereta dorong bayi, kemudian duduk di hadapanku.
"Aku mau melabrak selingkuhan Mas Pras." ucapku tegas tanpa ragu.
"Apa? Ha..ha... Pras selingkuh? Ha..ha.. Ga mungkin," tawa nina pecah saat itu juga.
Tidak hanya Nina, pasti orang lain pun tidak akan percaya jika dia mengenal Mas Pras.
"Nina aku serius," melihat wajahku yang serius Nina menghentikan tawanya
"Serius??? Pras selingkuh?" matanya membulat, seolah masih tak percaya dengan kata-kataku.
"Nina... serius!"
"Masa' sih, Pras, orang yang alim itu bisa selingkuh?" Nina bicara pada dirinya sendiri sambil menggaruk kepala yang aku yakin tidak gatal. "Coba ceritain, deh. Mengapa kamu bisa menyimpulkan bahwa Pras punya wanita idaman lain." lanjutnya sambil mendekatkan kursinya padaku.
Aku mulai menceritakan awal mula permasalahanku dengan Mas Pras. Mulai dengan hape baru, kebiasaannya yang suka menyendiri, hingga pertengkaran semalam. Nina mendengarkan ceritaku dengan antusias, tidak menyela. Hanya sesekali dia manggut-manggut, kadang terlihat kebingungan dengan mengernyitkan dahinya, kadang dia tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
"Begitulah Nin, aku bingung harus gimana. Di sisi lain aku sudah tidak tahan dengan kelakuan Mas Pras. Dia sudah mengkhianati kepercayaanku. Tapi di sisi lain aku juga tidak mau berpisah, kalau aku berpisah bagaimana nasib anak-anakku nanti. Bagaimana omongan orang terhadapku. Aku tidak mau jadi janda, Nin, " aku mengakhiri ceritaku dengan deraian air mata. Nina menghela napas, lalu memelukku.
"Aku turut prihatin atas apa yang menimpa keluargamu, Ratih. Sabar, ya."
"Lalu aku harus bagaimana, Nin?" tanyaku pada Nina sambil melepaskan pelukannya. Nina memberiku selembar tisu untuk.menghapus air mataku. Dia menghela napas sekali lagi. "Kau tau siapa perempuan itu?"
"Namanya Lily, Mas Pras bilang ia teman kantornya."
"Kamu tau dia seperti apa?" Nina mulai penasaran dengan perempuan itu seperti apa
Aku menggeleng, "Makanya aku ingin menemuinya, aku ingin melabraknya. Perempuan penggoda seperti dia harus diberi pelajaran. Akan kupermalukan dia di kantornya," ucapku berapi-api. Rasa cemburu sudah membakar akal sehatku. Nina tertawa mendengar ucapanku.
" Apa? Mau melabraknya?"
"Iyalah, dia mengganggu suamiku. Ayah dari anak-anakku. Membuat rumahku seperti di neraka. Apa tidak boleh aku memberi pelajaran padanya?"
"Jangan. Gak usah," aku cukup terkejut mendengar jawaban Nina
"Kok gitu? Emang kenapa?" tanyaku keheranan melihat reaksinya yang ternyata diluar dugaanku. Aku pikir Nina akan mendukung langkahku, karena dia sahabat yang paling mengerti aku.
"Janganlah. Ga usah main labrak kayak gitu. Iya kalau bener mereka ada hubungan. Kalau enggak gimana?"
"Kenapa sih, kamu malah membela perempuan sialan itu. Aneh." Aku mulai emosi.
" Aku ga membela dia. Cuma cara kamu itu norak. Kampungan." Aku terhenyak mendengar kata-kata Nina. Norak? Kampungan? Bisa-bisanya Nina berkata seperti itu. Mungkin karena dia tidak ada di posisiku. Dia tidak tau sakitnya dikhianati. Atau jangan-jangan selama ini dia sudah tahu bahwa Mas Pras punya wanita idaman lain. Atau malahan Nina kenal dengan perempuan itu?
***★***
Aku mendengus kesal, tak dapat menyembunyikan raut kekecewaan mendengar pendapat Nina.
" Kekerasan ga akan menyelesaikan masalah. Kamu pikir deh, Ratih, dengan kamu melabrak dia, mempermalukan dia, justru itu malah mempermalukan diri kamu sendiri. Apa kata orang, ' O pantes Pak Pras selingkuh la wong istrinya kayak gitu'. Justru mereka maklum. Bukannya simpati sama kamu. Sama juga kamu memantaskan diri kamu sendiri untuk ditinggalkan oleh Pras." Nina berucap dengan mimik muka yang serius. Sedangkan aku berusaha mencerna kalimat-perkalimat apa yang dikatakan Nina.
"Lagi pula apa bener Pras selingkuh sama dia? Belum ada bukti, kan. Yang kamu tau Pras cinta sama dia. Dia?? Belum tentu. Pras hanya gila di telpon kan? Dia masih pulang tepat waktu. Masih di rumah." lanjut Nina.
"Tapi dia ga peduli sama aku Nin... " aku mencoba membela diriku.
"Bukannya dari dulu emang begitu. Kenapa kamu baru mempermasalahkannya sekarang? Kenapa ga dari dulu-dulu?" pertanyaan Nina membungkam mulutku. Benar kata Nina, kenapa baru sekarang aku mempermasalahkan sikap Mas Pras yang dingin padaku. Apa karena ada Lily aku merasa posisiku terancam? Atau karena tidak ada lagi ayah mertua yang akan selalu menjadi garda andalanku. Atau mungkin karena dua-duanya.
"Aku tau cerita kamu sama Pras dari awal. Kenapa kamu ga coba merebut hati Pras dari dulu. Kenapa baru sekarang kamu heboh. Aku udah ingetin kamu dari dulu, kan, untuk berusaha mengambil hatinya Pras. Tapi apa? Kamu bilang gengsilah, ga pentinglah, apa lah. Udah tau Pras menikah denganmu karena menuruti kehendak orang tuanya. Kamu kan yang cinta setengah mati sama dia. Gimana dia bisa cinta dan sayang sama kamu, jika kamu sendiri ga berusaha menumbuhkan cinta itu."
Aku tidak menjawab kata-kata Nina. Dalam hati aku membenarkan ucapan Nina. Selama ini aku terlena dengan statusku sebagai istri sah Mas Pras. Aku merasa selalu aman katena mertuaku selalu mendukungku. Dan aku merasa kuat karena telah hadir dua gadia kecil di tengah-tengah kami.
"Herannya aku sama kamu lagi, ya, kok bisa pake acara gengsi segala. Itu cinta apa ambisi sih. Karena ambisi kamu untuk menjadi istri Pras sudah tercapai, jadi kamu acuh pada apapun yang Pras butuhkan. Dia butuh teman, dia butuh sahabat, dia sudah bilang itu kan? Jika kamu sebagai istrinya tidak bisa menjadi sahabat, wajar bukan, dia cari sahabat lain di luar? Itu kalau sahabat kalau keterusan sama yang lain-lain gimana coba? Pras itu ganteng lo, baik, ekonomi mapan banyak wanita di luaran sana yang siap menggantikan posisi kamu sekarang." kali ini ucapan Nina menghujam ulu hatiku. Ambisi? Benarkah aku hanya berambisi memiliki Mas Pras? Bukan cinta tapi ambisi.
" Ratih, cobalah buang segala ego dan pikiran negatif itu. Buang jauh-jauh, jadilah sahabat untuknya. Demi anak-anak kamu. Pras itu orang yang baik, akan mudah bagi kamu mengambil hatinya. Kamu tiap hari bersama, ada anak-anak diantara kalian, juga ada restu orang tua dan Tuhan. Percayalah semua akan baik-baik saja. Kuncinya adalah kamu mengalah dan mau berubah."
"Tapi Nin, aku penasaran sama Lily. Seperti apa sih perempuan yang membuat Mas Pras jatuh hati?"
"Aku juga, penasaran kita harus temui dia. Tapi nanti, ganti dulu gamis kamu yang sudah usang ini. Malu-maluin aja, mau ke kantor Pras pake baju ginian. Ih... ogah aku jalan bareng sama kamu." tawa kami pecah, ketika Nina menunjukkan ada yang bolong pada gamis yang kupakai, pas pada jahitan bagian pinggang.
-*-
Pertemuanku dengan Nina hari ini benar-benar membuka mataku. Aku mengurungkan niatku untuk pergi ke kantor Mas Pras. Benar kata Nina aku harus berubah, harus memperbaiki diri menjadi lebih baik. Aku istri Mas Pras yang sah secara hukum dan agama. Tak peduli bagaimana awalnya cerita kami. Ada beribu-ribu hari yang kami lalui bersama. Mengapa aku tak bisa menumbuhkan rasa cinta di hati Mas Pras. Betapa bodohnya aku.
****★******
Aku harus berubah. Kata-kata itu terus aku ucapkan berulang-ulang agar tertanam kuat di alam bawah sadarku. Kali ini harus kutekan rasa ego dan gengsiku. Tidak ada yang dapat menyelamatkan keluargaku kecuali aku. Demi Aya dan Alya. Seperti pesan Nina sebelum aku pulang diantar oleh sopir pribadinya.
"Ingat ya, kamu harus sebisa mungkin mengalihkan perhatian Pras dari hapenya."
"Caranya?"
"Ya ampun masa' gitu aja mesti diajarin, sih."
"Pake dong otak kamu, bisa pakai Alya atau Aya kan?"
"Ehm... oke."
"Trus satu lagi, ga boleh gampang emosi. Jangan hadapi Pras dengan emosi. Sesabar-sabarnya pria, emosinya akan semakin ngelunjak jika kita lawan secara frontal. Jadi kalau kamu tidak bisa mengendalikan emosi kamu, mending istigfar atau menjauh dari dia. Ok. Kalau pengen curhat telepon aku aja, ya. Kamu ga perlu ke sini, kalau aku ga sibuk aku ke rumah kamu deh, kasian Alya."
Beruntung aku memiliki sahabat seperti Nina, dia selalu ada di saat aku membutuhkannya.
-*-
Aya sudah pulang dari Yogyakarta. Liburan sekolah Aya tinggal dua hari lagi. Untuk sementara Mas Pras lumayan banyak menghabiskan waktunya bersama Aya. Mungkin dia kangen pada putri sulungnya setelah terpisah satu minggu lamanya. Ini kesempatanku untuk menyelamatkan biduk rumah tanggaku. .
Sore ini terasa sangat panas, karena memang musim kemarau panjang sedang melanda desa kami. Kulihat Aya sedang berceloteh riang tentang liburannya ke Yogyakarta, sedangkan Mas Pras memperhatikannya dengan antusias.
"Taklukkan laki-laki lewat perut," tiba-tiba saja aku ingat pesan ibuku. Kenapa tidak, aku segera menuju dapur membuat jus alpukat kesukaan Mas Pras dan Aya. Dengan sedikit hiasan susu coklat aku suguhkan jus alpukat buatanku dan kali ini aku tak langsung pergi begitu saja seperti kebiasaanku yang sudah-sudah ketika menyuguhkan makanan. Aku duduk di samping Mas Pras dengan tak lupa memasang wajah manis. Aya langsung menyambar gelas jus alpukat itu.
"Gimana, enak?" tanyaku pada Aya.
"Hmm... enak banget, Papa coba deh. Beneran enak lo Pah. Seger." mimik muka Aya menggoda Mas Pras untuk mencoba jus alpukat buatanku, ia mengangkat gelas dengan ragu. Kemudian menyeruput jus itu dengan sedotan yang tersedia. Aku menunggu komentar dari Mas Pras.
"Gimana, Mas?"
"Lumayan." Ucapnya sambil mengangkat sebelah alisnya. Aku tersenyum genit padanya. Dia terlihat sedikit keheranan melihat sikapku.
"Kalau gitu sekarang Mama mau buat puding semangka."
"Horeee, Aya suka, Ma. Ayo cepat, Ma. Aya sudah lama ga makan puding buatan Mama."
Aku segera melangkah ke dapur tapi, kusempatkan mengintip aktivitas Mas Pras dari balik pintu. Dia mulai mengotak-atik hape lagi. Aku harus putar otak bagaimana caranya agar dia lupa dengan hapenya itu. Aku punya ide...
" Mas... Mas.. sini deh," aku memanggil Mas Pras untuk ke dapur
"Iya." jawabnya dari luar, ia datang dengan wajah bertanya-tanya. "Ada apa sih?"
"Bantuin?" Aku memasang wajah manja.
"Bantuin apa?" tanyanya lagi.
"Cariin resep puding semangka, aku lupa. Pliss." aku bergaya memelas tak lupa memasang senyum manis sembari menangkupkan kedua tanganku bergaya memohon. Dia tersenyum tipis. Dan hatiku rasanya ingin melompat keluar melihat senyum manisnya itu. Dia mulai mengotak-atik hapenya kembali, sebentar kemudian,
"Nih, baca" ucapnya sambil menyodorkan hapenya kepadaku.
Aku cemberut manja, "Mana bisa baca sambil masak. Ga konsen, bacain dong," pintaku padanya.
Dia membaca resep yang tertera di hapenya masih dengan ekspresi yang sama. Cuek. Tapi minimal aku sudah mulai berinteraksi dengannya. Dan ada respon positif. Ditengah keasyikanku memasak bersama Mas Pras. Alya terbangun dari tidurnya. Seperti biasa dia menangis mau minum susu. Aku membuatkannya susu formula dan meminta tolong pada Mas Pras untuk membawanya jalan-jalan. Agar aku bisa melanjutkan memasak puding.
Dan sepertinya ideku sukses. Mas Pras lupa dengan hapenya. Dia meninggalkannya di dapur Tapi sayang hape itu terkunci dengan sandi. Aku tak bisa membukanya. Hufttt... sudahlah. Yang penting langkah pertama sukses. Tapi tiba-tiba ada panggilan masuk. Nomor tidak dikenal. Ragu, antara menerima atau membiarkan telepon masuk itu. Akhirnya aku terima juga.
" Halo, Assalamualaikum." aku mengangkat telepon dan menunggu jawaban dari seberang.
"Halo, dengan siapa ya?" belum ada jawaban juga.
"Halo...." masih tidak ada jawaban dan sambungan terputus. Tapi sebentar kemudian ada telepon masuk lagi. Dari nomor yang sama. Hatiku mulai tak enak. Jangan-jangan, perempuan itu. Aku tak mau menduga-duga lansung aku terima lagi.
"Halo, Assalamualaikum"
"Wa... waalaikumsalam," suara perempuan terdengar di seberang. "Mas Pras ada?"
"Dari siapa ya?" aku tak langsung menjawab pertanyaan wanita penelpon di seberang. Justru aku jawab pertanyaannya dengan pertanyaanku.
"Lily," deegghh... seperti ada pukulan keras yang menghantam tepat di jantungku. Sakit.
"Oh, Mbak Lily. Teman kantor Mas Pras, ya?" aku berusaha membuat nada bicaraku terdengar senormal dan seramah mungkin.
"Iya, Bu. Bisa bicara dengan Mas Pras?" padaku ia panggil ibu, tapi dengan Mas Pras, dia juga panggil Mas.
"Oh, Pak Pras nya sedang jalan-jalan sama anak-anak. Mungkin ada pesan?" Aku mengubah panggilanku dari Mas Pras menjadi Pak Pras, untuk mengajari wanita bernama Lily itu supaya bersikap lebih formal pada suamiku. Tidak usah sok akrab meskipun kenyataannya mungkin mereka lebih akrab dari yang kutahu.
"Ehm... enggak ada. Bilang aja saya telepon," suara wanita di seberang terdengar gugup.
"Oh baiklah nanti saya sampaikan." Aku berusaha menekan emosiku yang mulai tersulut. Walau mungkin jika wanita ada di hadapanku sudah aku cakar-cakar mukanya. Aku jambak rambutnya. Oh, tidak-tidak. Astagfirullah... Telepon terputus. Ingin rasanya aku banting hape ini. Benar-benar jadi penyakit. Tapi tidak, ingat kata Nina, "Istigfar Ratih, Istigfar."
***----****
Mas Pras datang bersama Alya dan Aya. Dia langsung mencari keberadaan hape kesayangannya itu. "Ada telepon?" tanyanya padaku.
"He em," ku jawab pendek saja, karena jika tidak pasti mulutku ini akan ngomel tak terkendali. Bisa-bisa aku berantem lagi. Aku terus beristigfar dalam hati, berusaha bersabar, sebisa mungkin menghindari perdebatan sekecil apapun di depan anak-anak.
"Siapa?"
"Lily." Mas Pras mengernyitkan dahi. Mungkin dia heran melihat reaksiku yang seolah tidak terjadi apa-apa, tidak seperti biasanya.
"Ngomong apa kamu sama dia?"
"Nggak ada,"
"Masa' "
"Iya, tanya saja padanya." Jawabku pura-pura acuh. Padahal darahku sudah mendidih sampai ke ubun-ubun rasanya. Astagfirullah. Aku segera pergi menjauh darinya, takut diri ini tak bisa mengontrol emosi. Aku lihat dia sibuk lagi berkutat dengan hapenya.
Aku segera menelpon Nina. Tidak mampu rasanya menyimpan luka ini sendirian. Sesak melihat Mas Pras lebih peduli kepada orang lain dibandingkan padaku, istrinya.
"Assalamualaikum, Ra?"
"Waalaikum salam, Nina tadi..." aku menggantung kalimatku, celingukan kanan kiri sebelum mulai bercerita. Takut tiba-tiba ada orang lain dan mendengar pembicaraanku.
" Iya, tadi kenapa?" Nina terdengar penasaran.
"Wanita itu telepon ke hapenya Mas Pras, aku angkat."
"Lalu?"
"Sesuai dengan saran kamu, aku bersikap biasa aja. Tapi Nin, aku ga kuat rasanya sakit. "
"Aku tahu, Ratih. Pasti sakit. Tapi inilah, kesabaran kamu diuji. Orang yang diuji hanya orang yang akan naik kelas, naik tingkatan. Percaya deh. Jangan putus asa."
"Anggap saja suamimu sedang sakit. Dan kau adalah obat sekaligus dokternya. Kamu harus sabar merawatnya. Ketika dia sembuh nanti, dia akan sadar kalau kau adalah yang terbaik untuknya. Kamu harus bersikap lebih agresif lagi. Lebih manja, dan lebih perhatian."
" Caranya?"
" Ya ampun, nanya lagi. Ya kalau dia pergi agak lama, telepon dia atau sms, tanyain ada dimana? Deket-deket dia, manja-manja gitu. Tanyain dia besok mau makan apa? Hari ini acaranya kemana aja. Siapin kesukaannya. Ya pokoknya gitu-gitu deh." Seperti biasa Nina memberi saran panjang lebar, yang saat ini terdengar seperti ceramah ustadz bagiku.
" Tapi Nin..." belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Nina sudah memotong dan nyerocos lagi.
"Masih kesel sama dia? Malu? Gengsi? Coba deh, kamu bayangin lebih malu mana kamu jadi janda atau kamu deket-deket, manja-manja sama dia. Apa susahnya coba. Kamu istrinya, udah Halal dapat pahala lagi plus bonusnya suami makin cinta." Kupikir memang ada benarnya ucapan Nina, apa salahnya aku bermanja-manja sama Mas Pras. Toh dia suamiku.
"Mesti gitu, ya?"
" Harus. Biasanya, ya laki-laki itu suka dengan wanita yang manja. Karena mereka merasa dibutuhkan sama pasangannya. Terus mereka juga senang diperhatikan. Manusia mana sih, yang ga suka di perhatikan. Coba deh, kasih perhatian ekstra. Eh, udah dulu ya. Nanti disambung lagi. Ada tamu kayaknya. Assalamualaikum." Nina menutup telponnya.
-*-
Selama beberapa hari ini aku bersikap biasa saja sesuai dengan saran Nina, menyiapkan kesukaannya, bermanja-manja meskipun awalnya agak canggung karena aku bukan tipe orang yang manja. Mendekatinya ketika dia sedang sendiri, menceritakan hal-hal kecil yang terjadi di rumah terutama perkembangan Alya. Awalnya dia acuh tak acuh dengan ceritaku, tapi makin kesini rupanya dia mulai memberi respon. Setiap dia pulang kerja dia akan duduk di teras atau di depan tivi bersamaku sekadar buat ngobrol walaupun hanya sebentar, tapi bagiku ini adalah perkembangan yang luar biasa. Kebiasaannya dengan Lily? Masih.
Alya terbangun tengah malam. Memang agak rewel dia akhir-akhir ini, mungkin efek dari jatuh bangun karena belajar berdiri. Badannya agak demam, jadinya dia tidak mau tidur di kasur. Dia maunya tidur kalau di gendong, dan sudah selarut ini Mas Pras belum pulang. Aku coba sms dia.
'Mas, ada dimana? Kok belum pulang?'
Sebentar kemudian dia datang. "Hmmm.... Mas Alya dari tadi rewel. Mas ga ada? Capek aku," aku mengeluh kesal padanya supaya ia tahu aku juga membutuhkan kehadirannya. Tidak hanya wanita itu.
"Kenapa baru sms?" tanyanya, bagiku malah terkesan menyalahkan.
"Emang harus disms dulu ya baru mau pulang?"
"Ya udah, sini aku gantiin gendong Alyanya."
Mas Pras selalu berhasil menenangkan anak-anakku saat mereka tantrum atau rewel. Makanya aku merasa sangat kebingungan saat tidak ada dia, apalagi saat Alya lagi rewel. Setelah Alya tertidur pulas, Mas Pras tidak juga tidur, padahal ini sudah sangat larut. Tapi dia masih lanjut otak-atik hape. "Apa perempuan itu tidak ada kerjaan lain? Padahal esok harinya dia harus kerja," pikirku dalam hati.
"Ehm.... Capek," ucapku sambil merebahkan kepalaku di pangkuannya. Mas Pras terlihat sedikit terkejut. Mungkin merasa canggung karena tak biasa. Aku bangun dan menyandarkan kepalaku dibahunya. Dia menghentikan aktivitas dengan hapenya.
"Ehm, Mas aku boleh tanya sesuatu?"
"Apa?" Aku menarik kepalaku dari bahunya dan menatapnya lekat.
"Seberapa besar rasa cinta Mas kepada Lily?" Dia terdiam, mungkin tidak menduga arah pertanyaanku. Dia menghela napas dalam-dalam.
"Aku tak tau perasaan ini apa? Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Tak pernah serindu dan segila ini. Aku sadari semua ini Ratih. Ini pasti menyakitimu. Aku selalu ingin berada di dekatnya, dan selalu melindunginya. Ratih, Maafkan aku." Mas Pras meremas rambut dan mengusap wajahnya.
"Sejauh apa hubunganmu dengannya, Mas?" Aku belum mengalihkan pandanganku darinya
"Sumpah demi Allah, aku tak pernah menyentuhnya."
"Apakah sumpahmu masih bisa ku percaya?"
"Itu semua terserah padamu Ratih"
"Kalau aku minta kamu memilih antara aku dan dia? Kamu pilih siapa?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku, entah kekuatan apa yang membuat aku berani mengajukan pertanyaan hidup dan mati ini bagi keluargaku. Dia menggeleng lemah.
"Aku ga bisa. Aku ga bisa pilih antara kalian berdua." Ucapnya lemah.
"Harus. Aku atau dia?" tanyaku dengan nada setengah mengancam.
"Dia hatiku dan kau ibu dari anak-anakku. Hidupku tak kan lengkap tanpa salah satu dari kalian. Lily adalah gairah hidupku dan anak-anak adalah semangat hidupku." "Egois." Nampaknya aku terbawa situasi, aku lupakan pesan Nina, "Aku atau dia?" Aku mengulang pertanyaanku dengan nada yang lebih tegas.
"Ijinkan aku menikahinya."
Kalimat terakhirnya membuat duniaku runtuh seketika. Suamiku meminta ijin untuk menikah lagi. Air mataku yang sekuat tenaga aku tahan akhirnya tumpah juga. Aku tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan. Hatiku sudah hancur berkeping-keping. Aku mungkin bisa berbagi apapun dengan orang lain. Apapun itu. Tapi untuk berbagi suami, membayangkan saja aku tak sanggup. Mungkin berpisah akan lebih baik bagiku. Tapi anak-anakku? Apakah aku bisa sejahat itu memisahkan mereka dari ayah kandungnya? Tapi jika harus bertahan aku tak akan sanggup melihat suamiku berbagi kasih dengan wanita lain.
"Menikahlah dengannya, kalau itu bisa membuatmu bahagia. Aku ikhlas, tapi kembalikan dulu aku ke orang tuaku." Mas Pras terhenyak, kemudian dia menggeleng lemah entah apa maksudnya. Dia menghela napas dan membuangnya dengan kasar, lalu meninggalkan aku sendiri yang terisak di ruang tengah.
***--**-**------*******
Percakapan malam itu telah memberikan pukulan telak bagiku. Walaupun Mas Pras tak pernah berkata dia akan menceraikan aku, setidaknya aku sudah mengerti apa keinginan yang ada di hatinya. Ia ingin bersama wanitanya. Mungkin keinginannya saat ini sama dengan keinginanku saat itu, saat aku sangat ingin menjadi istrinya. Aku bisa mengerti, saat hasrat dalam dada begitu menggebu ingin bersama seseorang yang kita cintai, logika sudah tidak bisa berfungsi lagi. Tapi benarkah itu cinta?
Aku sadar, ini karma yang harus kuterima. Setelah sekian lama, aku tak peduli tentang apa yang dirasakan Mas Pras. Mungkin dia begitu tersiksa hidup bersama orang yang tidak ia cintai, berpura-pura bahagia di hadapan orang lain dan harus bertanggung jawab atas diriku secara lahir batin. Ini waktunya aku harus rela melepaskan statusku sebagai Nyonya Prasetyo Wijadmiko untuk digantikan oleh dia. Dia yang namanya tak sanggup aku sebutkan.
"Assalamualaikum." Suara Aya mebuyarkan lamunanku. Dia baru saja datang dari sekolah, tanpa melepas sepatu dia berlari kebelakang.
"Waalaikumsalam. Aya... lepas dulu dong sepatunya. Cuci kaki dan tangan," ucapku setengah berteriak, tapi percuma, Aya tak peduli dengan teguranku. Ia tetap nyelonong masuk ke arah dapur, mengambil sebotol air dingin di kulkas dan meneguknya dengan nikmat.
"Aya haus, Ma. Panas banget," ucapnya setelah mengusap bibirnya yang basah dengan sebelah tangan. Dia melepaskan tas sekolah di bahunya, duduk di ruang tengah bersamaku sambil melepas kedua sepatu dan kaos kaki putihnya. Aku pura-pura menutup hidungku, " Bau, Sayang. Jangan di lepas di sini, ah." Dia nyengir, kemudian bergegas menuju kamar mandi. Dia datang kembali padaku setelah berganti baju dengan boneka Hello Kitty kesayangannya itu.
"Adek mana, Ma?
"Ikut Tante Hilda, ke rumah Eyang."
"Ooo.." bibirnya membulat membentuk huruf o.
"Mama, Aya bingung deh sama ayah bundanya Tiara?"
"Ngapain bingung sama ayah bundanya Tiara?"
"Tadi kan, Bu Guru ngasih tugas untuk menuliskan silsilah keluarga, terus tiap anak di suruh maju kedepan sama Bu guru. Terus, Pas giliran Tiara maju, Tiara bilang ia punya dua ayah dan dua bunda, Ma."
"Maksudnya gimana, sih? Mama ga ngerti deh?" Aku mengernyitkan dahi dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal tanda tidak mengerti.
"Tiara bilang dia punya Ayah lama dan ayah baru terus dia juga punya bunda lama dan bunda baru. Kata Tiara lagi ya, Ma. Ayah lama tinggal sama bunda baru. Terus bunda lama juga tinggal sama ayah baru. Gitu."
"Ayah bunda Tiara itu sebenarnya yang mana sih?" Aku masih pura-pura tidak mengerti walaupun sebenarnya aku sudah paham apa yang di maksudkan oleh Aya. "Ayah lama dengan bunda lama, dong." Jawabnya tegas. " Mama, apa nanti Aya juga punya Papa sama Mama baru?" tanyanya dengan tatapan polos dari mata bulatnya yang indah.
Pertanyaan Aya terasa menghujam ulu hatiku, membuat udara siang yang panas terasa semakin panas. Sedang aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku harus memutar otakku, untuk mengalihkan perhatian Aya sementara waktu, sebelum aku menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaannya itu.
"Mama... Mama, kok malah diem," aku tersadar dari lamunanku.
"Eh.. enggak kok sayang. Tadi cuma Mama cuma masih mikir," aku berusaha mengulur waktu, mencari sesuatu yang sekiranya dapat membuat Aya lupa pertanyaanya.
" Terus?"
"Mama pikir... kayaknya Mama butuh yang seger-seger, deh. Gimana kalau kita makan puding mangga dulu?"
" Oya, Mama punya puding mangga. Kenapa ga bilang dari tadi. Aya mau Aya mau, Ma." Aya terlihat sangat senang tahu ada puding mangga kesukaannya.
"Sebentar, Mama ambilin dulu ,ya." Aku mencubit pipinya gemas.
Akhirnya aku bisa mengalihkan perhatian Aya. Bagaimana nanti aku bisa menjelaskan tentang arti sebuah perceraian pada anak-anakku. Saat Papa dan Mamanya harus berpisah. Dan ia harus memilih salah satu dari kami. Hatinya pasti akan terluka. Dan luka itu akan dia bawa seumur hidupnya.
Apalagi tentang Papa dan Mama baru yang barusan ia tanyakan. Bagaimana aku bisa menjelaskannya? Ini akan menjadi sesuatu yang sangat rumit bagi anak usia tujuh tahun seperti Aya. Ya Allah... berilah hambamu ketabahan dalam menghadapi ini semua.
-*-
Aku tersungkur di atas hamparan sajadah, tenggelam dalam doa di sepertiga malamku. Mengadukan segala keluh kesah di hati pada Sang Pencipta. Badai pasti berlalu. Ada rencana Tuhan yang indah untukku dan untuk keluargaku. Karena aku yakin semua yang terjadi di alam semesta ini tak akan terjadi tanpa ijin-Nya. Aku masih berharap keluargaku masih bisa diselamatkan, berharap ada mukjizat yang akan membuat hati Mas Pras mencintaiku, walau mungkin semuanya sudah terlambat.
Aku tidak tahu, sudah berapa lama dia memperhatikan aku. Karena khusuk berdoa aku sampai tak menyadari kehadirannya di sampingku. Dia menatapku lembut, kurasakan dadaku berdesir. Dia menghapus air mataku dengan ibu jarinya. Entah apa maksudnya. Apakah dia merasa iba padaku? Atau apakah dia merasa bersalah? Diraihnya kepalaku dalam peluknya. Erat dan hangat. Kurasakan detak jantungnya dan aroma tubuhnya. Ini kali kedua Mas Pras memelukku seperti ini. Yang pertama saat ayahku meninggal secara mendadak karena serangan jantung. Dan yang ini aku tidak tahu alasannya.
"Ratih, maafkan aku," bisiknya di telingaku.
"Aku juga minta maaf, telah membuatmu terjebak dalam pernikahan ini."
"Tidak, Ratih. Tidak, semua ini terjadi karena takdir Tuhan." Kali ini dia memelukku semakin erat.
"Maafkan aku, jika selama ini aku belum bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anakmu." Aku melepaskan pelukannya. Kami bertatapan, lama. Kedua tangannya masih memegang lembut kedua pipiku.
"Mas, sebelum kita berce..." dia meletakkan jari telunjuknya di bibirku bermaksud menghentikan kata-kataku. Tapi aku menepisnya lembut.
"Sebelum kita resmi bercerai, aku ingin bertemu dengan Lily." Mas Pras menggeleng tanda tak setuju.
"Aku mohon..." pintaku setengah berbisik. Mas Pras tertunduk lesu. Aku segera beranjak dan meninggalkan dia. Keputusanku sudah bulat, jika dia tetap ingin menikahi wanitanya, aku yang akan mengalah. Walaupun sebenarnya dalam hati ini sangat tidak ingin berpisah.
******--*******
Pagi ini berjalan seperti biasa, aku menyiapkan keperluan sekolah Aya, mengurus Alya dan menyiapkan sarapan. Mas Pras sedang Mandi , saat aku sedang menyuapi Alya Bubur di depan televisi sambil menonton kartun kesayangannya. Aku lihat hape Mas Pras tergeletak di meja, saat ada panggilan masuk dari Miko, begitu yang tertera di layar telepon itu. Aku terima, belum sempat aku bicara, penelpon di seberang sudah nyerocos dulu, " Mas, cepetan. Aku mau ambil pesenan jilbabku, keburu aku pake ke kantor, nih."
"Jilbab?" tanyaku.
"Eh.. Ehmmm anu, Bu, Mas Pras mana?" suara si penelpon terdengar gugup.
"Mandi." Jawabku pendek, mungkin terkesan sinis.
"Ya sudah, Bu." Sambungan terputus. Aku tersenyum geli setelah menerima telepon tadi. Namanya Miko, suaranya cewek. Nampaknya Mas Pras mulai pintar bermain kucing-kucingan. Dia memberi nama Miko, padahal aku yakin itu tadi Lily, karena aku pernah bicara di telepon sebelumnya. Baiklah kalau begitu, akan aku ikuti permainan ini. Entahlah, mengapa sekarang aku tak merasa sakit hati?
Mas Pras sudah keluar dari kamar mandi, Sambil memasang dasi di depan cermin dia bertanya padaku.
"Bicara sama siapa?"
"Miko." Mas Pras yang tadinya santai menjadi salah tingkah.
"Mas, cepetan. Aku mau ambil pesenan jilbabku, keburu aku pake ke kantor, nih." Aku bicara menirukan nada Miko di telepon. Mas Pras tidak berkata apa-apa. Dia hanya bergaya sok sibuk dengan dasinya yang dari tadi tidak selesai-selesai dan pura-pura tidak mendengarku.
Aku mencolek lengannya dengan tengil, "Sejak kapan Miko pake jilbab? Ha..ha.." Lagi-lagi dia tak menjawab. Dia hanya mendengus kesal. Kemudian pergi meninggalkanku yang terkekeh, melihat raut wajahnya yang menurutku lucu.
Mas Pras berangkat dengan tergesa, tak sempat sarapan, Ada tugas mendesak katanya. Tugas dari Lily. Eh, bukan dari Miko, mungkin. Aku khawatir jika ia tidak sarapan, Mas Pras punya penyakit maag yang parah. Jadi aku rencanakan untuk menyusulnya ke kantor, membawakannya makanan.
------
Aku memacu motorku dengan kecepatan sedang, sengaja aku berangkat ke kantor Mas Pras tiga puluh menit lebih awal sebelum jam istirahat, agar sampai di sana tepat waktu. Namun sial, ban motorku kempes. Aku harus mencari tambal ban terlebih dahulu, sebelum melanjutkan perjalanan. Sampai di sana mobil Mas Pras aku lihat sudah tidak ada. Aku masuk melalui pintu nasabah tidak melalui pintu samping yang diperuntukkan khusus untuk pegawai bank.
"Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam itu ramah sambil membukakan pintu. Aku hanya tersenyum tidak segera menjawab sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.
"Ibu mau setor atau mau menarik uang?" tanyanya lagi. Saya menggeleng.
"Saya mencari Pak Prasetyo Wijadmiko. Saya istrinya."
"Pak Pras keluar, Bu. Ini ,kan jam makan siang." Jelasnya padaku.
"Makanya saya kemari, kalau jam kantor kan ga boleh, Pak."
"Ibu, telepon Bapak aja, biar cepat pulang"
"Lupa ga bawa hape saya."
" Mari saya antarkan ke ruangan, Bapak."
"Oh, ga usah. Saya mau menunggu di sini saja. Kalau di ruangan bapak, saya sendiri. Bosen. Kalau di sini kan bisa lihat-lihat."
" Baiklah, Ibu silahkan duduk disini." Ucap satpam itu sambil mempersilahkan aku duduk.
Aku duduk di kursi tamu dekat pintu masuk. Kulihat di bagian teller ada dua orang yang kosong dengan tanda sedang istirahat di mejanya. Dan dua orang lagi masih melayani nasabah.
Setengah jam aku menunggu, Mas Pras belum datang juga. Lelah menunggu, aku berpikir hendak pulang saja, khawatir Alya yang aku titipkan di rumah ibu mertua mencariku. Karena aku pikir pasti Mas Pras sudah makan di luar. Ketika aku hendak beranjak dari kursi, kulihat mobil Mas Pras masuk parkiran. Mas Pras keluar dari mobil, tapi tidak sendiri. Dia bersama seorang wanita cantik. Tubuhnya tinggi semampai khas pegawai bank. Dia juga ramping tapi berisi. Kulitnya tidak putih tapi bersih. Dari jauh senyumnya terlihat manis sekali. Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor sambil mengobrol dengan akrab. Saking asyiknya mereka tidak mengetahui kalau aku mengikuti di belakangnya.
"Menurutku, sambalnya kurang pedes, deh." Wanita itu beceloteh dengan riang."
"Ih, kayak gitu kurang pedes. Bibirku aja rasanya jontor karena kepedesan." Ucap Mas Pras menimpali.
"Jangan makan pedes-pedes, Mas. Nanti asam lambungnya naik, lho." Sengaja aku menyela pembicaraan mereka.
Mas Pras dan wanita itu serempak menoleh ke arahku. Mas Pras tampak begitu terkejut, berbeda dengan ekspresi wanita cantik disebelahnya yang tampak bertanya-tanya.Aku melangkah dengan santai dan tak lupa menyunggingkan senyum manis di bibirku.
"Ratih, kamu?" Mas Pras bertanya masih dengan ekspresi kaget.
"Ih.. awas minggir-minggir." Aku melangkah ke arah mereka, dan berdiri tepat di tengah-tengah.
"Sanaan, dikit!" Karena merasa sempit aku meminta Mas untuk bergeser ke belakang agar aku bisa leluasa berbicara dengan wanita itu.
"Kenalin, Ratih. Istri sah Pak Prasetyo," aku mengulurkan tangan pada wanita itu dengan penuh percaya diri tak lupa dengan senyum manis yang kubuat sedemikian rupa agar terkesan sinis. Ragu-ragu dia menyambut uluran tanganku.
"Apriliya Pratidina" ucapnya terbata.
"Udah tau. Tuh, di tanda pengenal sudah tertera.Maksudnya panggilannya siapa?" tanyaku padanya.
"Lily." Jawannya pendek.
Degghhh... wanita ini yang bernama Lily. Akhirnya aku bertemu dengannya. Kuakui Lily memang wanita yang sempurna. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, matanya bulat dengan bulu yang lentik, alisnya melengkung indah seperti ulat bulu. Pantas saja, Mas Pras tertarik padanya.
Sekilas menurutku dia mirip dengan Mas Pras. Banyak orang yang bilang, bila sepasang kekasih wajahnya mirip itu tandanya mereka berjodoh. Apa iya dia berjodoh dengan suamiku? Lalu aku apanya?
"Ratih... Ratih," Mas Pras menyadarkanku dari lamunan. Ternyata tanpa sadar aku meremas tangan Lily terlalu kuat sehingga dia meringis kesakitan. Aku terkekeh kemudian melepaskan tangannya.
"Santai saja." Ucapku pada Mas Pras sambil mengedipkan mata.
"Maaf saya permisi." Pamit Lily sambil berlalu dengan wajah yang cemberut. "Cemberut aja, masih cantik," aku membatin. Aku menyusul dan menjajari langkahnya kemudian menghadang jalannya.
"Eh... kok buru-buru, sih. Padahal saya mau mengucapkan terimakasih, lho. Udah mau menemani suami saya ngobrol tiap malam sampai larut." Ucapku dengan nada bicara sok akrab dan wajah tulus yang kubuat-buat.
"Maaf saya buru-buru." Dia pergi dan kali ini aku tak mencegahnya.
"Apa-apaan sih kamu?" Mas Pras menghampiriku.
"Cuma bilang terima kasih. Salah?" jawabku dengan nada tak berdosa.
"Kamu gila, Ratih." Ucapanya setengah berbisik, tapi aku tau ada kemarahan yang tertahan, terselip dalam kata-kata itu.
"Oh, ya? Untung aku masih sabar, kalau enggak, sudah aku bunuh kalian berdua." Ucapku dengan nada mengancam dan sorot mata yang tajam. Mas Pras bergidik. Aku terkekeh melihatnya.
"By the way. Cantik." Ucapku sambil berlalu meninggalkan Mas Pras yang masih berdiri mematung di koridor.
Aku memberikan makanan yang aku bawa dari rumah kepada Pak Satpam. Panas udara siang ini tak sepanas suasana hatiku. Di balik helm yang aku kenakan air mata ini mengalir deras. Karena tidak konsentrasi menyetir, tiba-tiba.... Braaakkkkkk!!!! Kurasakan tubuhku terhempas. Kepalaku tiba-tiba pusing. Aku tak sanggup menggerakkan badanku. Mataku terasa berat. Dan semuanya gelap.
****-----*****
Aku merasa ada sebuah udara segar yang mengalir masuk melalui sebuah alat ke rongga hidungku. Aroma obat yang kental juga ikut masuk bersamaan dengan aliran udara segar itu. Kepalaku pusing. Aku mencoba membuka mataku. Kabur. Aku mengerjapkan mata agar pandanganku lebih jelas. Kulihat semuanya serba putih. Aku mencoba untuk bangun, Ah... rasanya leherku sakit bila bergerak sedikit saja. Aku merasa pedih di siku tangan sebelah kanan dan lututku. Dan kurasakan nyeri di tanganku, yang ternyata akibat jarum infus.
Aku tak tau sudah berapa lama aku berada di ruangan ini. Aku mencoba mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan dan aku menemukan seseorang di kursi yang tertidur di bibir ranjangku sebelah kiri dengan wajah tenggelam di antara kedua tangannya.
"Dimana aku?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Dan dia terbangun. Dia Mas Pras, suamiku.
"Ratih, kamu sudah sadar?" ada pancaran rasa gembira di guratan wajahnya yang letih. Dia berlari menuju telepon yang berada di meja sebelah tempat tidurku, menekan tombol dengan kasar karena terburu-buru. Tak lama kemudian seorang pria berjas putih dengan berkalung stetoskop datang, diikuti seorang wanita muda dengan pakaian serba putih dan membawa peralatan, entah apa itu di tangannya. Dengan cekatan dokter itu melakukan pemeriksaan kepadaku dibantu oleh wanita muda itu.
"Alhamdulillah, Ibu Ratih sudah melewati masa kritisnya." Ucap pria itu ramah.
"Alhamdulillah." Jawab Mas Pras dengan penuh rasa syukur "Baiklah saya permisi dulu." Pria berjas putih itu berlalu diikuti wanita muda itu.
"Terima kasih, Dokter." Mas Pras mengantar dokter itu sampai ke pintu.
"Sayang, akhirnya kamu sadar juga. Ya Allah, terima kasih, " ucap Mas Pras lembut , yang justru membuat aku risih mendengar ucapannya.
"Aku keluar dulu, ya. Mau telepon sebentar," lanjutnya dengan senyum tipis tersungging di bibirnya. "Sejak kapan mau telepon pamit dulu?" kataku dalam hati. Dari balik kaca jendela aku bisa melihat dia sibuk menelpon beberapa orang. Sebentar kemudian dia masuk dan duduk di tepi ranjang.
"Berapa lama aku di sini?" tanyaku dengan suara parau.
"Kamu mengalami gegar otak karena benturan keras di kepala, beruntung waktu itu kamu pakai helm. Dan tidak sadarkan diri selama dua hari," ucapnya dengan tatapan mata yang sendu. Tiba-tiba pikiranku melayang pada Aya dan Alya. Bagaimana nasib kedua anakku ketika aku tidak sadar. Bagaimana Alya? Dia pasti mencariku. Aku tidak pernah meninggalkan dia selama ini.
"Aya.. Alya," ucapku terbata, namun rupanya Mas Pras mengerti maksud ucapanku.
"Tenang, sayang. Mereka bersama Ibu dan Mama." Ibu adalah panggilan kami untuk ibu Mas Pras, mertuaku. Sedangkan Mama adalah panggilan untuk Ibuku.
Tak lama kemudian Ibu datang, membawakan aku sekeranjang buah apel kesukaanku. Ibu meletakkan keranjang buah itu di meja telepon.
"Alhamdulillah kamu sudah siuman, Nak," sapanya sambil mecium pipiku.
"Aya dan Alya..." belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku ibu sudah menyela, "Sudah jangan banyak bicara, kamu harus istirahat supaya bisa cepat pulang ke rumah. Mereka baik-baik saja. "
Aku menuruti ucapan Ibu untuk tidak banyak bicara. Dalam diam, ingatanku menerawang pada kejadian siang itu. Dan Ah.. adegan saat Mas Pras berjalan beriringan bersama wanita itu, cara dia bicara, cara dia menatap wanitanya tergambar jelas di mataku.
Tiba-tiba ada rasa benci yang amat dahsyat menyeruak dalam hatiku. Aku berpikir, ini semua gara-gara Mas Pras aku jadi harus terbaring lemah menjadi pesakitan. Anak-anakku menjadi terlantar tidak terurus. Seperti ada api yang membakar tubuhku. Dadaku terasa sesak mengingatnya. Kepalaku kembali pusing. Aku menjadi muak melihat wajah Mas Pras.
"Keluar!!!!" Aku berteriak histeris.
"Ratih, kamu kenapa, Nak?" Ibu kaget mendengarku berteriak.
"Suruh dia pergi Ibu. Aku benci. Aku tak mau melihat dia ada di sini!" Teriakku histeris sambil menunjuk ke arah Mas Pras.
"Ratih, ada apa? Ratih ..." Mas Pras bukannya keluar, justru ia datang menghampiriku dengan wajah terheran-heran.
"Pras, sudah! Cepat panggil dokter!" Bentak Ibu kepada Mas Pras.
Pria berjas putih itu datang lagi dan memberikan sebuah suntikan padaku.
"Ibu Ratih baru siuman. Tolong jaga emosinya agar tetap stabil," ucap pria itu kepada Mas Pras dan Ibu. Kemudian pria itu pergi.
Sesaat kemudian, aku merasa tidak bertenaga. Rasanya mengantuk. Dan aku tidak ingat apa-apa lagi.
****-*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar