Senin, 16 Oktober 2017

Cara Mudah Membuat Pizza Tanpa Oven



Biasanya kalau membuat pizza pasti harus menggunakan oven. Disini kita akan bahas cara membuat pizza tanpa oven. Mari kita simak bahan bahan yang harus disediakan.



Bahan adonan tepung

~1/2kg tepung terigu

~1 sendok makan ragi instan(fermipan)

~1 sendok makan gula pasir

~1/4 sendok garam

~3-4 sendok makan minyak

~1/2 sendok makan baking powder

~Air secukupnya



Bahan topping

~10 siung bawang merah

~3-4siung bawang putih

~2 buah sosis

~2biji cabe hijau dan 2 biji cabe merah

~saos tomat secukupnya

~3buah tomat

~keju mozarella

~garam dan penyedap rasa

cara membuat adonan

semua bahan diuleni sampai kalis, kemudian diamkan selama 1 jam atau sampai mengembang.

sambil menunggu adonan mengembang kita siapkan untuk membuat toppingnya.



iris semua bahan seperti bawang merah, bawang putih, cabe merah, cabe hijau, dan tomat. ptong sosis sesuai selera. kemudian tumis semua bahan, tambahkan bumbu, penyedap rasa dan saos tomat.

setelah adonan mengembang, pipihkan adonan ke dalam teflon, panggang selama 2 menit sambil tutup rapat dan balikkan adonan sampai berwarna kemeran dan balik lagi, kemudian baru lumuri dengan topping dan taburi keju mozarella tutup, dan panggang sampai bagian bawah adonan berwarna kemerahan. angkat pizza tuangkan di tempat yang sudah disediakan kemudian ptong potong pizza sesuai selera. dan siap dihidangkan.

Kamis, 12 Oktober 2017

CARAKU MERAWAT CINTA





Aku tidak lagi menggenggam erat sebuah cinta
Tidak pula membiarkannya begitu saja
Tapi aku akan menjaganya
Merawatnya, bahkan akan kusirami
Dengan limpahan kasih sayangku
Dengan rasa yang ikhlas dari dasar hati

Sebuah ketulusan tanpa paksaan
Akan mempertahankan sebuah cinta
Walau berbagai haluan datang mengusik
Bertahan terus bertahan
Walau ada saja penghalangnya

Dengan terus disirami kepercayaan
Maka,
Akan berbuahlah sebuah kebahagian hati yang nyata
Tumbuh subur dalam sanubari
Mekar, bersemi indah dan mengharumkan
Hingga semua dapat mencium wanginya.

*****

Pelangi Di Ujung Senja




**+**★**--**


Sore itu, gerimispun mengundang
Rintikannya menari indah
Aroma tanahpun tercium sedap
Kepada sore yang membawa angin ketenangan,
Menunggu apa yang bisa kau bagi sore ini dan senja
Terpancar cahaya warna warni di ujung senja
Mega merah mulai merona
Menyelimuti sang surya yang mulai terbenam
Dialah pelangi di ujung senja

********

#Celly_Sajak

Rabu, 11 Oktober 2017

Jodoh, Rizki , Dan Anak




Jodoh itu rahasia Illahi, dengan siapapun kita berjodoh maka, terimalah. Sekeras apapun kita menolaknya kalau sudah berjodoh tetap akan bersama. Dan sekuat apapun kita mempertahankannya kalau tidak berjodoh tetap ia akan pergi juga.

Begitupun jua dengan rizki yang sudah ditetapkan, sekeras apapun usaha kita mendapatkan rizki, kalau bukan rizkinya, dia akan pergi juga. Dan kalau sudah menjadi rizkinya sekalipun kita hanya duduk santai dia akan menghampirinya. Contohnya, hanya dengan bermain hape saja dan duduk2 manis, tiba2 ada yang mentransfer uang. Itu adalah rizki. Tapi, ada tapinya, rizki itu datang dengan kita berusaha mengais rizki itu sendiri. Banyak jalan untuk mencari rizki, baik itu berjualan, membanting tulang, berbisnis atau yang lain.

Begitu halnya dengan anak. Kalau Tuhan belum menghendakinya, sekeras apapun usaha kita, berati kita belum diberi kepercayaan untuk itu.

***

Tentang jodoh dan anak,
ia ini saling berkaitan. Yang belum menemukan jodohnya, pasti selalu ditannya. "Kapan nikah?" "Yang mana calonnya?

Gimana sih persaaan kalian ketika mendapat pertanyaan yang menghujam sampai ke ulu hati?

Mungkin pertanyaannya simple dan wajar, tapi apakah kalian tahu, pertanyaan itu, walau kelihatannya wajar dan sah-sah saja, padahal pertanyaannya menusuk-nusuk dan tanpa kita sadari pertanyaan itu telah melukai orang yang kita tanya.

Jawabannya ada pada kalian yang bertanya. "Apakah kalian pernah ditanya tentang kapan menikah?" Itulah jawabannya.

Dan yang ke-2 tentang anak. Pernah kalian mendapat pertanyaan mengenai tentang kapan punya anak. "apa ga mau tah punya anak?"

Disini perlu digaris bawahi. Siapa sih yang ga ingin punya anak. Pasti jawabannya ya maulah. Hanya orang2 yang tak punya masa depan yang tak ingin punya anak. Hanya saja, Tuhan belum mengabulkan apa yang kita inginkan, karena Dia tahu apa yang kita butuhkan, dan apa yang terbaik untuk kita.

Allah selalu punya rencana terindah untuk hamba2nya yang yakin kepada-Nya. Yang menurut kita baik, belum tentu menurut-Nya baik pula. Dibalik rencana-Nya pasti ada hikmah-Nya.

*******

Rindu Terlarang




Rindu,
Menghantam dalam kegelisahan
Mencengkam dalam kesunyian
Rindu yang tak bertepi
Menggelisahkan alam pikiran
Yang terhanyut dalam kerinduan

Ku puisikan sebuah rasa
Yang menghujam ulih hati
Andai dia tahu,
Rindu ini menyesakkan dada
Tapi apalah daya,
Hanya terdiam dalam kebisuan

Ketika cinta yang usang telah berlalu
Apalagi yang diharapkan dari sebuah cinta
Seperti mengaharap hujan di teriknya Mentari.

Terhalang sudah rindu yang selama ini menghujam hati
Rindu yang tak kan pernah bisa terungkapkan
Menjadi rindu dalam hati.

Selasa, 10 Oktober 2017

SUAMIKU BUKAN SUAMIKU (BAB 2)







#Ceritafiksi


Aku terbangun dari tidurku. Pusing di kepalaku terasa mulai berkurang. Selang oksigen telah dilepas. Luka di tangan dan di lututku sudah tak senyeri kemarin. Hanya leher bagian belakang masih terasa sakit bila di gerakkan. Tapi sekarang aku sudah bisa menggerakkan badanku dengan agak leluasa.

Dari balik tirai jendela yang transparan aku dapat melihat cahaya matahari di luar masih remang. Jam dinding menunjukkan pukul lima kurang sepuluh menit. Mas Pras masih tertidur di sofa rumah sakit. Biasanya Mas Pras bangun sebelum subuh. Mungkin ia terlalu letih. Siang hari harus bekerja dan malamnya harus menjagaku. Aku tak tega membangunkannya. Dia tampak semakin kurus dan wajahnya kusam.

Aku bingung dengan perasaanku terhadapnya. Di satu sisi aku sangat mencintainya dan tak pernah ingin berpisah, tapi di sisi lain aku sungguh muak jika ingat pengkhianatan yang sudah dia lakukan. Rasa rindu dan benci yang datang silih berganti, membuat diriku terpasung dalam kebimbangan antara berpisah atau terus bertahan.

Dia menggeliat. Kemudian membuka mata melihat ke arahku. Aku segera mengalihkan pandanganku.

"Sayang, kamu sudah bangun?" tanyanya sambil berjalan ke arahku. Aku melengos tak menjawab. Ada lecutan rasa marah di dadaku mendengar kata sayang darinya.

"Aku mau sholat dulu ke musholla, ya?" aku masih tak menjawab hanya mendengus pelan.

"Ya sudah, aku sholat di sini saja." Aku tak mengerti mengapa dia berubah pikiran. Apa dengusanku tadi terdengar seperti sebuah larangan baginya? Dia berlalu ke kamar mandi. Kemudian berganti sarung dan menghamparkan sajadah di area kosong antara sofa dan ranjangku. Selesai sholat ada seorang perawat datang membawa sebuah bak aluminium tanggung, entah apa isinya.

"Apa itu, Mbak?" tanyaku dengan lirih.

"Air hangat, Bu. Untuk seka." perawat itu menjawab dengan senyum kemudian pergi, setelah meletakkan bak aluminium itu di dekat kaki ranjangku.

Mas Pras mengambil bak aluminium itu dan meletakkan di sampingku. Kemudian dia ke kamar mandi dan keluar dengan membawa sebuah waslap. Aku mengerti apa yang akan dia lakukan. Dia akan menyeka tubuhku. Mas Pras mencelupkan waslap itu kemudian memerasnya, belum sempat tangannya sampai ke wajahku aku mendorong bak aluminium itu dan... Prannngggggg!!!!!! Bak Aluminium jatuh ke bawah. Airnya tumpah dan membasahi sebagian sarung yang Mas Pras kenakan. Dia nampak terkejut dengan apa yang aku lakukan

"Ratih, kau..." ada rasa terkejut dan kesal dari nada bicaranya. Lagi-lagi aku tak menjawab. Hanya membuang muka. Aku merasa tak sudi kulitku di sentuh olehnya. Aku membayangkan setelah menyentuh wanitanya dia menyentuhku. Jijik.

Mas Pras keluar setelah mengganti sarungnya entah kemana. Dia tidak bilang padaku. Mungkin dia kesal. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan petugas kebersihan. Sementara petugas itu bekerja dia duduk di sofa. Melihat hapenya sebentar, kemudian menatapku dengan pandangan yang tidak bisa aku artikan.

Petugas mengepel lantai dan mengganti keset kamar mandi yang basah. Kemudian petugas itu pergi. Mas Pras datang mendekatiku.

"Ratih, kamu marah padaku?" lagi-lagi aku bungkam. Enggan menjawab pertanyaannya. Hanya membuang muka.

"Assalamualaikum." Rupanya ada orang yang datang.

"Waalaikum salam." Mas Pras menjawab salam.

Seorang laki-laki muda berbadan tegap dengan wajah oriental masuk ke ruanganku. Dari seragam dinas dan atribut yang ia kenakan, aku tahu bahwa dia seorang pengajar. Mas Pras menyambut tamu itu dengan ramah.

"Mbak Ratih, kenalkan saya Pandu." Dia memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan kanannya. Aku tersenyum dan mengangguk tak merima uluran tangannya, tapi hanya menangkupkan kedua tanganku di depan dada dengan susah payah. Tampaknya dia mengerti.

"Oh , Maaf," ucapanya sambil menarik uluran tangannya.

"Pak Pandu ini orang yang menabrak kamu." Mas Pras menjelaskan siapa laki-laki yang berdiri si hadapanku ini.

"Silahkan duduk dulu, Pak." Aku mempersilahkan pria bernama Pandu itu untuk duduk di kursi yang ada di dekat ranjang.

"Ini, Mbak. Saya bawakan bubur ayam untuk sarapan. Semoga Mbak Ratih suka," ucap pria itu sambil menyerahkan bungkusan yang dibawanya. Mas Pras menerima bungkusan itu dan meletakkannya di meja dekat telepon.

"Terima kasih, Pak. Malah merepotkan ini," kataku basa-basi.

"Jangan panggil Pak lah. Berasa tua saya. Ha..ha..." ucapnya diiringi tawa padahal bagiku tak ada yang lucu, "panggil saja Pandu," lanjutnya.

"Maaf, Mbak. Karena saya Mbak Ratih harus dirawat seperti ini." Ucap pria berwajah oriental itu penuh penyesalan.

"Ga, kok. Bukan karena itu saja. Ada hal lain yang membuat saya seperti ini." Jawabku sambil melirik tajam ke arah Mas Pras. Namun, dia memasang wajah seolah-olah tak mengerti.

Hape Mas Pras yang tergeletak di meja sofa berdering. Dia segera melihatnya.

"Mas Pandu, saya tinggal dulu," ucapnya sambil memberi isyarat bahwa ia hendak menerima telpon. Mas Pras keluar. Dari balik jendela aku dapat melihat dia duduk di kursi taman yang ada di depan kamarku. Aku berpikir kenapa dia sampai pergi sejauh itu. Seberapa rahasiakah pembicaraannya itu? Aku tidak peduli.

Selama Mas Pras bicara di telepon. Aku mengobrol dengan Pandu. Ternyata dia orang yang lucu. Ingin sekali aku tertawa oleh cerita-cerita konyolnya, tapi jika tertawa leherku masih terasa sakit. Jadi aku hanya tersenyum saja. Dia bercerita kenakalan saat dia kecil dan pengalamannya sebagai orang tua tunggal karena istrinya meninggal saat melahirkan anak pertamanya.

Aku mendengarkan cerita Pandu dengan santai sambil menikmati bubur ayam yang dia bawa. Karena makan sambil mendengarkan cerita, tidak terasa aku hampir menghabiskan satu porsi bubur ayam itu. Padahal biasanya aku tidak nafsu makan. Setengah jam kemudian Mas Pras kembali. Dia bersungut-sungut, lalu mengambil kotak bubur ayam yang belum selesai aku makan dengan kasar.

"Jangan makan sembarangan. Kamu masih belum sepenuhnya pulih," kata Mas Pras yang membuat aku kaget begitu pula Pandu.

"Mas Pandu, ini sudah setengah tujuh, lo." Mas Pras memperingatkan Pandu yang bagiku lebih terkesan seperti mengusir secara halus.

" Oh, iya, saya lupa. Nanti saya terlambat. Saya pergi dulu ya, Mbak, Mas," pamitnya sambil menyalami Mas Pras. Dia berlalu. Mas Pras tersenyum kecut melihat kepergian Pandu.

"Ngapain sih, kamu senyum-senyum kayak gitu tadi saat bicara sama dia?" tanyanya sewot. Aku tak menjawab. Hanya keheranan tak mengerti apa maksudnya. "Kalau berantem sama dia, marah-marahnya jangan sama saya," batinku.

"Kenapa? Ga boleh?"tanyaku kesal.

"Jelas, ga boleh!" dia menjawab dengan nada yang semakin meninggi. "Dia itu duda," lanjutnya lagi.

"Trus masalahnya apa?" aku semakin tak mengerti mengapa tiba-tiba ia marah-madah tak jelas.

"Kamu istriku. Ngerti?" Kali ini aku tersenyum mendengar kata terakhirnya. Rupanya dia cemburu.

***************

Aku merasa sudah bosan berada di rumah sakit ini. Tapi dokter belum mengijinkan untuk pulang, sebelum rasa pusing dan sakit di leher benar-benar hilang. Rasa rindu pada kedua buah hatiku sudah tak terbendung lagi. Membuatku tak bisa tidur malam ini.

"Kok, belum tidur?" tanya Mas Pras kepadaku sambil tiduran di sofa

"Aku kangen sama Aya dan Alya," kali ini aku merespon pertanyaannya.

"Sudahlah, mereka baik-baik saja. Jangan khawatir," ucapanya sambil beranjak duduk.

"Tapi aku benar-benar kangen, Mas." Aku terisak merasakan rindu yang mendera, Mas Pras mendekati dan memelukku.

"Ratih, maafkan aku. Semua ini terjadi karena aku. Kau pasti marah padaku. Tapi percayalah Ratih, semua yang kau lihat tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Lalu aku harus berpikir bagaimana Mas, setelah semua yang aku lihat dan semua yang aku alami?"

"Aku mengerti Ratih, aku ngerti. Saat aku melihatmu berada di UGD, betapa aku merasa berdosa telah membuat ibu dari anak-anakku, orang yang seharusnya aku lindungi harus berada antara hidup dan mati, karena aku. Apa lagi saat kau tidak sadarkan diri hanya namaku yang kau sebutkan. Saat itu baru aku menyadari, begitu besar cintamu padaku." Bisiknya dengan suara lirih. Aku berusaha melepaskan pelukannya.

"Aku mohon padamu, tolong jangan kau hukum aku dengan kemarahanmu. Maafkan aku." Ada bulir bening yang mengalir dari sudut matanya.

"Lalu dia?"

Dia menghela napas. Dan menggeleng pelan "Entahlah." Jawaban terakhirnya yang terkesan menggantung membuat lecutan kemarahan kembali hadir di dadaku. Namun, saat melihatnya menangis, memohon maaf padaku amarah itu hilang entah kemana.

"Tidurlah, besok aku akan minta Mama untuk membawa Aya kemari," ucapa Mas Pras sambil mengusap air matanya.

"Alya?"

"Ini rumah sakit. Alya masih kecil. Akan sangat beresiko membawanya kesini." "Kau harus cepat sembuh, supaya bisa cepat pulang ke rumah. Makan yang banyak, istirahat yang cukup, dan..."

"Dan?"

"Dan tidak usah berpikir macam-macam," jawabnya sambil membenahi posisi bantal dan merapikan selimutku.

------

Hari ini aku sangat gembira. Karena besok sudah di perkenankan pulang oleh dokter. Dan lebih senang lagi karena Nina datang berkunjung menjengukku. Tidak hanya Nina, banyak kerabat dan handai taulan datang berkunjung memberiku doa dan semangat supaya lekas pulih.

Mas Pras pulang lebih awal, selepas sholat Jum'at dia tidak kembali ke kantor tapi langsung ke rumah sakit untuk menjagaku, menggantikan Mama yang sudah menjagaku sejak pagi saat Mas Pras bekerja.

"Assalamualaikum." Suara beberapa orang mengucapkan salam secara serempak.

"Waalaikumsalam." Mas Pras menjawab salam itu. Ternyata teman-teman sekantor Mas Pras yang datang.

Mas Pras menyambut dan mempersilahkan mereka masuk. Mereka semua berenam empat orang pria dan dua orang wanita.

"Apa kabar Ibu, kenalin saya Aca." ucap salah satu gadis manis dengan wajah khas Jawa. Dia menyalami dan mencium pipi kiri dan kananku. Padahal aku risih, karena beberapa hari belum mandi, hanya seka saja.

"Dan ini Bu Nadia." Orang yang di perkenalkan Aca datang menyalamiku juga tak lupa dengan cipika cipiki juga.

"Kalo yang berlesung pipit itu Pak Firman, Trus yang kurus itu Pak Andi, yang agak-agak black sweet itu Pak Rio, yang paling sehat itu Pak Reza." Gadis bernama Aca memperkenalkan teman-temannya satu persatu dengan gayanya yang tengil namun terkesan kocak. Sedangkan orang yang diperkenalkan hanya tersenyum melihat tingkahnya.

"Mbak Aca ini kelihatannya kalem, ya. Tapi ternyata..." aku menggantung kalimatku.

"Ternyata nyenengin ya, Bu," timpalnya dengan percaya diri sambil terkekeh. Disambut ucapan "Hu..." dari teman-temannya.

"Aca itu nama lengkapnya acakadul," celetuk Pak Reza disambut tawa oleh orang-orang di ruanganku.

"Akhirnya, Aca bisa ketemu Bu Ratih." Aku hanya tersenyum saja mendengar celoteh Aca.

"Pak Pras sih, ga pernah ngajakin Ibu Ratih kalau ada acara," lanjutnya.

"Diajak kok. Cuma orangnya ga mau," ucap Mas Pras membela diri.

"Bukan gitu, Mbak. Saya yang tidak mau. Anak-anak masih kecil. Takut ruwet di acara nantinya," sanggahku secara halus. Walaupun apa yang dikatakan Aca itu benar adanya, tapi bukankah aku harus menjaga nama baik dan wibawa suamiku pada bawahannya.

"Eh... Bu Lily kemana, ya? Kok ga datang." Bu Nadia yang dari tadi hanya senyum-senyum mendengar candaan Aca dan temannya yang lain tiba-tiba bersuara. Hatiku mencelos mendengar nama itu. Aku dapat melihat perubahan ekspresi pada raut wajah Mas Pras. Yang tadinya santai berubah menjadi agak kikuk. Aku berpikir apa berani wanita itu datang menemuiku?

"Ini dia WA sama aku, katanya ban motornya bocor," ucap Aca sambil memasukkan hape ke dalam tas hitamnya.

"Alasan!" batinku berteriak. Aku berdoa supaya dia tidak datang saja.

"Trus gimana ini, kita nunggu Lily atau pulang duluan?" tanya Pak Andi meminta pendapat pada teman-temannya yang lain.

"Tunggu ajalah, kasian," ucap Pak Reza.

Setengah jam berlalu. Yang ditunggu belum juga datang, Bu Nadia tampak gelisah.

"Duh, saya lupa. Anak saya gak ada yang jemput pulang dari madrasah." Bu Nadia buka suara.

"Saya juga, ada acara kondangan habis ini." Pak Firman menimpali.

"Ya sudah deh, kita pulang aja duluan. Biarin dah Lily nanti sendiri. Toh ada Pak Pras yang..." ucapan Aca terhenti karena lengannya disikut oleh Bu Nadia yang membuat Aca menjadi salah tingkah.

Mereka berenam pamit. Sebelum mereka semua keluar dari ruanganku, perempuan itu datang. Mas Pras menyambutnya dengan kaku. Dia tersenyum manis, tapi bagiku terlihat seperti seringai serigala yang licik. Punya nyali juga rupanya dia.

**★**★**★**

Lily melangkah dengan mantap menuju ke arahku. Dia terlihat anggun dengan setelan blazer merah muda berpadu dengan rok hitam panjang. Jilbab kotak-kotak merah muda kombinasi hitam serasi dengan baju yang ia kenakan, membuat wajahnya terlihat semakin manis. Bulu matanya yang lentik,dan matanya yang bulat terlihat bercahaya, bibir tipisnya menyunggingkan senyum.

Dia mengulurkan tangan dan aku menyambutnya, bagaimanapun saat ini dia adalah tamuku yang harus aku hormati.

"Bagaimana keadaanmu, Mbak? Aku turut gembira saat Mas Pras memberitahuku, kalau Mbak sudah sadar," ucapnya basa-basi.

"Seperti yang kau lihat. Ternyata aku masih diberi kesempatan untuk bersama suami dan anak-anakku," jawabku dengan penuh kemenangan. Mas Pras diam saja, duduk di sofa dengan wajah tegang.

"Ya... Alhamdulillah banget, ya." Dia duduk di kursi yang ada di dekat ranjang tanpa ada rasa canggung.

"Iya, berkat doamu. Aku tidak mati," ucapku dibuat seramah mungkin.

"Mbak, jangan ngomong gitu, ah."Ucapnya sambil membenahi jilbanya.

"Kenapa? Bukankah kamu ingin aku mati, supaya jalanmu bisa mulus," ucapku sinis

"Maksud Mbak?" tanyanya sambil mengernyitkan dahi.

"Supaya jalanmu menikah dengan suamiku menjadi semakin mudah." Mata lentiknya terbelalak mendengar kata-kataku. Raut wajahnya berubah menjadi sedikit kesal.

"Rupanya kedatanganku disini tidak tepat. Aku pergi dulu." Dia beranjak dari kursi dan melangkah menuju pintu.

"Tunggu!" ucapku dengan nada memerintah. Dia menghentikan langkahnya "Bisa aku minta tolong padamu?"

"Apa?" tanyanya tanpa memalingkan wajahnya padaku. Namun lirikan mata lentiknya menunjukkan bahwa dia sangat terganggu oleh kata-kataku.

"Tolong jauhi suamiku. Pergilah jauh-jauh dari kehidupan kami. Kau bisa minta apapun padaku. Apapun itu. Tapi jangan suamiku." Pintaku dengan tegas.

"Ratih, apa-apaan kau ini." Mas Pras mendesis.

"Kau tak usah ikut campur, Mas. Ini urusan wanita. Antara aku dan dia." Mas Pras tercekat mendengar kata-kataku dia diam mematung di dekat sofa. Aku berusaha keras untuk mengendalikan emosi. Bagaimanapun ini adalah saat yang tepat untuk membuatnya pergi.

Lily berbalik, tampak air mata sudah membasahi kedua pipi mulusnya. "Mbak, aku tau, Mbak pasti benci padaku. Mbak pasti marah padaku. Tapi hari ini aku datang kemari benar-benar ingin tahu keadaaan Mbak. Aku merasa bersalah atas ini semua."

"Akting yang sempurna," ucapku sinis.

"Mbak beruntung ada di posisi yang selalu dianggap benar, dan dianggap sebagai korban dari keadaan ini. Mbak tau rasanya jadi yang kedua? Ga kan?" Tampaknya dia bukan orang yang mudah mengaku kalah.

"Seluruh dunia menyalahkan aku, karena aku datang di saat kalian sudah ada dalam sebuah ikatan pernikahan. Yang bahkan aku sendiri tidak ingin berada di posisiku saat ini. Apa Mbak tau rasanya di tuduh melakukan sesuatu yang tidak pernah kita lakukan, Mbak tau rasanya?" Ucapnya berapi-api. Aku diam saja menyimak kata demi kata yang keluar dari bibir tipisnya.

"Aku juga tidak pernah berpikir ingin merusak rumah tangga orang. Tidak Mbak. Aku juga tidak ingin. Karena...karena..." dia ragu meneruskan kalimatnya.

"Karena..." aku menirukan kata terakhirnya sebagai perintah agar ia segera menuntaskan kata-katanya.

"Karena aku tahu rasanya mempunyai orang tua yang tidak lengkap. Ayahku hanya datang satu bulan sekali itupun hanya tiga hari. Dan aku tidak ingin ada anak-anak mengalami hal serupa, apalagi akulah penyebabnya." Kali ini dia berkata dengan nada sedih dan tatapan yang sendu.

"Lalu kau pikir aku akan bersimpati dan percaya semua kata-katamu," sinisku padanya.

"Aku tak minta mbak untuk itu. Aku hanya ingin Mbak tahu. Percaya atau tidak itu adalah hak Mbak."

"Lalu bagaimana jika kau di posisiku. Apa kau tau bagaimana rasanya jika suamimu meminta ijinmu untuk menikah lagi? Bagaimana perasaanmu jika suamimu berkata dia lebih mencintai orang lain dari pada kau, istrinya."

"Sekarang Mbak tahu sakitnya, kan? Untuk itu jaga Mas Prasku baik-baik. Betapapun dia mencintaiku. Kami tak akan bisa bersama. Karena aku hanya memiliki hatinya tapi tak memiliki takdir Tuhan untuk bersama," dia berkata dengan lirih diiringi air mata yang bercucuran.

Kalimat terakhirnya benar-benar terasa menghujam ulu hatiku. Apakah itu artinya dia sadar bahwa aku tak akan pernah membiarkan suamiku jatuh ke tangannya? Dan dia akan pergi meninggalkan Mas Pras.

Hening. Aku membisu menelaah kata-kata Lily. Sedangkan Lily masih berdiri mematung dengan tatapan kosong.

"Lily, Sebaiknya kamu pulang." Akhirnya Mas Pras buka suara. Memecah kebisuan di antara kita bertiga. Lily segera menghapus air mata di pipi mulusnya dan beranjak pergi meninggalkan aku dan Mas Pras.

**★**★**★**

Selepas kepergian Lily, aku dan Mas Pras masih membisu untuk beberapa saat lamanya. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Dia menatap kosong ke arah pintu. Mungkin dia sedang kepikiran pada Lily, namun tak tega meninggalkan aku sendiri di sini. Sedangkan aku berusaha setenang mungkin agar aku tak terbawa emosi. Aku ingat pesan Ibu.

------

Malam itu....

Ada suara motor berhenti di depan rumah. Aku tak segera keluar, takut karena ini sudah lewat jam sembilan malam. Aku mengintip dari balik tirai jendela. Dua orang perempuan. Ternyata itu adalah Ibu dengan salah satu karyawan toko yang selalu mengantarkan Ibu. Akupun segera membuka pintu pagar.

"Ibu, kok malem banget?" tanyaku pada Ibu sambil mencium punggung tanggannya takzim.

"Mana Pras?"

"Ehm... anu itu lembur, Bu." Ucapku sedikit gugup. Aku mempersilahkan Ibu dan Mbak karyawan itu masuk. Ibu langsung menuju ke ruang tengah. Sedangkan Mbak karyawan itu duduk di ruang tamu.

Di ruang tengah aku duduk di kursi yang berseberangan dengan Ibu. Tatapan Ibu yang teduh, membuat aku merasa bersalah telah berbohong padanya.

"Nak, Ibu tanya sekali lagi, Pras kemana?"

"Lembur, Bu."

"Jujur?" Pertanyaan Ibu seperti menikam ulu hatiku. Aku tak kuasa membendung air mataku.

"Nak, ada apa sebenarnya antara kamu dan Pras? Mengapa setiap malam dia ada di toko. Kalau Ibu yang tanya dia hanya bilang sibuk. Makanya Ibu tanya kamu. Ada apa, Nak?" tanyanya lembut.

"Ibu, Mas Pras punya wanita lain dan dia bilang ingin menikahinya." Aku terisak, kurasakan sesak di dada harus mengatakan ini semua. Mungkin ini saatnya Ibu mengetahui keputusanku untuk berpisah dengan Mas Pras.

"Lalu? Apa kau mengijinkannya?"

Aku menggeleng lemah. "Ratih memilih untuk mengalah Ibu." Jawabku lirih dengan suara parau.

"Hmmmm... Tak kusangka menantuku ini wanita yang lemah. Menyesal aku menuruti suamiku menikahkan Pras denganmu, Nak." Kata kata ibu menohok perasaanku.

"Ibu pikir kau adalah wanita yang tangguh saat kau meminta segera dinikahkan dengan Pras dulu, walaupun kau tau Pras menentang pernikahannya. Tapi, cuma segini nyalimu. Kau mati-matian ingin menikahi Pras tapi ada godaan sedikit kau menyerah. Mana Ratih yang dulu? Mana Ratih yang gigih mengejar Pras. Mana?" Ibu berucap setengah berbisik dengan nada yang tegas.

"Lalu Ratih mesti gimana, Ibu?" Air mataku tumpah di pelukan Ibu, ia membelai lembut kepalaku.

"Nak, Ibu dulu juga pernah berada di posisimu. Ibu mengerti rasa sakitmu. Berjuanglah, Nak. Perjuangkan hakmu demi anak-anakmu, cucu Ibu. Buat Pras tak bisa lari darimu. Ibu selalu bersamamu. Ibu juga akan memperingatkannya nanti." Ibu melepaskan pelukannya.

"Kau ingat, janjimu pada mendiang Ayah mertuamu? Apa kau sudah lupa? Bahwa kau tak akan meninggalkan Pras apapun keadaannya. Kau ingat?" Ibu memegang kedua bahuku dan menatapku dengan penuh keyakinan.

"Lakukan apa saja supaya Pras tetap bersamamu. Jangan hanya menangis. Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Kau harus bangkit, harus kuat. Menantuku hanya Ratih, tidak yang lain." Ibu menghapus air mataku. Senyum dan kata-kata Ibu seperti memberi kekuatan baru padaku.

-----

"Assalamualaikum," suara orang yang datang membuyarkan lamunanku.

"Waalaikumsalam," aku dan Mas Pras menjawab serempak. Mas Pras tersenyum kecut melihat orang yang baru saja masuk ke ruanganku. Pandu datang bersama seorang anak laki-laki gemuk dengan usia sekitar lima tahunan.

"Itu Om Pras, dan yang berbaring di situ Tante Ratih, salim dulu, gih," Pandu bicara lembut pada anak laki-laki yang bersamanya. Anak laki-laki menghampiri Mas Pras untuk bersalaman kemudian menghampiriku.

"Namanya siapa, Sayang?" tanyaku sambil menyambut uluran tangannya.

"Falel." Sahutnya

"Farel Tante." Pandu menirukan ucapan anak lelaki itu sambil menyalami Mas Pras.

"Farel ini anakku yang kuceritakan kapan hari. Oya, anak mbak berapa?" tanyanya padaku.

"Dua cewek semua."

"Pasti cantik kayak Mamanya, ya," ucap Pandu sambil duduk di sofa memangku anak lelakinya.

"Iyalah, masa' kayak tetangga," sela Mas Pras dengan sinis, yang justru membuat Pandu tergelak.

"Kalau menurut mitos di keluargaku ya, Mbak, jika anak pertama laki-laki berarti cinta suami lebih besar dari pada istrinya. Begitupun sebaliknya, kalau anak pertama perempuan berarti cinta istri lebih besar dari pada suaminya," jelas Pandu.

"Oya? Baru tau nih," ucap Mas Pras, mengerling sekaligus tersenyum simpul kepadaku sebagai tanda kemenangan.

"Untung cuma mitos ya," ucapku berusaha menyanggah pernyataan Pandu.

"He... iya, tapi biasanya bener lo Mbak" Pandu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Ooo... iya kayaknya banyak benernya itu," ucap Mas Pras dengan angkuh membuat aku menjadi jengah.

"Tante Latih," Farel yang dari tadi hanya bengong menonton televisi yang terpasang di dinding kamarku, menyela pembicaraan kami dengan wajah agak ketakutan.

"Iya sayang, ada apa?"

"Jangan lapolin Ayah Falel ke Pak Polisi. Nanti Ayah Falel di penjala. Telus Falel tinggal sama siapa?"ucapnya dengan cadel.

"Farel, sini sayang." Aku melambaikan tangan padanya agar mendekat.

"Buat apa Tante lapor polisi?"

"Kan Ayah Falel dah nablak Tante," sahutnya dengan raut wajah sendu.

"Itu bukan sebuah kesengajaan dan lagian Tante juga salah kok, Tante kurang hati-hati. Udah, Farel ga usah mikir macem-macem. Besok Tante dah pulang kok." Farel menarik napas lega.

Farel anak yang lucu. Pipinya tembem, bibirnya mungil, matanya sipit khas wajah oriental. Dia juga termasuk anak yang kritis untuk anak seusianya. Kehadiran Farel dan Pandu membuat ketegangan antara aku dan Mas Pras sedikit mencair.

Setengah jam berlalu, Farel mulai terlihat bosan "Ayah, ayo pulang katanya mau beli es klim," rengek Farel sambil menarik tangan ayahnya.

"Iya, Ayah pamit dulu sama Om dan Tante," ucap Pandu pada anaknya. Farel mengerti maksud ucapan Pandu, dia segera bersalaman dulu padaku dan Mas Pras.

"Oya Mbak, besok pulang jam berapa? Biar aku urus semuanya."

"Ga usah repot, ya. Ratih masih ada saya, suaminya. Saya bisa urus semuanya." ucap Mas Pras pada Pandu yang terkesan angkuh. Pandu menautkan kedua alisnya melihat reaksi Mas Pras.

"Eh.. iya sebentar, Nak," kata Pandu pada Farel yang dari tadi sudah menarik-narik tangannya mengajak keluar. "Saya pulang dulu ya Mbak, Mas, sampai ketemu besok." Aku hanya merespon ucapan Pandu dengan senyuman. Pandu dan Farel berlalu dari ruang rawatku.

"Owh... nampaknya ada yang senang nih," sindir Mas Pras padaku. Aku tak menjawabnya. Hanya mengangkat bahu dan tersenyum simpul. Entah ini hanya perasaanku atau memang benar adanya, setiap Pandu datang, Mas Pras berubah menjadi laki-laki yang paling menyebalkan.

##########

Pagi ini aku sangat bahagia, karena bisa pulang ke rumah. Jenuh rasanya setelah lebih satu minggu berada di ruangan ini. Ingin segera sampai di rumah, bertemu Aya dan Alya.

Seorang dokter dan seorang perawat masuk ruanganku untuk melakukan pemeriksaan terakhir. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan dokter dan seorang perawat itu pergi. Beberapa saat kemudian perawat itu kembali dengan membawa sekantong kresek obat. Dia menjelaskan bagaimana aku harus meminum obat itu, lalu ia membuka jarum infus ditanganku.

"Bapak bisa mengurus administrasi kepulangan Ibu sekarang," ucap perawat itu kepada Mas Pras. Mas Pras mengangguk tanda mengerti. Perawat itu berlalu. Mas Pras memintaku untuk menunggu sebentar. Belum sempat Mas Pras keluar ruangan, Pandu muncul dari arah pintu.

"Aku sudah urus semuanya," ucap Pandu dengan sumringah.

"Apa?" Mas Pras mendesis.

"Terimakasih, sudah merepotkan," sahutku basa-basi.

"Tidak apa-apa Mbak, ini sudah menjadi tanggung jawab saya, sebagai bentuk permintaan maaf. Sekali lagi saya mohon maaf ya, Mbak," ucap Pandu dengan tulus.

"Ish.." lagi-lagi Mas Pras tidak menjawab hanya mendesis pelan.

"Maaf saya tak bisa lama-lama masih ada tugas mengajar."

"Oh, iya silahkan kalau mau pergi," ucap Mas Pras ketus. Pandu mengernyitkan dahi, mungkin dia merasa terusir.

"Kan, kasian muridnya kalau harus nunggu," lanjut Mas Pras menetralisir keadaan.

"Mbak, boleh saya minta nomor hapenya?" tanya Pandu sambil mengeluarkan hape smartphonenya dari saku celana.

"Ini nomor hape saya saja. Ratih jarang-jarang pegang hape," Mas Pras menyela sebelum aku sempat memberi nomor hapeku kepada Pandu.

Pandu pamit setelah mencatat nomor hape Mas Pras. Aku dan Mas Pras segera meninggalkan rumah sakit. Tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan kedua buah hatiku, Aya dan Alya.

------

Satu minggu berlalu. Keadaanku semakin membaik. Keluargaku kembali normal seperti sedia kala. Aku merenungi kejadian yang aku alami beberapa bulan terkahir. Ah, betapa banyak sekali yang telah aku lalui. Mulai dari kehadiran Lily, kecelakaan, dan kecemburuan Mas Pras pada Pandu yang tidak beralasan.

"Ratih, ayo masuk. Angin malam tidak bagus buat kesehatanmu," suara Mas Pras dari arah pintu mrngejutkanku.

"Mas sekarang jadi perhatian ya, tidak seperti dulu. Dulu Mas dingin, cuek padaku," sahutku tanpa menoleh ke arahnya.

"Kau suka? Bukankah itu yang kau harapakan?" tanyanya mencibir, sambil duduk di di kursi taman berseberangan denganku.

"Tentu, hanya saja..." aku menggantung kalimatku.

"Hanya apa?"

"Rasanya hambar." Mas Pras menghela napas tipis.

"Karena ada Pandu?"

"Tidak usah bawa-bawa Pandu."

"Kenapa?" tanyanya sinis.

"Kau kira aku bodoh, Pandu meminta nomor hape mu. Untung, aku pintar. Kuberi saja nomor hapeku," kilahnya, "Biasanya dari sms basa-basi, teleponan, ketemuan dan keterusan deh."

"Oh... pengalaman ya?" aku terkekeh. "Jadi ceritamu dengan Lele ups maksudku Lily seperti itu."

"Aku dan kamu beda"

"Jelaslah..."

"Laki-laki bisa menikah lebih dari satu kali, dan aku rasa kau juga tahu itu." Mas Pras berseru ketus.

"Tau," jawabku pendek.

"Tapi kau tidak mengijinkan."

"Siapa bilang?"

"Menikahlah seribu kali kalau perlu, tapi ceraikan aku dulu," ucapku dengan menatapnya tajam.

"Apakah keputusanmu tidak berubah."

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung situasi dan kondisi"

"Misalnya?"

"Aku yang akan mencarikan istri untukmu."

"Sungguh?"

"Ya, asal sesuai kriterianya menurutku," ucapku datar. Karena aku memang tak bersungguh-sunguh dengan ucapanku.

"Misalnya?" Mas Pras membenahi posisi duduknya.

"Cantik, pintar, penyayang, di sukai anak-anak dan cocok denganku."

"Lily?" ah... dia mengajukan nama itu lagi.

"Cantik iya, Pintar juga mungkin iya, tapi belum tentu disukai anak-anak," kilahku.

"Alasan," ujarnya kesal, aku terkekeh.

"Wanita yang mengerti hukum agama tak akan melarang suaminya menikah lagi," ucapnya sengit.

"Laki-laki yang taat agama akan menundukkan pandangannya dari wanita yang bukan mahramnya," sahutku tak kalah sengit.

Suara derit pintu pagar menghentikan perdebatanku dengan Mas Pras. Wanita setengah baya seumuran ibuku memasuki halaman. Diikuti seseorang yang sangat aku kenal. Dia adalah Lily. Ya Allah.. mau apa wanita itu kemari, dan siapa wanita setengah baya itu?

###########


***********


Mas Pras segera beranjak dari kursi dan menyambut tamu yang datang, sedangkan aku hanya diam saja. Suasana hatiku tiba-tiba menjadi tidak enak.

Mas Pras mempersilahkan tamunya masuk ke ruang tamu. Aku masih saja bergeming di kursi taman. Menata hati dan emosi, sebelum aku menemui tamu itu. Membaca istigfar, dan menarik napas dalam-dalam supaya sedikit lebih tenang.

Setelah aku rasa cukup menguasai diri, segera kutemui tamu Mas Pras, bersalaman dan berbasa-basi sebentar lalu aku menuju ke belakang membuatkan minum dan mengambilkan suguhan. Ternyata wanita setengah baya itu adalah ibu Lily namanya Bu Sri.

"Kok repot-repot, Nak. Ibu kesini ada perlu sama kamu dan Nak Pras," ucap Ibu Sri sambil terbatuk-batuk ketika aku meyuguhkan teh dan kudapan. Lily memegang tangan ibunya dan menggeleng mencegah Bu Sri ntuk bicara. Namun Bu Sri menepis tangan Lily dengan lembut.

Aku menatap Bu Sri lamat-lamat. Kulitnya pucat, tatapannya sayu, matanya cekung dan tubuhnya sangat kurus. Terlihat ringkih, dia juga sering batuk-batuk.

"Nak, sejak kecil Lily hanya hidup berdua dengan Ibu. Dan sekarang Ibu sakit-sakitan." Dia berhenti sejenak dan memberiku sebuah amplop besar dan sebuah amplop kecil hasil pemeriksaan dari rumah sakit.

Amplop besar itu berisi foto rontgen atas nama Bu Sri. Aku tidak bisa menerjemahkan kelainan yang ada dalam foto tersebut. Aku beralih pada amplop yang lebih kecil. Aku baca perlahan. Di situ tertera bahwa pasien mengalami kangker paru-paru stadium lanjut. Aku menarik napas dalam-dalam. Meletakkan amplop kedua di meja.

"Nak, Ibu tahu waktu ibu tidak banyak lagi. Maka dari itu sebelum Ibu menghadap Ilahi Ibu ingin melihat anak ibu satu-satunya ini bahagia. Ada yang menjaganya," Bu Sri terbatuk lagi. Suaranya semakin serak. Aku masih diam saja, sedangkan Lily terisak.

"Bu, jangan. Aku mohon, Bu," pinta Lily diantara isaknya. Ibunya tetap tidak menghiraukan.

"Untuk itu Nak, Ibu mohon kerendahan hati kamu, agar mengijinkan Lily menjadi istri kedua Pras." Bagai tersambar petir aku mendengar kata-kata yang baru Bu Sri ucapkan. Kepalaku menjadi pusing.

"Ibu tahu ini pasti menyakitkan buat kamu, Nak. Tapi Ibu sudah tak punya pilihan lain. Ibu yakin kau bisa memahami posisi Ibu, karena kau juga seorang ibu." Bu Sri terbatuk lagi.

"Bu, bagaimana jika posisinya terbalik. Jika saya meminta suami anak Ibu untuk menikahi saya, apa kira-kira Ibu mengijinkannya? Saya juga punya seorang Ibu. Bagaimana perasaan Ibu saya nanti? Bagaimana perasaan kedua anak saya melihat ayahnya menikah lagi. Apa Ibu juga memikirkan itu?" ujarku setengah emosi. Aku mulai naik pitam, setelah mendengar permintaan Bu Sri yang tak masuk akal.

"Nak, tolonglah. Ibu mohon." Tiba-tiba saja Bu Sri berlutut di hadapanku. Menggenggam kedua tanganku dan menatapku dengan mata sayunya penuh harap. Aku tercekat melihat kelakuan Bu Sri. Aku memandang Mas Pras yang duduk di sampingku. Berharap dia melakukan sesuatu untuk meolongku. Tapi Nihil. Dia bergeming dengan kepala tertunduk.

Bu Sri batuk-batuk lagi, kali ini batuknya lama, dan aku lihat ada percikan darah di sapu tangan Bu Sri yang digunakan untuk menutup mulutnya saat batuk. Sesaat kemudian Bu Sri pingsan.

Aku jadi panik, takut terjadi apa-apa pada Bu Sri. Lily histeris melihat ibunya lunglai tak berdaya, wajah Bu Sri semakin pucat. Mas Pras segera membopong tubuh Bu Sri ke mobil.

"Ratih, aku ke rumah sakit dulu," ujar Mas Pras panik. Aku hanya mengangguk saja. Tak tau harus berkata apa.

-----

Kejadian tadi berlangsung begitu cepat. Permintaan Bu Sri membuat pikiranku menjadi tak karuan. Di sisi lain aku tak ingin berbagi suamiku dengan siapapun. Tapi di sisi lain ada permintaan seorang ibu yang hampir sekarat. Ya Allah kenapa keadaannya jadi serumit ini?

Aku terbelenggu antara prinsip dan rasa kemanusiaan. Ada ketakutan dalam diriku jika suatu saat nanti berada dalam posisi yang sama dengan Bu Sri saat ini. Anakku dua-duanya juga perempuan.

Mungkin ini yang dinamakan roda kehidupan terus berputar, dulu Mas Pras terpaksa menikahiku karena tekanan dari ayahnya. Apakah sekarang aku juga harus rela berbagi suamiku dengan Lily karena permintaan ibunya?

Suara deru mobil Mas Pras menyadarkan aku dari lamunan.

"Belum tidur?" tanyanya melihatku Masih duduk bersandar pada dipan di kamarku. Aku tak menjawab, hanya menatap kosong ke arah jendela.

"Kau masih kepikiran permintaan Bu Sri?" tanyanya lagi. Aku menghela napas tipis.

"Sulit Mas, ini keadaan yang sangat rumit untukku."

"Aku tahu, kau tak mau dimadu. Tapi aku juga tak akan menceraikan kamu Ratih. Apapun alasannya," ucapnya datar.

"Lalu Lily?" tanyaku kesal.

Mas Pras meremas rambutnya dan mengusap wajahnya. "Seandainya saja aku bisa membahagiakan semua orang tanpa harus ada yang terluka," gumamnya lirih.

Pikiranku benar-benar kalut. Apakah aku harus melanggar prinsipku untuk kebahagiaan Mas Pras dan orang lain? Ataukah aku tetap pada pada prinsipku, dan melanggar janjiku pada almarhum ayah mertuaku? Ya Allah kapankah badai ini akan berlalu?


**********


#############

Seharian ini kepalaku terasa berat, karena semalam aku tidak bisa tidur. Tapi bagaimanapun itu, aku harus tetap bangun pagi, untuk mengurus rumah dan menyiapkan segala keperluan Aya juga Mas Pras. Serta harus menjaga Alya, yang sedang aktif-aktifnya berjalan ke sana ke mari membuat aku sedikit kewalahan. Karena teledor, Alya terjatuh di taman depan. Dia menjerit histeris, ada darah segar mengalir dari lututnya membuat aku panik.

"Kenapa Alya? Jatuh ya?" saking paniknya aku tak menyadari kedatangan Nina.

"Iya, Nin. Tolong ambilkan kotak obat di kotak bawah yang paling kiri, di bufet yang ada ruang tamu itu," pintaku pada Nina

Nina segera bergegas mengambil kotak obat yang dimaksud, lalu membantuku membersihkan dan membalut luka Alya. Setelah lukanya di obati, aku menggendong Alya, berusaha menenangkannya dengan menberinya sebotol susu. Beberapa saat kemudian tangis Alya berangsur mereda dan ia pun tertidur di gendonganku.

"Kok, bisa jatuh sih, Alyanya?" tanya Nina, Aku tak menjawab hanya mengangkat bahu sebagai tanda tidak mengerti.

"Hallah, paling juga kamunya ngelamun terus," tukasnya gemas melihat reaksiku, "gimana keadaanmu sekarang? Udah baikan?"

"Alhamdulillah," kujawab pendek saja.

"Trus Pras?? Udah waras?" Nina terus memcecarku dengan pertanyaan.

" Makin parah?"

"Maksudnya?"

"Bentar ya, aku mau nidurin Alya dulu," ucapku sambil berlalu ke kamar Alya, meninggalkan Nina duduk sendiri di beranda. Sekembalinya dari kamar aku menceritakan kejadian semalam, saat Bu Sri dan Lily datang. Nina mendengarkan dengan antusias.

"Gila bener tuh emaknya Lily, ya? Minta suami orang buat anaknya.Ya Allah, wanita macam apa dia?" seru Nina sambil geleng-geleng kepala.

"Aku bisa ngerti, Nin. Bu Sri tidak punya pilihan lain, walaupun tindakannya itu tak bisa dibenarkan juga." ucapku datar.

"Bisa mengerti dari Hongkong? Ga lah kalau aku, ga bisa ngerti," sahutnya kesal, "trus tanggapan kamu?" lanjut Nina masih mencecarku.

"Ya aku bingung, Nin. Kamu tau kan prinsipku aku ga mau dimadu. Tapi kalau harus bercerai, bagaimana dengan anak-anak? Bagaimana dengan Ibu dan Mama? Pasti mereka kecewa padaku. Ini cukup rumit untukku. Ada banyak hati yang harus kujaga."

"Hmmm... rumit juga ya. Trus tanggapannya Pras gimana?"

"Mas Pras juga ga mau ceraikan aku, Nin. Tapi dia juga ga mau ninggalin Lily."

"Hadeh... laki-laki mau enaknya."

"Apa baiknya aku izinkan Mas Pras menikahi Lily ,ya?" gumamku lirih, merasa putus asa.

"Apa?? Ga salah denger ? Kamu sakit?" seru Nina sambil meraba keningku.

"Lalu aku mesti gimana Nina? Ayo dong kasih solusi. Jangan meledek terus, ah," ujarku sewot, sembari menepis tangannya. Nina menghela napas dalam-dalm.

"Sulit ya, Tih. Aku paham posisi kamu. Tapi dalam kondisi ini aku ga bisa ngasih pendapat. Karena ini, sudah menyangkut masalah pribadimu. Bukan ranah saya lagi, baik menurut saya belum tentu baik bagi kamu. Sholat Istikharah aja. Minta Allah pilihkan yang terbaik," ucap Nina sambil memegang kedua tanganku. Aku hanya menghela napas.

"Kamu yang sabar ya, Tih. Semoga ada jalan keluar terbaik," lanjut Nina dengan tatapan iba.

Obrolan kami harus terhenti, karena ada sebuah mobil berhenti di depan pagar rumahku.

"Siapa?" tanya Nina, aku tak segera menjawab.

"Pandu, orang yang nabrak aku waktu itu," jelasku, setelah melihat Pandu keluar dari Mobil. Nina ber-oh pelan.

"Assalamualaikum," Pandu memberi salam, sambil berjalan menuju ke kami.

"Waalaikum salam," jawab kami serempak.

"Apa kabar Mbak? Gimana udah sehat?" sapa Pandu dengan ramah.

"Alhamdulillah, kok bisa tahu rumah saya," sahutku heran.

"Oh, waktu saya mengurus administrasi kepulangan, Mbak. Saya lihat alamatnya. Trus pas tadi cari-cari lihat Mbak dari jalan. Ketemu, deh. Kok sepi Mbak, kemana orang-orang?"

"Mas Pras belum pulang. Anak saya yang gede ke madrasah, yang kecil tidur," jelasku pada Pandu.

Nina menyikut lenganku pelan, "Kenalin dong, masa' dari tadi dicuekin," bisiknya kesal. Aku nyengir.

"Oh ya, lupa. Kenalin, Nina sahabatku."

"Pandu," ucap Pandu sambil mengulurkan tangan kepada Nina.

"Kayaknya kenal deh, tapi dimana ya?" ucap Nina sambil menerawang.

"Oya? Dimana, Mbak?" tanya Pandu penasaran.

"Di tivi," Pandu mengernyitkan dahinya. "Habisnya mirip Lee Min Ho, sih" lanjut Nina sambil nyengir lebar. Sontak aku dan Pandu tertawa.

"Oh ya, Mbak sampai lupa. Aku bawa es pisang ijo di mobil. Entar aku ambil." Pandu berlalu menuju mobilnya.

Nina segera mengambil alih bungkusan kresek yang berisi lima gelas es dari tangan Pandu. Dia membuka satu setelah meminta ijinku dan segera mencicipinya

"Kok, rasanya gini, ya," ucap Nina dengan tengil.

"Kenapa, Mbak? Ga enak, ya?" Pandu gelagapan melihat reaksi Nina ketika mencicipi es pisang ijo yang dia bawa.

"Rasanya lain," lanjut Nina menegaskan.

"Lain gimana, Nin?" tanyaku penasaran, akupun segera mencicipinya juga.

"Lain kalau dibawain orang ganteng," ucap Nina sambil terkekeh, yang membuat aku dan Pandu lagi-lagi tegelak melihat tingkahnya.

Kami bertiga bercengkerama dengan akrab. Pandu orang yang supel, dia bisa dengan cepat akrab dengan orang yang baru di kenal. Kehadiran Nina dan Pandu membuat soreku terasa lebih ceria. Melupakan sejenak masalah yang sedang aku hadapi. Kali ini Pandu banyak bercerita tentang siswa badungnya, yang selalu ditanggapi tengil oleh Nina. Aku hanya sesekali menimpali saja, sambil menikmati es pisang ijo yang dibawakan Pandu.

Mobil Mas Pras memasuki halaman, diikuti dengan motor Vario putih yang dikendarai oleh seorang wanita. Setelah wanita itu melepas helm yang dikenakannya baru aku tahu, dia adalah Lily.

"Siapa dia?" tanya Nina setengah berbisik.

"Lily," bisikku pada Nina.

"Huh," Nina mendengus kesal. Aku menghela napas tipis. Nina menyikutku pelan sambil melirik ke arah Pandu, yang memandang Lily tak berkedip.

############

Lily bergegas menuju beranda, di mana kami bertiga bercengkerama. Sedangkan Mas Pras masih sibuk memasukkan mobilnya ke garasi samping. Lily menyunggingkan senyum manisnya.

"Ini Lily ya, yang dulu masuk tim cheerleaders di SMA Tunas Harapan," ucap Pandu memastikan.

"Iya,... ini Kak Pandu, ya. Ketua tim basket yang menjadi incaran cewek-cewek," sahut Lily antusias. Aku masih diam melihat ekspresi gembira mereka berdua setelah sekian lama tak bertemu.

"Hmmm, ternyata dunia ini sesempit daun katu, ya," ujar Nina dengan tengil membuat Pandu dan Lily menghentikan obrolan mereka. Lily memandang Nina kemudian tersenyum.

"Kenalin, Nina sahabat Ratih. Ini Mbak Lily, ya," Nina memperkenalkan dirinya sendiri, "cantik, semoga hatinya juga cantik," lanjut Nina ketus.

"Ih, Mbak Nina bercanda terus dari tadi." Pandu menengahi, "jangan dimasukin dalam hati, Mbak Nina emang gitu orangnya," jelas Pandu pada Lily. Lily tersenyum canggung.

"Oya, minta no WAnya dong. Nanti aku masukin ke grup alumni SMA," ucap Pandu dengan riang. Pandu dan Lily mengobrol dengan asik bernostalgia tentang masa-masa sekolahnya, sedangkan aku dan Nina hanya diam saja memperhatikan mereka berdua.

"Ehemm... ehemmm." Mas Pras berdeham. Ia berdiri dengan melipat tangan di dada dan memandang sinis ke arah Lily dan Pandu, membuat Lily jadi salah tingkah.

"Wah, kelihatannya seru, nih ngobrolnya," seru Mas Pras ketus, kemudian dia beralih memandang Nina, "Nin, udah dari tadi?" sapa Mas Pras pada Nina.

"Ya, lumayan sih," jawab Nina datar.

"Dan... " Mas Pras menoleh ke arah Pandu.

"Barusan aja kok, Mas," sahut Pandu kikuk, seolah mengerti maksud pandangan Mas Pras. Hape Nina bergetar. Ada pesan masuk, Nina segera membukanya.

"Ehmm... kayaknya saya balik dulu, deh. Udah di jemput sama suami," ujar Nina sambil memasukkan hape ke dalam tasnya. Aku mengantar Nina sampai depan pintu pagar.

"Inget, ya, kamu ga boleh gegabah menghadapi Lily. Kamu harus kuat. Rival kamu berat, lho," bisik Nina padaku. Aku hanya mengangguk tanda mengerti. Kemudian Nina pergi setelah suaminya datang menjemputnya.

"Mbak, aku pamit juga deh." Pandu menyusul pamit pulang.

"Lho, mau pulang juga. Buru-buru amat, sih," sahutku basa-basi.

"Udah sore, waktunya jemput Farel. Lily aku duluan, ya. Mari, Mbak, Mas." Pandu berlalu setelah berpamitan.

------

Kini tinggal aku, Lily dan Mas Pras. Hening.

"Bagaimana Ibumu?" tanyaku pada Lily memecah keheningan.

"Ibu, masih dirawat," jawab Lily gugup.

"Lalu? Ngapain ke sini. Harusnya kamu jaga ibumu. Bukan kelayapan ke rumah orang."

"Aku ada perlu sama Mbak."

"Cepat katakan aku tak punya waktu banyak."

"Aku harap Mbak Ratih ga usah menghiraukan permintaan ibu."

"Manis sekali caramu. Kau bawa ibumu kemari, meminta suamiku, lalu kau datang, bilang padaku untuk tidak menghiraukan kata-kata ibumu."

"Ratih..." Mas Pras mendesis.

"Mengapa Mas, kamu marah? Takut wanitamu tersakiti?" sinisku pada Mas Pras. "Sekarang saatnya Mas, kamu pilih aku dan anak-anak. Atau dia? Tidak sulit, kan? Tinggal bilang," ucapku datar nyaris tanpa ekspresi. Aku sudah lelah dengan keadaan ini.

"Mbak, aku mohon. Aku tidak mau Mbak sama Mas Pras berpisah. Aku mohon," ada kesungguhan yang terpancar dari tatapan mata bulatnya. Namun, kata-katanya tak juga bisa meredakan lecutan emosiku yang kian tak terkendali.

"Kau ingin aku tak berpisah? Tapi kamu selalu hadir di tengah-tengah kami. Jika kamu memang tidak ingin aku pisah, tinggalkan suamiku mudah, kan? Tapi ya, itu kalau kamu sebaik omonganmu, kalau enggak ya..." aku menggantung kalimatku.

"Ratih! Jaga batasanmu!" Desis Mas Pras geram.

"Baiklah, jika begitu tolong bilang juga sama suami Mbak, jangan pernah menghubungi saya lagi. Dan berhenti mengejar-ngejar saya," seru Lily dengan suara parau menahan tangis.

Setengah berlari dia menuju sepeda Varionya yang terparkir di halaman. Mas Pras mengejar, mencoba menahannya tapi tak berhasil. Lily pergi tanpa sedikitpun menggubris kata-katanya.

Wajahku seketika terasa kebas mendengar kata-kata Lily. Benar, dari tadi atau bahkan dari kemarin-kemarin aku hanya menyalahkannya. Menganggap Lily sebagai wanita penggoda. Aku lupa, bahwa perselingkuhan itu terjadi karena dua pihak saling membuka diri, memberi kesempatan dan memberikan hatinya untuk orang yang tidak semestinya.

"Ratih kau benar-benar keterlaluan," ucap Mas Pras geram, "Lily kesini baik-baik, dia meminta kamu untuk tidak menuruti permintaan ibunya. Karena dia menghormati kamu sebagai istriku. Tapi kau malah menghinanya." Mas Pras berkata dengan nada marah. Ia berlalu ke kamar Alya yang terdengar menangis karena terbangun dari tidurnya.

"Kenapa lutut Alya?" tanyanya sambil menggendong Alya.

"Jatuh," kujawab pendek saja, malas berdebat lagi.

"Kok bisa jatuh? Karena keasyikan ngobrol dengan Pandu?" tuduhnya padaku, membuat emosiku naik lagi. Aku lupa ada Alya di antara kami saat ini.

"Ga usah bawa-bawa Pandu."

"Kenapa, gak terima?"

"Iya lah. Kami memang tidak ada hubungan apa-apa, beda sama kamu."

"Siapa yang tahu. Kalau dia laki-laki yang baik di harusnya tau, tidak boleh mengunjungi istri orang jika suaminya tidak di rumah."

"Hmmm kau benar. Jika wanitamu itu memang wanita baik-baik dia tidak akan menggunakan ibunya untuk meminta suami orang."

"Kau dibutakan oleh rasa kebencian Ratih."

"Kau juga dibutakan cintamu."

"Kau tahu kalau bukan karena Ibu dan anak-anak aku pasti sudah..."

"Sudah apa?" Suara Ibu menghentikan perdebatan sengit kami. Aku tidak tahu sudah berapa lama Ibu berdiri di pintu memperhatikan kami.

********--*-********

Ibu masuk mendekati kami yang sedang bertikai dengan sorot mata tajam ke arah Mas Pras, kemudian beliau mengambil alih Alya dari gendongan Mas Pras yang terlihat ketakutan karena pertengkaran kami. Ibu mencoba menghibur Alya. Sedangkan aku dan Mas Pras diam seribu bahasa, tak berani memulai pembicaraan sebelum Ibu buka suara.

"Kalian ini seperti anak kecil, ribut di depan anak," ucap Ibu kesal kepada kami.

"Eyaaaangggggg...." suara cempreng Aya dari arah luar, Dia berlari memeluk Ibu yang masih menggendong Alya, mencium tangannya, dan beralih kepadaku, kemudian duduk di pangkuan Mas Pras dengan manja. Untuk sementara pembicaraan kami terhenti karena Aya. Dia anak mulai kritis. Aku takut dia terluka, jika tahu yang sebenarnya terjadi diantara kedua orang tuanya.

"Nanti malam kalian kerumah, Ibu mau bicara." Ibu berkata datar. Kemudian pulang, setelah asisten rumah tangga Ibu datang menjemputnya.

---------

"Ibu sudah tau, ada yang tidak beres pada rumah tangga kalian," Ibu berkata dengan nada datar tapi tegas. Mas Pras melirik tajam ke arahku. Mungkin dia menganggap aku yang telah menceritakan badai rumah tangga kami pada Ibu.

"Bukan Ratih yang memberi tahu Ibu, Pras," rupanya Ibu juga menangkap maksud lirikan Mas Pras padaku. "Semua orang waras pasti mengira demikian, untuk apa tiap malam kamu cekikikan di kamar belakang toko? Dengan siapa kamu bicara? Kamu pikir Ibu tidak tahu? Jika Ibu tanya, kamu pura-pura serius, lalu menjawab sibuk. Kamu pikir Ibu bodoh?" cecar Ibu pada Mas Pras, rupanya sekian lama Ibu hanya diam mengetahui ulah anaknya, dan sekarang Ibu tumpahkan semuanya. Namum, Mas Pras tidak menjawab dia hanya tertunduk semakin dalam.

"Pras. Tolong, jujurlah pada Ibu," ujar Ibu dengan lembut.

"Maafkan, Pras Bu..." gumamnya lirih

"Kau tidak perlu meminta maaf pada Ibu, minta maaflah pada Ratih dan anak-anakmu. Kau sudah menelantarkan mereka gara-gara wanita itu." Ibu berkata dengan datar. Namun kelihatannya Mas Pras sedikit tersinggung dengan ucapan ibunya, raut wajahnya menunjukkan itu.

"Bu, kapan Pras menelantarkannya? Ibu jangan berlebihan. Pras masih bertanggung jawab pada keluarga Pras, Bu," sanggah Mas Pras mencoba membela diri. Sedangkan aku hanya diam saja menyimak pembicaraan ibu dan anak ini. Tanpa menyela sedikitpun.

"Pras, yang namanya bertanggung jawab bukan hanya urusan makan dan selangkangan. Tapi juga rasa aman, damai dan ketentraman dalam keluarga itu lebih penting dari semua itu," ucap Ibu sengit.

"Kalau kamu tiap malam keluar rumah sampai larut, kapan waktumu untuk anak dan istrimu, Nak. Seharian kamu sudah bekerja, meninggalkan rumah. Malam adalah waktunya kamu bersama istri dan anak-anakmu. Kalau terjadi apa-apa di rumah, saat kamu keluar. Bagaimana dengan menantu dan cucu-cucu Ibu? Apa kamu pernah berpikir sampai sejauh itu," lanjut Ibu yang lebih terdengar seperti ceramah dari pada sekadar omelan.

"Tapi nyatanya, kan, gak terjadi apa-apa, Bu," sanggah Mas Pras dengan santai memasang wajah tak berdosa.

"Apa???? Tidak terjadi apa-apa? Jadi, Ratih yang kecelakaan sampai hampir mati, itu karena siapa? Karena kamu! Jangan kamu pikir Ibu tidak tahu." Ibu mulai naik pitam. Nada suaranya meninggi.

"Itu kecelakaan, Bu," sergah Mas Pras menenangkan Ibu.

"Alasan! Ibu minta mulai detik ini tinggalkan wanita itu."

"Bu, tolong, aku sudah dewasa, Bu. Biarkan aku menentukan jalan hidupku sendiri."

"Oya, jalan hidup yang bagaimana maksudnya?" tanya Ibu tanpa menoleh ke arah Mas Pras.

"Aku mau menikahinya, Bu." Mas Pras menjawab pendek. Pedih kurasa saat mendengar Mas Pras mengutarakan keinginannya. Air mataku jatuh tak tertahankan lagi. Ibu mengernyitkan dahi. Memandang Mas Pras dengan tatapan marah.

"Ratih?" Ibu menoleh ke arahku. Meminta pendapatku, walaupun sebenarnya Ibu tahu jawabnnya dengan hanya melihat melihat air mata di pipiku. Aku tak menjawab, Hanya menunduk sambil menyusut air mataku.

"Kau lihat, Ratih tidak setuju, begitu pula Ibu. Jadi tidak ada acara cerai tidak ada acara menikah lagi. Titik, ibu tidak mau dibantah," ujar dengan tegas. Ibu mengakhiri bicaranya. Mas Pras beralih mendekat pada Ibu. Dia berlutut di depan ibu yang duduk di kursi. Tangan Ibu di pegangnya erat.

"Ibu, dari dulu aku selalu menuruti keinginan Ibu. Apapun itu, bahkan saat menikah dengan Ratih pun, aku menuruti keinginan Ayah dan Ibu. Walaupun aku tidak mau. Sekali ini aku minta, tolong restui aku, Bu. Aku anak Ibu satu-satunya. Apa Ibu tidak ingin melihat aku bahagia?" tanya Mas Pras dengan tatapan memohon, ia mencoba membujuk Ibu dengan mengutarakan isi hatinya. Ibu menghela napas. Membalas tatapan anaknya dengan lembut, dengan membelai kepalanya penuh kasih sayang.

"Pras, Ratih perempuan begitu pula Ibu, Nak. Ibu tahu sakitnya diduakan. Ibu tahu. Dan yang Ibu takutkan, karma akan dialami juga oleh cucu-cucu Ibu, anakmu, Nak. Ibu tidak mau mereka mengalami sakit seperti yang pernah dialami Mamanya dan neneknya," ucap Ibu sedih, sembari menerawang seperti sedang mengingat kejadian di masa lalunya yang kelam.

"Bu, jangan berpikiran sempit. Karma itu tidak ada dalam agama kita, Bu. Itu takhayul." Mas Pras masih mencoba membujuk Ibu. Ibu menghela napas tipis. Kemudian memandang Mas Pras dengan tatapan kecewa.

"Ibu percaya, kamu adalah anak Ibu yang baik, kamu sudah dewasa. Kamu bisa pikirkan mana yang baik dan yang buruk untuk hidupmu. Tapi jika kamu tetap pada keputusanmu, Ibu bisa apa? Pergilah dengan wanita pilihanmu. Biarkan Ratih dan anak-anakmu tinggal bersama Ibu," ucap Ibu kemudian menepis tangan Mas Pras dengan kasar, lalu beranjak pergi memasuki kamarnya. Meninggalkan kami berdua.

Mas Pras terperanjat mendengar keputusan Ibu, begitu pula aku. Tak kusangka Ibu lebih memilih aku dibanding Mas Pras. Anak semata wayangnya. Mas Pras tergugu di kursi sofa. Aku tak tahu pasti dia menangis karena apa. Karena ucapan Ibu atau karena merindukan wanitanya. Entahlah.

****************

Sejak pembicaraan dengan Ibu, malam itu. Mas Pras menjadi orang asing bagi aku dan anak-anak. Dia menjadi semakin pendiam dan lebih dingin. Mas Pras seperti kehilangan semangat hidupnya, selalu murung.

Aku menjadi serba salah. Apakah aku terlalu egois dengan mempertahankan prinsipku? Aku mencoba menghiburnya dengan membuat makanan kesukaannya, mengajaknya ngobrol di kala ia melamun, tapi hasilnya nihil. Mas Pras hanya tersenyum canggung, mengucapkan terimakasih lalu pergi. Aku dianggapnya seperti orang lain.

"Mas, sedang apa?" tanyaku basa-basi melihatnya melamun di kursi teras.

"Ga ada," jawabnya pendek tanpa menoleh kepadaku.

"Mas, Nina ngerayain ulang tahun anaknya besok sore, Aya dan Alya diundang. Besok, Mas anterin, ya," ucapku riang. Berharap Mas Pras mau mengantarku.

"Pergi, sendiri aja, ya."

"Tapi, Mas kan besok libur. Ga ngantor."

"Lagi pengen di rumah saja."

"Trus, aku pergi sama siapa?"

"Sama anak-anak."

"Yang nganter?"

"Besok aku teleponkan Pak Tikno."Dia berlalu meninggalkan aku di kursi teras sendiri. Sakit. Namun aku tidak putus asa, aku megikutinya dari belakang.

"Mas, mengapa seh, Mas jadi seperti ini?"

"Ga apa-apa?"

"Katakan, Mas ada masalah apa? Ayo kita selesaikan bersama. Jangan di pendam sendiri," pintaku padanya. Mas Pras menghela napas berat.

"Aku tidak berhak atas diriku. Aku hanya bertugas membahagiakan orang lain. Tapi mereka tak memikirkan kebahagiaanku."

Degh. Seperti ada sebuah beban berat menimpa pundakku. Aku mengerti maksud pembicaraannya. Namun aku masih diam, membiarkannya agar terus berbicara. Siapa tahu dengan begitu, bebannya menjadi sedikit berkurang. Dan ia kembali seperti sedia kala.

"Ratih, terimakasih atas cintamu yang begitu besar padaku. Aku tak bisa pungkiri, selama delapan tahun menikah, aku mulai terbiasa dengan kehadiranmu sebagai teman hidupku. Tapi ada ruang kosong yang hampa di sudut hatiku, yang tidak bisa aku mengerti." Mas Pras berkata dengan datar, nyaris tanpa ekspresi, dan tidak menoleh kepadaku. Aku mencoba mencerna kata-katanya, berharap ia bicara lebih banyak lagi denganku. Tapi dia berlalu dari hadapanku. Atau lebih tepatnya menghindariku.

--------

Sudah tiga hari ini Mas Pras tidak masuk kantor, badannya lemah, tapi dokter tidak menemukan sesuatu yang aneh pada tubuhnya. Semuanya baik-baik saja, menurut hasil pemeriksaan dokter. Namun semakin hari tubuh Mas Pras semakin ringkih, karena ia tidak mau makan.

Aku menerka-nerka, mungkin bukan sakit fisik yang Mas Pras derita, tapi sakit batin. Cintanya kepada Lily yang begitu dalam dan ancaman dari Ibu yang membuat dia menjadi sakit.

Aku merasa menjadi wanita yang paling jahat. Membuat orang yang kucintai menderita. Aku tak tega melihat suamiku menjadi hilang semangat. Mungkin aku tak sanggup untuk di madu tapi aku juga tak bisa melihatnya seperti mayat hidup. Jika aku tetap pada prinsipku, bagaimana dengan anak-anakku? Keputusanku akan melukai banyak orang. Tapi jika aku yang mengabaikan prinsipku, apa aku sanggup berbesar hati untuk berbagi suami?

Mas Pras menggeliat, rupanya ia baru saja terbangun dari tidurnya. Aku segera membuatkan teh hangat untuknya.

"Mana anak-anak?" tanyanya lirih.

"Mereka dijemput Ibu. Tadi Ibu ke sini. Tapi, karena kamu tidur Ibu ga tega bangunin. Ibu nitipin ini," ucapku sambil menyodorkan sebuah map padanya.

Dia mengambil map itu, kemudian segera membuka isinya. Mas Pras terperanjat melihat isi map itu. Seolah tak percaya dengan apa yang barusan ia baca.

***★***

Sebenarnya map itu bukan dari Ibu. Itu map dariku. Yang berisi surat pernyataan kesediaanku untuk dipoligami. Bukan tanpa alasan akhirnya aku mengizinkan Mas Pras untuk menikah lagi. Ini melalui pemikiran yang panjang, dan pergolakan batin yang sangat melelahkan. Aku hanya punya satu harapan, jika suatu saat Mas Pras akan tahu bahwa, ada seorang wanita yang akan selalu ada untuknya yaitu, aku istrinya.

Bagi sebagian wanita ini adalah pilihan yang bodoh, begitu pula bagiku awalnya. Tapi bukankah sejatinya cinta bukan bagaimana kita memiliki tapi bagaimana kita bisa membahagiakan orang yang kita cintai.

Mungkin bagi sebagian kaumku poligami adalah hal yang sangat menakutkan. Sebenarnya bukan lebih masalah takut kasih sayang suami terbagi tapi masalahnya bagaimana bisa berdamai dengan ketakutan yang ada dalam diri.

"Ratih, ini???" Aku mengangguk mantap. Mas Pras menatapku dengan tatapan seolah tak percaya.

"Nikahilah Lily, aku ikhlas," ucapku lirih, tiba-tiba ada rasa haru menyeruak dalam dadaku. Aku tak dapat membendung air mataku, rasanya aku sudah melepaskan beban yang begitu berat di pundakku.

"Lalu Ibu..."

"Jangan khawatir tentang Ibu, aku yang akan bicara pada Ibu."

Ada bulir bening yang mengalir dari sudut mata sayu Mas Pras. Dia merengkuhku, "Terimakasih, Ratih. Aku akan berusaha untuk adil." Aku tersenyum getir. Meskipun masih ada ragu yang menggelayut. Bukankah keputusan ini sudah di ambil.

----------

Sesuai janjiku, malam ini aku dan Mas Pras menemui Ibu untuk membicarakan pernikahan kedua Mas Pras. Ibu terkejut dengan keputusanku, karena sebelumnya Ibu tahu jika aku tidak mau dimadu. Bukan hal yang mudah meyakinkan Ibu, apalagi Ibu juga mengalami trauma diduakan oleh almarhum Ayah. Tapi berkat penjelasanku Ibu akhirnya melunak.

"Kamu sudah yakin dengan keputusanmu, Nak?" tanya Ibu dengan sorot mata penasaran.

"Iya Bu," sahutku mantap.

"Ibu harap kau tidak menyesal dengan keputusanmu ini," ujar Ibu sambil melangkah menuju jendela ruang keluarga yang terbuka.

"InsyaAllah Bu," jawabku pendek.

"Tapi, Ibu masih ragu. Ibu harus tahu seperti apa dia. Apakah dia memang pantas untuk anakku? Aku tak akan menyerahkan putraku pada orang sembarangan. Kalau perlu dia harus berada di atas Ratih dalam segala hal," ucap Ibu tanpa menoleh kepada kami. Ia masih saja berdiri di dekat jendela dan melihat ke arah luar. Mas Pras hanya diam, dia menghela napas berat.

"Sebelum kau menikah nanti, segala bentuk kekayaan dan tabungan Ibu minta segera di atas namakan Aya dan Alya dengan Ratih sebagai walinya. Gajimu juga, Ratih yang akan mengatur semua pengeluaranmu, berikut jatah untuk wanitamu itu. Ingat, Ibu mau ada perjanjian hitam di atas putih. Ibu juga tidak mau memiliki cucu selain dari Ratih. Kau mengerti, Pras? Satu hal lagi, jangan pernah membawa wanita itu kehadapan keluarga besar kita, Ibu tidak sudi. "Ibu...." Mas Pras mendesis pelan, tampaknya ia merasa keberatan.

"Ini keputusan Ibu, kalau kau masih mau dianggap anak!" ucap Ibu tegas dengan setenfah mengancam.

"Ibu, jangan..." Ibu memotong sebelum aku menyelesaikan kata-kataku.

"Kau terlalu lemah karena cintamu, Ratih. Ini Ibu lakukan ini untuk cucu Ibu."

Mas Pras menelan ludah. "Baiklah, Bu. Secepatnya Ratih akan bawa wanita itu menemui Ibu," aku menjawab mantap.

"Baguslah, lebih cepat lebih baik. Biar cepat selesai masalah ini. Pras, Ibu ingin bicara berdua saja dengan Ratih, bisa kau tinggalkan kami," pinta Ibu.

Mas Pras segera menuruti perintah Ibu. Ia keluar membawa motor matic Ibu yang terparkir di halaman entah kemana. Ibu mendekat, dan duduk di sebelahku.

"Nak, Ibu tanya sekali lagi, kamu yakin dengan keputusanmu ini?"

"Iya, Ibu. Ratih sangat yakin. Asal Mas Pras bahagia, Ratih juga bahagia, Bu."

"Omong kosong!"

"Ibu, tolong hargai keputusan Ratih, ini untuk kebahagiaan Mas Pras, putra Ibu. Bukankah Allah memberi ujian kepada hambaNya sesuai dengan kemampuannya Ibu. Berarti Ratih mampu, kan Bu."

"Ibu, benar-benar tidak mengerti jalan pikiran kamu."

Ibu kemudian diam. Keadaan hening. Beberapa saat kemudian Mas Pras kembali. Ia masuk dengan langkah gontai dengan wajah lesu.

******★******

Mas Pras terus melangkah menuju taman belakang, di mana Aya dan Alya sedang bermain di temani oleh asisten rumah tangga Ibu. Dia kembali dengan menggendong Alya di tangan kiri dan menuntun Aya di tangan kanannya.

"Ayo, pulang," ajaknya padaku.

"Papa, Aya mau nginep di rumah Eyang. Ya, boleh, ya," pinta Aya dengan manja.

"Jangan, besok sekolah" jawabnya datar

"Yah... Papa. Aya kan pengen dengerin cerita Eyang. Papa gak pernah ceritain Aya kalau mau tidur," ucapnya sewot sambil memonyongkan bibir mungilnya.

"Biarlah dia di sini, Pras. Toh, nanti dia juga akan tinggal sama Ibu," ujar Ibu menyela pembicaraan Mas Pras dan Aya. Gadis kecilku yang ceriwis itu terlihat bengong mendengar ucapan eyangnya.

"Sayang, nanti Mama yang cerita ya. Sekarang Aya pulang dulu. Besok main lagi ke sini, ya," ucapku berusaha menenangkan Aya.

Kami berpamitan pada Ibu, kemudian kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan pulang, Aya manyun dan Mas Pras masih terlihat murung. Untungnya Alya tidak rewel. Ia tertidur pulas di pangkuanku.

Sesampai di rumah, Aya langsung masuk ke kamarnya. Memeluk guling dan memejamkan mata. Rupanya dia masih jengkel. Padahal biasanya dia akan tidur jika aku atau Mas Pras menemaninya.

"Ratih, boleh aku tanya padamu?" Mas Pras menghampiriku di ruang tengah sambil membawa dua cangkir teh hangat, tidak seperti biasanya, dia hanya membuat teh untuk dirinya saja. Aku hanya mengangguk, tanda mengiyakan.

"Mengapa tiba-tiba kau mengijinkanku menikahinya? Bukankah dulu kau sangat membencinya? Apakah kau sudah tidak mencintaiku lagi?" tanyanya menyodorkan satu cangkir teh itu padaku.

"Karena aku hanya ingin melihatmu bahagia. Selama ini aku tak pernah melihatmu memperjuangkan aku, seperti kau memperjuangkan Lily. Tatapanmu, ceriamu, perlakuanmu sangat berbeda. Aku tahu kau sangat mencintainya. Betapa beruntungnya dia," ucapku datar

"Kau benar-benar ikhlas?" tanyanya dengan raut wajah serius.

"Aku tidak tahu. Tapi aku akan berusaha. Anggap saja ini balas budi, karena kau telah bersedia menikah denganku dan menafkahiku dengan layak," aku berhenti sejenak mengesap nikmatnya teh hangat buatan suamiku untuk yang pertama kalinya. "Hanya satu pintaku, setelah kau menikah lagi nanti, tolong waktumu untuk anak-anak jangan berkurang," lanjutku dengan nada sedikit memohon atau lebih tepatnya memelas.

Mas Pras tidak menjawab, dia memberikan hapenya padaku. Hape yang tak pernah ia perbolehkan untuk aku sentuh. Rupanya dia menunjukkan foto pusara di sana, dengan batu nisan bertuliskan nama Srianingsih. Aku mengerti, ini pasti makam Bu Sri, ibunya Lily. Dari batu nisan itu diketahui bahwa Bu Sri, sudah meninggal sepuluh hari yang lalu. Ada rasa bersalah dalam hatiku. Aku tak bisa mewujudkan permintaan terakhir wanita tua itu.

"Kenapa Mas baru memberi tahu?"

"Aku juga baru tahu, itupun dari teman," sahut Mas Pras datar.

"Kok gitu?" tanyaku heran.

"Sejak kejadian sore itu, Lily mengundurkan dari kantor. Dia juga tidak mengangkat teleponku, bahkan sms dan BBM ku pun tidak dibalasnya," jelasnya padaku diakhiri dengan dengusan kesal.

"Hmm... Besok kita takziah, ya Mas aku ikut. Sekalian ngomongin pernikahannya Mas dan Lily," ucapku datar walau sebenarnya masih penasaran terhadap perubahan sikap Lily.

-------

Sore ini aku mempersiapkan diri sebaik mungkin, rencananya aku dan Mas Pras akan takziah ke rumah Lily. Aya dan Alya aku titipkan di rumah Ibu, supaya tidak mengganggu ketika kami berbicara.

Kami tiba di sebuah rumah kecil di ujung gang komplek perumahan itu. Tak ada yang istimewa dari rumah sederhana itu, modelnya sama saja dengan rumah-rumah di sekitarnya hanya beda warna cat saja. Ada beberapa tanaman bunga hias yang tampak tidak terawat. Daun-daunnya sudah banyak yang layu, dan ditumbuhi rumput liar.

Mas Pras mengucapkan salam, sebentar kemudian Lily membuka pintu. Matanya sembab, wajahnya kuyu tubuhnya semakin kurus. Dia nampak terkejut melihat kedatanganku bersama Mas Pras. Dia mempersilahkan kami masuk.

"Lily, mengapa kau tidak mengabariku? Mengapa aku tau dari orang lain?" Mas Pras langsung mencecarnya dengan pertanyaan.

"Aku rasa tidak perlu," sahutnya ketus.

"Kami turut berduka cita, semoga Ibumu khusnul khotimah. Kamu juga yang sabar ya," ucapku tulus. Dia tersenyum mencibir.

"Terima kasih, atas simpatinya," ujarnya masih ketus.

"Lily, aku ke sini, ada yang ingin kubicarakan denganmu." Lagi-lagi dia tersenyum kecut. Jantungku berdegup kencang. Inilah saatnya aku melamar wanita untuk suamiku. Aku menarik napas panjang agar lebih tenang.

"Aku minta bersedialah menjadi saudaraku, menikahlah dengan suamiku," pintaku hati-hati takut membuatnya tersinggung. Aku tak tahu lagi seperti apa kata-kata yang tepat untuk meminangnya. Semoga saja dia tidak tersinggung.

Dia mengangkat sebelah alis ulat bulunya, kemudian tawanya pecah seketika. Aku dan Mas Pras berpandangan, merasa heran dengan reaksinya.

******---******



Sore ini cuaca terasa panas, hujan yang dinanti belum juga datang. Mas Pras pulang cepat dari kantor karena hendak mengantarkan aku dan Lily cek rutin ke dokter kandungan. Usia kehamilannya sudah memasuki 36 minggu dan kehamilanku baru 28 minggu.

Mas Pras datang menghampiriku dengan membawa dua gelas jus alpukat di tangan, dan memberikan satu untukku. Mas Pras duduk di kursi yang berseberangan denganku, hendak meminum jus alpukat buatannya, tapi Lily segera menyambarnya dan meneguknya tanpa sisa.

"Lily, kamu usil banget, ya," ucap Mas Pras sambil mencubit pipinya gemas.

"Biarin habis, Mas pilih kasih sih, Mbak Ratih aja dibuatin, Lily enggak," sahut Lily sewot.

"Loh, dia kan, lagi hamil,"

"Lily?" tanyanya dengan menunjuk ke arah perutnya yang sudah membuncit, seolah mengingatkan bahwa dia juga sedang mengandung. Aku tak bisa menahan tawaku melihat ekspresi Lily saat menunjuk ke arah perutnya.

"He... he... maaf," Mas Pras nyengir kuda. "Lily, sini sebentar," panggil Mas Pras dengan isyarat tangan supaya Lily duduk di sampingnya.

"Apaan sih, Mas? Lily mau di kamar aja," ucapnya dengan bibir manyun. Mas Pras melotot. Akhirnya dia menurut juga, dengan langkah gontai dia malah merebahkan diri di pangkuan Mas Pras.

"Eh, Manja ,ya. Semoga kalau anak ini lahir mirip aku," ucap Mas Pras tengil memasang wajah tak berdosa.

"Ogah!!!! Amit-amit jabang bayi deh," ucap Lily sambil terkekeh. Mendadak wajah Mas Pras menjadi serius.

"Lily, jika nanti anak ini sudah lahir, Mas mohon jangan bedakan antara anak kandung dengan anak tirimu, ya," pinta Mas Pras tulus. Aku menelan ludah mendengar kata-kata Mas Pras. Dalam hati aku juga ragu.

"Ga tau deh lihat entar," jawab Lily dengan cueknya.

"Serius Lily!"

"Lily enggak weeeekk," jawabnya santai lalu menjulurkan lidahnya. Mas Pras semakin gemas dan mengacak-acak rambutnya.

-------

Lily menghentikan tawanya dan menyusut air bening di sudut matanya.

"Kau pikir aku mau menikah dengan Mas Pras? Kau salah besar. Dari awal aku kan sudah bilang, dia Mas Prasku. Tunggu di sini sebentar." Lily beranjak dari kursi masuk ke dalam kamar. Kemudian keluar dengan membawa sebuah tas yang isinya adalah sebuah album foto dan sebuah map.

"Lihatlah," pintanya sambil menyodorkan album foto dan map itu. Mas Pras mengambil album foto dan aku mengambil mapnya. Map itu berisi sebuah akta kelahiran dan buku nikah. Betapa terkejutnya aku, melihat data yang tertera di akta kelahiran itu. Disana tertulis, bahwa telah lahir anak perempuan dengan nama Aprilya Pratidina Wijadmiko, dari perkawinan antara Handoko Wijadmiko dan Srianingsih.

Aku segera meraih buku nikah itu. Benar, di buku nikah ini tertulis nama mempelainya adalah almarhum ayah mertuaku dan ibunya Lily. Kepalaku mendadak pusing tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

Mas Pras tampak shock melihat foto-foto di album, sampai dia tak sengaja menjatuhkan album itu dari tangannya. Aku memungutnya. Disitu masih terlihat dengan jelas, foto pernikahan dan foto ketika Bu Sri muda menggendong seorang bayi perempuan ada foto Ibu di sana. Foto-foto tua yang sudah menguning tepinya itu menyimpan sebuah cerita yang tak pernah aku ketahui sebelumnya.

"Jadi.. jadi.." aku tak bisa meneruskan kata-kataku.

"Iya Mbak. Aku adalah adik Mas Pras. Ibuku adalah perempuan yang terlalu baik atau bisa dibilang naif. Dia memberikan suaminya untuk orang lain ya seperti Mbak ini. Bodoh," ucapnya sengit.

"Menurut cerita Ibu, pernikahan Ayah dan Ibu tidak disetujui oleh orang tua Ayah karena ibuku besar di panti asuhan. Kemudian Kakek menjodohkan Ayah dengan Bu Mirna, mertua Mbak Ratih. Ibu dipaksa untuk menadatangani surat persetujuan poligami itu."

"Dan kau tau Mbak, Bu Mirna itu adalah wanita yang cerdas atau lebih tepatnya licik, dia menguasai semua aset Ayah. Jatah bulanan dia yang atur. Bahkan ketika dia melahirkan Mas Pras dia langsung menuntut Ayah untuk menceraikan Ibu. Tapi Ayah tidak mau, karena saat itu Ibu sedang mengandung. Bu Mirna marah besar. Dia merasa diduakan. Padahal dia yang merebut ayahku dari Ibu," jelasnya dengan suara parau menahan tangis.

"Dan sejak aku mengetahui kisah ini, aku berjanji untuk mencari kakakku. Ternyata Tuhan mengabulkan doaku. Aku diterima kerja di bank yang sama dengan Mas Pras. Aku mencurigainya saat aku lihat nama belakangnya sama denganku. Prasetyo Wijadmiko dan Mbak lihat, kan, wajahku mirip dengannya," ucapnya sambil mengusap air mata yang menganak sungai di pipi mulusnya.

"Aku mencoba mendekatinya, namun rupanya Mas Pras salah paham dengan maksudku, dan ternyata pernikahan Mbak juga ada sedikit masalah. Ya sekalian dah, aku layani sekalian untuk memberi pelajaran karena telah membuat hidupku menderita," dia tertawa getir diantara tangisnya.

"Dari kecil aku hanya berdua dengan Ibuku, Ibu kerja serabutan untuk menyambung hidup. Siang dia bekerja di gudang tembakau kadang juga menjadi buruh cuci. Ibu, menderita sepanjang hidupnya. Karena mensedekahkan suaminya untuk Ibumu," Lily berkata sengit dengan sorot mata yang tajam pada Mas Pras.

"Lily, aku tak tahu harus bicara apa? Izinkan aku menebus semua yang telah Ibuku perbuat padamu." Mas Pras berkata dengan lirih dan tatapan nanar.

"Awalnya aku ingin menghancurkan rumah tanggamu, tapi mengingat kedua anakmu, aku jadi tidak sampai hati. Mereka juga keponakanku. Ibuku yang malang, tidak pernah mengetahui kebenaran ini. Dan Mbak Ratih, dia adalah wanita yang tegar Mas. Ayah tidak salah memilihkan jodoh untukmu." Dia tergugu. Entah apa yang membuatnya terisak.

"Ibu. Tidak mungkin Ibu sejahat itu." Mas Pras mendesis. Dia menggeleng seolah tak mempercayai kata-kata Lily.

"Kau bisa menanyakannya pada Ibumu," Lily berkata tanpa menoleh ke arah kami.

--------

Hape Mas Pras berdering, karena Mas Pras sedang sholat aku langsung menerimannya.

"Assalamualaikum," ucapku membuka pembicaraan.

"Waalaikumsalam, Mbak. Dimana Lily? Kenapa dia tak menjawab telponku?" tanya pria di seberang tidak sabaran. Dia adalah Pandu.

"Oh, kelihatannya dia sudah tidur, kamu kapan selesai diklatnya?"

"Tadi sore penutupannya, sekarang sudah perjalanan pulang kok, Mbak. Kalau lancar dua jam lagi nyampe. Nanti aku langsung jemput Lily."

"Oh ya nanti aku sampaikan."

"Bagaimana kandungannya Lily?"

"Baik-baik saja. Tadi aku cek up bareng sama dia. Katanya HPL nya minggu-minggu ini. Dan bayinya cewek, lho."

"Alhamdulillah, akhirnya aku punya anak cewek. Eh, udah dulu, ya Mbak. Mumpung busnya berhenti, aku mau ke toilet dulu."

"Oke, hati-hati di jalan ya."

Setelah mengucapkan salam, Pandu memutus sambungan telepon. Pandu mengikuti Diklat PLPG selama sepuluh hari di luar kota, selama dia pergi, dia meminta Lily untuk tinggal bersama kami. Dia merasa khawatir karena Lily sedang hamil tua.

Aku kaget ketika Mas Pras memelukku dari belakang. Tangannya mengusap lembut perutku yang mulai membuncit.

"Ini yang terakhir lho, ya." Aku memegang tanganya. Menghentikan aktivitasnya mengelus perutku.

"Ga janji, kalau ga laki-laki ya bikin lagi," selorohnya.

"Kalau laki-laki, berarti dah stop ya," ucapku memastikan.

"Ehmm.. aku pikir gak juga. Ha..ha.." kelakarnya.

"Ihhh...." aku mencubit tangannya gemas. Mas Pras mengaduh, sebentar kemudian tertawa cekikian.

Allah menunjukkan caranya yang sungguh Indah dalam menyatukan kami. Lily yang awalnya datang sebagi duri dalam rumah tanggaku, ternyata kehadirannya mengajarkan banyak hal. Jalan yang tampak buruk di mata kita, terkadang jalan itulah yang terbaik dari Tuhan. Karena yang tampak benar tidak selalu benar, dan yang tampak salah tidak seluruhnya salah.

Selesai

***+***


By: Tutukz Nury Firdaus

SUAMIKU BUKAN SUAMIKU (BAB 1)




#ceritafiksi

"Aku mencintainya, " katanya datar. Tapi mampu membuat duniaku runtuh seketika. Delapan tahun aku berumah tangga dengannya. Ada dua gadis mungil di tengah-tengah kami. Buah cinta kami. Bukan, bukan buah cinta. Hanya aku yang mencintai suamiku. Dia tidak. Aku pikir setelah ada dua gadis mungil dia telah mencintaiku. Ternyata aku salah.

Kami menikah atas sebuah perjodohan. Dari awal dia memang menolak perjodohan ini. Dia sempat pergi keluar kota dengan alasan kuliah, untuk menunda pernikahan kami. Dari kota itu dia menyurati aku. Agar bersedia memohon pada orang tuaku untuk membatalkan perjodohan ini. Tapi mana mungkin aku lakukan. Karena aku benar-benar mencintainya. Dia adalah cintaku. Cinta pertamaku. Namanya selalu ada dalam doa-doaku. Aku tak melakukan permintaannya. Justru aku meminta pada orang tuaku untuk segera dinikahkan dengannya. Karena aku tahu dia tidak bisa menolak dan melawan permintaan ayahnya. Itu menjadi senjata andalanku.

Ternyata Tuhan mengabulkan permohonanku. Kini sudah delapan tahun aku menjadi istrinya. Tapi aku hanya memiliki raganya namun tidak dengan hatinya. Kini, dia meminta ijinku untuk menikah lagi. Dengan wanita yang ia cintai. Tuhan... Kuatkan aku.

*********************

Aku tak curiga saat suamiku hendak membeli handphone baru. Aku justru gembira. Itu berarti aku dapat handphone baru juga, bekas suamiku itu. Menggantikan handphone tulalit jadulku yang keypadnya sudah banyak yang jebol.

----

Seharian suamiku berkutat dengan handphone barunya. Wajar, pikirku. Tapi belakangan dia semakin sibuk. Sibuk dengan pekerjaannya sebagai pegawai Bank. Semalaman berkutat dengan laptop dan handphone. Sibuk sangat sibuk. Pulang ke rumah dia mandi, sholat, makan kemudian berkutat lagi dengan laptopnya hingga larut malam. Dan ada lagi kebiasaan barunya memakai headset dan mengunci hp dengan sandi.

"Aya... ayo dong jangan ganggu Papa!" Kulihat suamiku mendengus kesal dengan ulah Aya, anak sulungku. Segera aku turun tangan. Aku jewer telinganya.

"Aduh... Mama sakit, Ma," Aya mengerang kesakitan.

"Ingat, Mama bilang apa? Jangan ganggu Papa saat bekerja!" Aku memperingatkan Aya agar menjauhi Papanya.

"Tapi, Ma. Papa itu ga kerja. Cuma main-main aja." Aku mengernyitkan dahiku. Mana mungkin suamiku sebegitu marahnya pada anak kesayangannya itu jika Aya tidak mengganggunya.

"Aya, cuma mau pinjem headset Papa. Papa sampai marah begitu." Jawabnya sambil keluar menuju halaman rumah bergabung dengan anak tetangga yang sedang asik bermain lompat tali. Sedangkan suamiku. Dia hanya menoleh dan meneruskan mengotak-atik laptopnya sambil sesekali melihat ke arah hape baru itu. Aku kembali ke dapur meneruskan aktivitasku membuat makanan mp-asi untuk anak keduaku yang baru berusia sembilan bulan.

"Iya, Aya nanti kita ke pasar malam. Sekarang Aya jangan ganggu Papa dulu." Aku dengar suamiku berdebat lagi dengan Aya.

"Papa, ayo dong Aya cuma mau pinjam headsetnya. Sebentar saja." Aya masih saja terus merengek manja.

"Pokoknya enggak ya enggak!" Dan sekali lagi, dia berkata pada Aya dengan nada tinggi. Hal yang sangat jarang dia lakukan atau bahkan bisa dibilang tidak pernah.

Segera aku bergegas menyelesaikan aktivitasku di dapur. Sampai di ruang tengah langsung aku sambar lagi telinga Aya.

"Aduh.. aduh... sakit Ma" Aya mengaduh sambil memegangi telinganya.

"Sudah berapa kali Mama bilang jangan ganggu Papa." "Harusnya Mama berterimakasih sama Aya. Aya itu sayang sama Mama." Aya tak mau kalah.

"Apa maksud kamu Aya?" Aku agak terkejut mendengar jawaban yang tidak ku duga.

"Tidak ada. Pokoknya kalau nanti tidak ke pasar malam rahasia Ayah akan ku bongkar." Aya berlalu sambil mengerling penuh arti pada Papanya. " Beres" jawab suamiku dengan mengacungkan dua jempolnya.

Hatiku mencelos. Rahasia? Apa rahasianya. Mengapa raut wajah suamiku langsung berubah setelah Aya mengancamnya. Aku memnadang tajam suamiku. Meminta penjelasan. Tapi seperti biasa. Dia acuh kepadaku. Kami memang jarang bicara. Jarang mengobrol bersama. Walaupun kami sama-sama di rumah. Suamiku lebih suka bercanda dan bermain-main dengan anak-anak dari pada ngobrol denganku. Begitupun aku. Tapi, kali ini beda. Ada rasa yang tidak bisa aku jelaskan. Ada ketakutan yang tiba-tiba menelusup dalam hatiku.

**************

Malam harinya kami sekeluarga, Suamiku, aku, Aya dan anakku yang kecil pergi ke Pasar Malam. Kulihat Aya sangat bahagia disana. Suamiku dan Aya bermain-main dengan gembira, tak lupa juga befoto-foto dengan hape baru. Dan akulah yang jadi juru foto mereka. Melihat kegembiraan mereka aku tak tega merusaknya. Kuredam sendiri semua perasaan gundah dalam hatiku. Aku berharap semua akan kembali normal seperti sediakala.

Tapi sejak kejadian sore itu, Mas Pras-Suamiku semakin menjaga jarak denganku dan Aya. Hari-hari kami biasa walau tetap ada yang berbeda. Mas Pras semakin sibuk, dan jarang bisa bersama dengannya. Tiap hari dia selalu pulang ke rumah dengan tepat waktu. Namun dia bagai orang lain. Bukan Mas Pras yang biasanya. Dia lebih senang menghabiskan waktu sendiri, bersama dengan laptop dan hape barunya. Seperti malam ini selepas Isya, dia sudah mengemasi laptop dan segala perangkatnya.

"Aku mau ke Toko Ibuku." Pamitnya datar Aku hanya mengangguk mengiyakan. Baru pukul lima sore dia tiba di rumah. Sekarang sudah pergi lagi. Dan selalu begitu pada hari-hari berikutnya. Dia lebih senang berada di toko Ibu Mertua, dari pada bermain dengan anak-anaknya. Dia baru pulang setelah hampir tengah malam.

Aku ingin protes sebenarnya. Tapi apa daya aku tak sanggup bicara padanya. Takut dia marah padaku dan meninggalkan aku dan anak-anak. Namun naluriku sebagai wanita mendorong untuk mengikutinya malam ini. Setelah Alya-anak bungsuku tidur, tanpa sepengetahuannya aku datang ke Toko. Sampai di sana aku memberi isyarat pada penjaga toko untuk tidak memberitahukan kedatanganku pada Mas Pras.

Penjaga Toko memberi tahu, kalau Mas Pras ada di ruang belakang toko ini. Didekat gudang ada buah kamar dengan ukuran 3×3 m. Terdapat sebuah dipan single bed dengan sprei warna coklat. Serta satu buah meja kerja lengkap dengan komputer dekstop. Aku berjalan mengendap-endapsecara berhati-hati agar tidak di ketahui suamiku. Kudengar Mas Pras tertawa renyah. Dengan siapa bicara? Entahlah.Aku hanya berdiri di balik pintu tanpa berani membukanya.

Dengan segenap kekuatan yang tersisa, aku tata hati ini yang sedari tadi remuk redam mendengar pembicaraan mereka berdua. Bukan masalah isi pembicaraannya yang membuat aku cemburu. Tapi, bagaimana Mas Pras bisa senyaman itu bicara panjang lebar, bercerita ini itu, tertawa lepas dengan teman bicaranya itu. Namun, aku tak mau berburuk sangka. Mungkin itu teman lamanya. Atau saudara jauhnya yang telah lama tak berjumpa. Aku mencoba berpikir positif. Aku tarik napas dalam-dalam. Kemudian pulang kerumah takut anak bungsuku bangun dari tidurnya.

"Mama, dari mana sih lama amat? Aya kan takut Adek nangis, Ma," baru saja sampai di rumah, Aya sudah memberondongku dengan pertanyaan.

"Mama dari toko Eyang." Aku menghempaskan tubuhku ke sofa.

"Kok tidak bawa apa-apa?" Ya ampun aku lupa harusnya aku membeli sesuatu untuk Aya. Entah itu hanya sekedar biskuit atau susu kesukaannya sebagai reward karena mau menjaga adiknya.

"Mama lupa bawa uang. Besok deh ya mama buatin puding kesukaan Aya." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan.

" Beneran lo Ma. Janji ya." Aya tampak senang. " Tapi dengan satu syarat."

" Apa?"

" Aya jawab dulu pertanyaan Mama."

" Oke, janji," jawab Aya penuh semangat sambil menautkan jari kelingkingnya dengan kelingkingku.

" Ada rahasia apa Aya dengan Papa?"

Seketika raut wajah Aya menjadi murung. Wajahnya menunduk. Aku dekati dia, aku belai rambutnya.

"Aya... Aya, sayang kan sama Mama?" Aku masih mencoba membujuknya. Dia hanya mengangguk pelan.

"Lihat wajah Mama, Sayang?" Dia mendongakan kepalanya.

"Tapi Aya sudah janji sama Papa, dan Pak Ustad bilang kita tidak boleh ingkar janji."

" Kalau begitu Mama ubah pertanyaannya, mengapa Aya pengen banget pinjam headset Papa?"

" Ehm... soalnya Aya pengen dengerin musik kayak Papa." Bukan bukan jawaban itu yang aku ingin dengar.

" Selain dengerin musik biasanya Papa ngapain lagi dengan headsetnya?"

"Bicara sama orang."

"Aya dengar?"

"Iya, dengar kadang-kadang."

"Suaranya laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan."

Ya Allah... benar dugaanku. Aku tak kuasa menahan airmataku. Segera aku masuk ke kamar melihat anak bungsuku. Aku tak mau Aya melihatku menangis. Aku benar-brnar cemburu. Mas Pras bisa selepas itu ngobrol dengan wanita lain. Sedangkan denganku, istrinya yang selama delapan tahun bersamanya dia jarang bicara denganku, kecuali ada masalah keluarga. Selebihnya tak ada. Mas Pras benarkah tak ada cinta dihatimu untukku?

***********

Hari ini hari Sabtu. Mas Pras tidak masuk kantor. Biasanya sehabis subuh dia jalan-jalan bersama Aya atau sekedar jogging keliling kampung. Tapi tidak kali ini. Seharian hanya bermalas-malasan di kamar. Alya pun luput dari perhatiannya. Dia datang pada Alya saat menangis saja. Dia benar-benar berubah menjadi seseorang yang tak aku kenal. Biarpun Mas Pras cuek padaku tapi dia adalah sosok ayah perhatian bagi Aya dan Alya.

Sampai detik ini pun aku tak berani menegurnya. Aku tak punya cukup bukti. Dan lagi pula buat apa aku menegurnya. Toh, kewajibannya sebagai suami dan ayah dia penuhi walau ada yang berkurang, tapi dia masih ada dan pulang ke rumah tepat waktu. Itu sudah cukup bagiku. Ini caraku mencintainya. Tak menuntut apapun. Segala keperluannya aku siapkan. Tanpa perlu dia mengatakannya. Rumah selalu bersih, barang-barangnya selalu rapi. Itu merupakan bentuk baktiku padanya. Tapi tampaknya semua itu tak cukup.

-*-

Sore yang indah, matahari masih memancarkan sinarnya yang hangat, angin bertiup sepoi-sepoi. Namun, tanpa kehadiran Aya dan Alya rumahku terasa sepi. Aya pergi ke Madrasah, Alya di bawa neneknya ke rumah sepupuku. Aku lihat suamiku duduk di teras. Masih khusuk dengan hapenya. Tapi anehnya dia hanya terpaku menatap layar hapenya. Penasaran, aku mengintip dari balik kaca jendela. Ya Allah... ternyata dia sedang memperhatikan foto seorang wanita. Kali ini aku tak dapat menahan diri. Segera aku temui dan duduk di sampingnya. Menyadari kehadiranku dia segera menutup layar hape itu dengan tenang.

"Siapa dia?" Aku bertanya dengan ketus.

"Maksudmu?" Dia pura-pura tidak mengerti.

"Aku melihatnya, jadi tak usah mengelak. Katakan!" Aku semakin gusar melihat wajahnya yang seolah tak berdosa.

"Lily, teman kantorku." Dia memjawab datar

"Teman??" Nada suaraku semakin meninggi.

"Ya." Dia masih bisa menjawab dengan santai.

"Sejak kapan kamu berteman? Sejak kapan kamu menyimpan fotonya?"

"Dia hanya teman." Masih dengan gaya yang sama. Santai dan merasa tak berdosa.

"Oya? Teman? Memangnya ada berapa teman perempuan yang kamu simpan fotonya? Kau pikir aku tidak tahu selama dua minggu terakhir tiap malam kamu kemana?" Emosiku semakin tak terkendali. "Mas, lihat aku. Jelaskan semuanya. Kau anggap aku ini apa? Aku..."

"Aku mencintainya." Dia menyela saat aku sedang meluapkan emosiku. Seketika aku terdiam. Pengakuannya membuat rasa sesak di dadaku semakin sakit. Dia mengatakannya tanpa ada ragu sedikitpun dalam nada suaranya. Tanpa ada rasa berdosa yang terpancar dari rona wajahnya. Tanpa ada rasa iba sedikitpun, tanpa memikirkan hancurnya perasaanku. Dia mengatakannya dengan yakin. Tanpa sedikitpun menoleh kepadaku. Walau airmataku telah menganak sungai dia tetap tak peduli. Dia justru kembali asik dengan hapenya. Cinta. Cinta macam apa yang hadir dengan menyakiti orang-orang di sekelilingnya.

"Bagaimana denganku? Apakah kau tak mencintai aku?" Ditengah pikiran yang kalut, kata-kata itu meluncur begitu saja. Dia hanya menoleh ke arahku, menarik napas dalam-dalam dan membuangnya begitu saja. Tanpa ada sepatah katapun. "Aku sudah tau jawabannya." Aku hapus air mataku dan hendak beranjak dari kursi.

"Maafkan, aku. Rasa ini hadir begitu saja. Ini di luar kendaliku."

Mendengar kata-katanya, aku tak kuasa lagi menahan emosiku. Aku berlari menuju kamar. Aku hempaskan tubuhku ke ranjang, menangis sejadi-jadinya.Menumpahkan semua rasa sesak dalam dadaku. Delapan tahun aku hidup bersamanya. Belum pernah dia mengatakan cinta kepadaku. Dan kini dia menyatakan cintanya untuk orang lain. Bukan untukku. Ya Allah jika dia memang bukan tercipta untukku mengapa Kau satukan kami dalam ikatan suci yang bernama pernikahan? Jika aku bukan tercipta dari tulang rusuknya, mengapa aku yang Kau jadikan ibu dari anak-anaknya? Apakah ini teguran atau ujian bagi rumah tanggaku? Apakah aku harus bertahan atau menyerah? Jika aku bertahan, apa yang harus aku perjuangkan? Jika aku menyerah bagaimana nasib anak-anakku?

*****---*******

Hubunganku dengan Mas Pras semakin memanas. Kami tidak bertegur sapa. Walaupun begitu aku berusaha tampak baik-baik saja di depan anak-anak. Seolah tidak ada apa-apa, apalagi di depan para sanak keluarga dan tetangga. Aku masih bersikap seperti biasa begitu pula Mas Pras. Apabila ada teman atau saudara bermain ke rumah aku dan Mas Pras akan bersikap seolah bahwa kami keluarga harmonis. Padahal di balik itu semua ada bara panas yang sedang membakar biduk rumah tanggaku.

Tapi bagaimanapun, diri ini hanya wanita biasa. Punya titik jenuh, ada kalanya juga butuh orang lain untuk berkeluh kesah. Rasanya kepalaku sudah tidak mampu lagi melihat ulah Mas Pras yang sekarang semakin gila. Siang malam hanya berkutat dengan handphone, headset dan laptopnya. Lelah menghadapi semua ini. Akibatnya aku sering uring-uringan. Aya dan Alya menjadi korban pelampiasan kekesalanku. Beruntung, Aya di jemput oleh Ibuku tadi siang untuk berlibur ke rumah adikku yang berada di Yogyakarta selama seminggu.

Sedangkan Alya, sejak hubunganku dengan Mas Pras kurang baik, Alya menjadi rewel. Dia jadi gampang marah dan semakin manja. Alya baru mau tidur jika Mas Pras yang menggendongnya. Begitupun pada malam hari saat dia terbangun. Dia akan memanggil Papa bukan Mama. Ini membuat aku mau tidak mau harus berinteraksi dengan Mas Pras. Hal yang sangat aku benci saat ini. Kalau tidak karena Alya dan Aya mungkin saat ini aku sudah pergi dari rumah.

Seperti malam ini sejak Mas Pras pergi Alya terus-terusan menangis, dia mencari-cari Papanya. Aku mencoba menenangkannya. Berbagai cara dilakukan, tapi hasilnya nihil. Alya terus saja menangis sesenggukan sambil sesekali berteriak-teriak memanggil Papanya. Di tengah kebigungan, aku coba menekan rasa gensi dan ego, demi anak. Aku mencoba menelpon Mas Pras, berkali-kali dan hasilnya sama hanya operator yang terdengar, " Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi."

Sebenarnya aku tahu, saat ini Mas Pras pasti sedang berasik-asik ria telponan dengan wanita itu di kamar belakang Toko Ibu Mertua. Ingin menyusulnya, tapi bagaimana mungkin aku membawa motor dengan menggendong Alya. Jika meminta tolong seseorang untuk menyusul Mas Pras ke toko Ibu, aku takut orang itu tau kelakuan Mas Pras dan itu bisa jadi gosip sekampung. Ah... tidak aku harus menutup rapat masalah ini. Tapi bagaimana dengan gadis tak berdosa di gendonganku ini. Suaranya hampir habis karena menangis.

Akhirnya aku punya ide untuk kirim sms saja. Meskipun sedang menelpon, sms bisa masuk dan ada semacam notifikasi. Bukankah Mas Pras memakai headset? Segera aku ketik pesan singkat untuk memintanya segera pulang dengan alasan Alya. Aku berdoa semoga Mas Pras segera membaca pesan dariku. Harap-harap cemas aku menunggu Mas Pras. Semoga cepat datang. Setelah 10 menit menunggu, Akhirnya dia datang. Segera Alya dia ambil alih. Tidak berapa lama di gendongannya, Alya langsung diam.

"Alya, minum susu dulu ya sayang," ucap Mas Pras pada Alya sambil berupaya menyerahkan Alya kepangkuanku, tapi rupanya Alya tak mau melepaskan pelukannya. Dia tetap bersandar manja dan melingkarkan tangannya di leher Mas Pras.

"Mau minum susu di botol aja? Sama Papa, ya," Alya mengangguk lemah. Aku segera bangkit ke dapur membuatkan susu formula untuk Alya.

Alya meneguk susu itu dengan lahap, sebentar saja sudah habis dan ia terlelap di pangkuan Papanya. Setelah dirasa benar-benar terlelap, Mas Pras memindahkan Alya ke tempat tidur.

"Jika pikiranmu tidak tenang, bagaimana kamu bisa menenangkan anakmu. Ikatan batin antara ibu dan anak itu kuat," Mas Pras mulai bicara lagi padaku setelah beberapa waktu lamanya tidak bicara. Tapi itu bukan hal yang menyenangkan bagiku, justru muak sekali aku mendengar kata-katanya.

"Ha..ha.. oya? Tau juga tentang hal itu?" jawabku sinis atau malah terkesan malah mencibir.

"Maling teriak maling, kau cobalah bercermin dulu, siapa yang menyulut api di rumah ini? Siapa yang membuat rumah ini seperti di neraka? Kau!!!" Aku berkata dengan nada serendah mungkin tapi dengan tekanan yang kuat. Agar ia tahu bahwa betapa sakitnya aku oleh perbuatannya.

"Ha..ha.. Ratih..Ratih kau memang tak pernah berubah. Tetap seperti dulu. Egois." Dia berkata dengan tenang sambil memencet remote televisi memindah-mindahkan chanel.

"Ha????? Aku?"

"Ya, siapa lagi? Siapa yang menginginkan pernikahan ini?" sambungnya lagi masih dengan ekspresi yang sama. Dingin.

"Oh.. jadi kamu menyesal menikah denganku. Bagaimanapun aku adalah ibu dari anak-anakmu. Darah dagingmu. Ingat itu!!!"

"Itulah kau, Ratih. Keras kepala. Percuma bicara denganmu. Bertahun-tahun hidup bersama. Tapi tak pernah mengerti aku." Dia tersenyum dengan menggeleng-gelengkan kepala. Entah apa maksudnya membuat diri ini semakin muak melihatnya.

"Tak pernah mengerti? Aku harus bagaimana, Mas? Aku sudah berusaha menjadi yang terbaik. Aku urus rumah ini dengan baik, aku rawat kau dan anak-anakmu hingga tidak kurang satu apapun."

"Ratih, aku tidak hanya butuh istri yang bisa membersihkan rumah, memasak makanan, mencucikan bajuku, mengurus rumahku. Tidak. Kalau cuma seperti itu apa bedanya kamu dengan asisten rumah tangga. Aku butuh istri yang bisa menjadi teman saat aku gembira dan bisa menjadi sahabat saat aku terluka."

"Hallah... itu kan bisa-bisanya kamu saja mencari alasan. Agar saya maklum kamu jalan dengan perempuan murahan itu"

"Jangan sebut dia dengan kata-kata murahan. Lily tidak seperti itu."

"Lalu, apa namanya bagi perempuan yang merusak rumah tangga orang lain. Apa tidak pantas kalau di sebut Pela..." aku tidak meneruskan kata-kataku ketika sadar Mas Pras sudah berdiri dengan wajah memerah menahan amarah dan tangan terangkat bersiap akan menamparku.

Hatiku benar-benar sakit melihat reaksi dari Mas Pras. Dia benar-benar tidak terima wanitanya disebut murahan olehku. Dia menatapku tajam, dadanya naik turun karena menahan emosi yang memuncak. Aku sudah tak bisa membendung air mataku. Perlahan dia menarik tangannya yang terangkat. Dan pergi ke kamar Alya meninggalkan aku sendiri di ruang tengah.

Aku terisak mengingat kejadian tadi. Kata-kata Mas Pras benar-benar melukai hatiku. Tak kusangka sedalam itu rasa cintanya untuk wanita itu. Aku benci. Aku harus menemuinya dan melabrak wanita sialan pengganggu rumah tanggaku. Ya, aku tidak boleh kalah.

*********-**********

Semalaman aku tak bisa tidur. Kata-kata Mas Pras terus terngiang-ngiang di telingaku.

"... Aku butuh istri yang bisa menjadi teman saat aku gembira dan menjadi sahabat saat aku terluka... "

"...Apa bedanya kamu dengan asisten rumah tangga...."

Ya Allah benarkah selama ini aku hanya dianggap sebagai asisten rumah tangga? Aku begitu mencintai Mas Pras, benarkah masih tak ada sedikitpun rasa cinta padaku?

Selama delapan tahun menikah pertengkaran semalam bisa di bilang adalah pertengkaran kami yang paling menakutkan. Mas Pras tidak pernah berkata kasar dengan nada tinggi apalagi sampai mengangkat tangannya untuk memukulku. Wanita itu telah benar-benar mengubah Suamiku menjadi orang lain.

Aku mengenal Mas Pras jauh sebelum aku menikah. Mas Pras orang yang berwatak halus. Dia orang yang taat. Selalu sholat tepat waktu di masjid, kecuali ada sesuatu yang tidak memungkinkan dia untuk pergi ke Masjid baru dia sholat di rumah. Dia orang yang patuh dengan orang tuanya. Saat Ayahnya menjodohkannya denganku, dia diam saja walaupun sebenarnya hatinya berontak. Dia minta tolong kepada Ibu dan saudara-saudaranya untuk membatalkan perjodohan itu. Tapi, Ayah mertuaku orang yang keras kepala dia tetap melanjutkan perjodohan itu. Apalagi saat aku meminta segera dinikahkan beliau segera mengiyakan. Mas Pras sejak masih muda tidak suka neko-neko apalagi jelalatan. Tidak, dia bukan seperti itu. Makanya saat aku tau dia punya wanita idaman lain, aku yakin wanita itulah yang menggodanya duluan.

-*-

Pagi ini aku melakukan aksi mogok tidak melakukan pekerjaan rumah. Tidak memasak, mencuci, tidak beres-beres rumah dan tidak menyiapkan keperluan Mas Pras untuk ke kantor. Agar ia tau bedanya istri dengan asisten rumah tangga. Aku tersenyum sinis saat dia mencari kaos kakinya, aku biarkan dia mengacak-acak isi lemari untuk mencari sapu tangan. Dia bersungut-sungut saat tak menemukan apapun di meja makan. Ha..ha.. Puas aku melihat ekspresinya.

Sejak pagi sebenarnya aku tidak berdiam diri aku menyusun strategi untuk melabrak perempuan sialan itu. Aku sudah menyiapkan berbagai keperluan Alya nanti, mulai dari baju ganti, popok, bubur, susu, sampai kereta dorong. Menyadari itu Mas Pras tampak penasaran.

"Mau di bawa kemana Alya?" tanyanya sinis.

"Ke rumah Nina. Sumpek di rumah." Nina adalah sahabatku sejak masih sekolah. Rencananya aku akan mengajak Nina untuk melabrak perempuan bernama... Ah, menyebut namanya saja aku tak sudi. "Aku antar," ucapanya ketus.

"Ga perlu," jawabku tak kalah sinis.

"Alya aku antar. Kamu terserah." Dia langsung memasukkan perlengkapan Alya ke bagasi mobil. Mengambil Alya dari gendonganku dengan kasar, Alya menangis. Mau tidak mau aku juga ikut masuk mobil. Sesampainya di rumah Nina dia menurunkan perlengkapan Alya dan meneruskan perjalanannya ke kantor setelah mencium Alya tanpa berpamitan padaku.

Rumah Nina tampak sepi. Mungkin suaminya juga sudah berangkat bekerja. Aku memencet bel. Asisten rumah tangga Nina membukakan pintu, Dan mempersilahkan aku masuk.

"Hai, Ra apa kabar? Tumben datang ga telpon dulu?" Dia menyapaku ramah tak lupa dengan pelukan hangat yang biasa kami lakukan jika lama tak berjumpa, kemudian ia beralih menyapa Alya. "Halo cantik, mana Mbak sayang? Ga ikut juga?" Dia tampak sangat senang dengan kehadiran kami. Dia langsung mengambil Alya dari kereta dorong. Aku menghela napas tak segera menjawab pertanyaannya. Pikiranku masih kalut. Rupanya Nina dapat merasakan kerisauanku.

" Ada masalah?"

"Sedikit," jawabku pendek, "kamu ada acara ga hari ini?"

"Ehm.... ga sih." jawab Nina pendek, sambil bermain-main dengan Alya

" Temenin aku ya?"

"Mau kemana?" Dia masih asyik bermain-main dengan Alya.

"Ke kantor Mas Pras,'' aku langsung fokus pada tujuan awalku datang kemari.

"Lo, ngapain?" Dia nampak kebingungan, meletakkan Alya pada kereta dorong bayi, kemudian duduk di hadapanku.

"Aku mau melabrak selingkuhan Mas Pras." ucapku tegas tanpa ragu.

"Apa? Ha..ha... Pras selingkuh? Ha..ha.. Ga mungkin," tawa nina pecah saat itu juga.

Tidak hanya Nina, pasti orang lain pun tidak akan percaya jika dia mengenal Mas Pras.

"Nina aku serius," melihat wajahku yang serius Nina menghentikan tawanya

"Serius??? Pras selingkuh?" matanya membulat, seolah masih tak percaya dengan kata-kataku.

"Nina... serius!"

"Masa' sih, Pras, orang yang alim itu bisa selingkuh?" Nina bicara pada dirinya sendiri sambil menggaruk kepala yang aku yakin tidak gatal. "Coba ceritain, deh. Mengapa kamu bisa menyimpulkan bahwa Pras punya wanita idaman lain." lanjutnya sambil mendekatkan kursinya padaku.

Aku mulai menceritakan awal mula permasalahanku dengan Mas Pras. Mulai dengan hape baru, kebiasaannya yang suka menyendiri, hingga pertengkaran semalam. Nina mendengarkan ceritaku dengan antusias, tidak menyela. Hanya sesekali dia manggut-manggut, kadang terlihat kebingungan dengan mengernyitkan dahinya, kadang dia tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

"Begitulah Nin, aku bingung harus gimana. Di sisi lain aku sudah tidak tahan dengan kelakuan Mas Pras. Dia sudah mengkhianati kepercayaanku. Tapi di sisi lain aku juga tidak mau berpisah, kalau aku berpisah bagaimana nasib anak-anakku nanti. Bagaimana omongan orang terhadapku. Aku tidak mau jadi janda, Nin, " aku mengakhiri ceritaku dengan deraian air mata. Nina menghela napas, lalu memelukku.

"Aku turut prihatin atas apa yang menimpa keluargamu, Ratih. Sabar, ya."

"Lalu aku harus bagaimana, Nin?" tanyaku pada Nina sambil melepaskan pelukannya. Nina memberiku selembar tisu untuk.menghapus air mataku. Dia menghela napas sekali lagi. "Kau tau siapa perempuan itu?"

"Namanya Lily, Mas Pras bilang ia teman kantornya."

"Kamu tau dia seperti apa?" Nina mulai penasaran dengan perempuan itu seperti apa

Aku menggeleng, "Makanya aku ingin menemuinya, aku ingin melabraknya. Perempuan penggoda seperti dia harus diberi pelajaran. Akan kupermalukan dia di kantornya," ucapku berapi-api. Rasa cemburu sudah membakar akal sehatku. Nina tertawa mendengar ucapanku.

" Apa? Mau melabraknya?"

"Iyalah, dia mengganggu suamiku. Ayah dari anak-anakku. Membuat rumahku seperti di neraka. Apa tidak boleh aku memberi pelajaran padanya?"

"Jangan. Gak usah," aku cukup terkejut mendengar jawaban Nina

"Kok gitu? Emang kenapa?" tanyaku keheranan melihat reaksinya yang ternyata diluar dugaanku. Aku pikir Nina akan mendukung langkahku, karena dia sahabat yang paling mengerti aku.

"Janganlah. Ga usah main labrak kayak gitu. Iya kalau bener mereka ada hubungan. Kalau enggak gimana?"

"Kenapa sih, kamu malah membela perempuan sialan itu. Aneh." Aku mulai emosi.

" Aku ga membela dia. Cuma cara kamu itu norak. Kampungan." Aku terhenyak mendengar kata-kata Nina. Norak? Kampungan? Bisa-bisanya Nina berkata seperti itu. Mungkin karena dia tidak ada di posisiku. Dia tidak tau sakitnya dikhianati. Atau jangan-jangan selama ini dia sudah tahu bahwa Mas Pras punya wanita idaman lain. Atau malahan Nina kenal dengan perempuan itu?

***★***

Aku mendengus kesal, tak dapat menyembunyikan raut kekecewaan mendengar pendapat Nina.

" Kekerasan ga akan menyelesaikan masalah. Kamu pikir deh, Ratih, dengan kamu melabrak dia, mempermalukan dia, justru itu malah mempermalukan diri kamu sendiri. Apa kata orang, ' O pantes Pak Pras selingkuh la wong istrinya kayak gitu'. Justru mereka maklum. Bukannya simpati sama kamu. Sama juga kamu memantaskan diri kamu sendiri untuk ditinggalkan oleh Pras." Nina berucap dengan mimik muka yang serius. Sedangkan aku berusaha mencerna kalimat-perkalimat apa yang dikatakan Nina.

"Lagi pula apa bener Pras selingkuh sama dia? Belum ada bukti, kan. Yang kamu tau Pras cinta sama dia. Dia?? Belum tentu. Pras hanya gila di telpon kan? Dia masih pulang tepat waktu. Masih di rumah." lanjut Nina.

"Tapi dia ga peduli sama aku Nin... " aku mencoba membela diriku.

"Bukannya dari dulu emang begitu. Kenapa kamu baru mempermasalahkannya sekarang? Kenapa ga dari dulu-dulu?" pertanyaan Nina membungkam mulutku. Benar kata Nina, kenapa baru sekarang aku mempermasalahkan sikap Mas Pras yang dingin padaku. Apa karena ada Lily aku merasa posisiku terancam? Atau karena tidak ada lagi ayah mertua yang akan selalu menjadi garda andalanku. Atau mungkin karena dua-duanya.

"Aku tau cerita kamu sama Pras dari awal. Kenapa kamu ga coba merebut hati Pras dari dulu. Kenapa baru sekarang kamu heboh. Aku udah ingetin kamu dari dulu, kan, untuk berusaha mengambil hatinya Pras. Tapi apa? Kamu bilang gengsilah, ga pentinglah, apa lah. Udah tau Pras menikah denganmu karena menuruti kehendak orang tuanya. Kamu kan yang cinta setengah mati sama dia. Gimana dia bisa cinta dan sayang sama kamu, jika kamu sendiri ga berusaha menumbuhkan cinta itu."

Aku tidak menjawab kata-kata Nina. Dalam hati aku membenarkan ucapan Nina. Selama ini aku terlena dengan statusku sebagai istri sah Mas Pras. Aku merasa selalu aman katena mertuaku selalu mendukungku. Dan aku merasa kuat karena telah hadir dua gadia kecil di tengah-tengah kami.

"Herannya aku sama kamu lagi, ya, kok bisa pake acara gengsi segala. Itu cinta apa ambisi sih. Karena ambisi kamu untuk menjadi istri Pras sudah tercapai, jadi kamu acuh pada apapun yang Pras butuhkan. Dia butuh teman, dia butuh sahabat, dia sudah bilang itu kan? Jika kamu sebagai istrinya tidak bisa menjadi sahabat, wajar bukan, dia cari sahabat lain di luar? Itu kalau sahabat kalau keterusan sama yang lain-lain gimana coba? Pras itu ganteng lo, baik, ekonomi mapan banyak wanita di luaran sana yang siap menggantikan posisi kamu sekarang." kali ini ucapan Nina menghujam ulu hatiku. Ambisi? Benarkah aku hanya berambisi memiliki Mas Pras? Bukan cinta tapi ambisi.

" Ratih, cobalah buang segala ego dan pikiran negatif itu. Buang jauh-jauh, jadilah sahabat untuknya. Demi anak-anak kamu. Pras itu orang yang baik, akan mudah bagi kamu mengambil hatinya. Kamu tiap hari bersama, ada anak-anak diantara kalian, juga ada restu orang tua dan Tuhan. Percayalah semua akan baik-baik saja. Kuncinya adalah kamu mengalah dan mau berubah."

"Tapi Nin, aku penasaran sama Lily. Seperti apa sih perempuan yang membuat Mas Pras jatuh hati?"

"Aku juga, penasaran kita harus temui dia. Tapi nanti, ganti dulu gamis kamu yang sudah usang ini. Malu-maluin aja, mau ke kantor Pras pake baju ginian. Ih... ogah aku jalan bareng sama kamu." tawa kami pecah, ketika Nina menunjukkan ada yang bolong pada gamis yang kupakai, pas pada jahitan bagian pinggang.

-*-

Pertemuanku dengan Nina hari ini benar-benar membuka mataku. Aku mengurungkan niatku untuk pergi ke kantor Mas Pras. Benar kata Nina aku harus berubah, harus memperbaiki diri menjadi lebih baik. Aku istri Mas Pras yang sah secara hukum dan agama. Tak peduli bagaimana awalnya cerita kami. Ada beribu-ribu hari yang kami lalui bersama. Mengapa aku tak bisa menumbuhkan rasa cinta di hati Mas Pras. Betapa bodohnya aku.

****★******

Aku harus berubah. Kata-kata itu terus aku ucapkan berulang-ulang agar tertanam kuat di alam bawah sadarku. Kali ini harus kutekan rasa ego dan gengsiku. Tidak ada yang dapat menyelamatkan keluargaku kecuali aku. Demi Aya dan Alya. Seperti pesan Nina sebelum aku pulang diantar oleh sopir pribadinya.

"Ingat ya, kamu harus sebisa mungkin mengalihkan perhatian Pras dari hapenya."

"Caranya?"

"Ya ampun masa' gitu aja mesti diajarin, sih."

"Pake dong otak kamu, bisa pakai Alya atau Aya kan?"

"Ehm... oke."

"Trus satu lagi, ga boleh gampang emosi. Jangan hadapi Pras dengan emosi. Sesabar-sabarnya pria, emosinya akan semakin ngelunjak jika kita lawan secara frontal. Jadi kalau kamu tidak bisa mengendalikan emosi kamu, mending istigfar atau menjauh dari dia. Ok. Kalau pengen curhat telepon aku aja, ya. Kamu ga perlu ke sini, kalau aku ga sibuk aku ke rumah kamu deh, kasian Alya."

Beruntung aku memiliki sahabat seperti Nina, dia selalu ada di saat aku membutuhkannya.

-*-

Aya sudah pulang dari Yogyakarta. Liburan sekolah Aya tinggal dua hari lagi. Untuk sementara Mas Pras lumayan banyak menghabiskan waktunya bersama Aya. Mungkin dia kangen pada putri sulungnya setelah terpisah satu minggu lamanya. Ini kesempatanku untuk menyelamatkan biduk rumah tanggaku. .

Sore ini terasa sangat panas, karena memang musim kemarau panjang sedang melanda desa kami. Kulihat Aya sedang berceloteh riang tentang liburannya ke Yogyakarta, sedangkan Mas Pras memperhatikannya dengan antusias.

"Taklukkan laki-laki lewat perut," tiba-tiba saja aku ingat pesan ibuku. Kenapa tidak, aku segera menuju dapur membuat jus alpukat kesukaan Mas Pras dan Aya. Dengan sedikit hiasan susu coklat aku suguhkan jus alpukat buatanku dan kali ini aku tak langsung pergi begitu saja seperti kebiasaanku yang sudah-sudah ketika menyuguhkan makanan. Aku duduk di samping Mas Pras dengan tak lupa memasang wajah manis. Aya langsung menyambar gelas jus alpukat itu.

"Gimana, enak?" tanyaku pada Aya.

"Hmm... enak banget, Papa coba deh. Beneran enak lo Pah. Seger." mimik muka Aya menggoda Mas Pras untuk mencoba jus alpukat buatanku, ia mengangkat gelas dengan ragu. Kemudian menyeruput jus itu dengan sedotan yang tersedia. Aku menunggu komentar dari Mas Pras.

"Gimana, Mas?"

"Lumayan." Ucapnya sambil mengangkat sebelah alisnya. Aku tersenyum genit padanya. Dia terlihat sedikit keheranan melihat sikapku.

"Kalau gitu sekarang Mama mau buat puding semangka."

"Horeee, Aya suka, Ma. Ayo cepat, Ma. Aya sudah lama ga makan puding buatan Mama."

Aku segera melangkah ke dapur tapi, kusempatkan mengintip aktivitas Mas Pras dari balik pintu. Dia mulai mengotak-atik hape lagi. Aku harus putar otak bagaimana caranya agar dia lupa dengan hapenya itu. Aku punya ide...

" Mas... Mas.. sini deh," aku memanggil Mas Pras untuk ke dapur

"Iya." jawabnya dari luar, ia datang dengan wajah bertanya-tanya. "Ada apa sih?"

"Bantuin?" Aku memasang wajah manja.

"Bantuin apa?" tanyanya lagi.

"Cariin resep puding semangka, aku lupa. Pliss." aku bergaya memelas tak lupa memasang senyum manis sembari menangkupkan kedua tanganku bergaya memohon. Dia tersenyum tipis. Dan hatiku rasanya ingin melompat keluar melihat senyum manisnya itu. Dia mulai mengotak-atik hapenya kembali, sebentar kemudian,

"Nih, baca" ucapnya sambil menyodorkan hapenya kepadaku.

Aku cemberut manja, "Mana bisa baca sambil masak. Ga konsen, bacain dong," pintaku padanya.

Dia membaca resep yang tertera di hapenya masih dengan ekspresi yang sama. Cuek. Tapi minimal aku sudah mulai berinteraksi dengannya. Dan ada respon positif. Ditengah keasyikanku memasak bersama Mas Pras. Alya terbangun dari tidurnya. Seperti biasa dia menangis mau minum susu. Aku membuatkannya susu formula dan meminta tolong pada Mas Pras untuk membawanya jalan-jalan. Agar aku bisa melanjutkan memasak puding.

Dan sepertinya ideku sukses. Mas Pras lupa dengan hapenya. Dia meninggalkannya di dapur Tapi sayang hape itu terkunci dengan sandi. Aku tak bisa membukanya. Hufttt... sudahlah. Yang penting langkah pertama sukses. Tapi tiba-tiba ada panggilan masuk. Nomor tidak dikenal. Ragu, antara menerima atau membiarkan telepon masuk itu. Akhirnya aku terima juga.

" Halo, Assalamualaikum." aku mengangkat telepon dan menunggu jawaban dari seberang.

"Halo, dengan siapa ya?" belum ada jawaban juga.

"Halo...." masih tidak ada jawaban dan sambungan terputus. Tapi sebentar kemudian ada telepon masuk lagi. Dari nomor yang sama. Hatiku mulai tak enak. Jangan-jangan, perempuan itu. Aku tak mau menduga-duga lansung aku terima lagi.

"Halo, Assalamualaikum"

"Wa... waalaikumsalam," suara perempuan terdengar di seberang. "Mas Pras ada?"

"Dari siapa ya?" aku tak langsung menjawab pertanyaan wanita penelpon di seberang. Justru aku jawab pertanyaannya dengan pertanyaanku.

"Lily," deegghh... seperti ada pukulan keras yang menghantam tepat di jantungku. Sakit.

"Oh, Mbak Lily. Teman kantor Mas Pras, ya?" aku berusaha membuat nada bicaraku terdengar senormal dan seramah mungkin.

"Iya, Bu. Bisa bicara dengan Mas Pras?" padaku ia panggil ibu, tapi dengan Mas Pras, dia juga panggil Mas.

"Oh, Pak Pras nya sedang jalan-jalan sama anak-anak. Mungkin ada pesan?" Aku mengubah panggilanku dari Mas Pras menjadi Pak Pras, untuk mengajari wanita bernama Lily itu supaya bersikap lebih formal pada suamiku. Tidak usah sok akrab meskipun kenyataannya mungkin mereka lebih akrab dari yang kutahu.

"Ehm... enggak ada. Bilang aja saya telepon," suara wanita di seberang terdengar gugup.

"Oh baiklah nanti saya sampaikan." Aku berusaha menekan emosiku yang mulai tersulut. Walau mungkin jika wanita ada di hadapanku sudah aku cakar-cakar mukanya. Aku jambak rambutnya. Oh, tidak-tidak. Astagfirullah... Telepon terputus. Ingin rasanya aku banting hape ini. Benar-benar jadi penyakit. Tapi tidak, ingat kata Nina, "Istigfar Ratih, Istigfar."

***----****

Mas Pras datang bersama Alya dan Aya. Dia langsung mencari keberadaan hape kesayangannya itu. "Ada telepon?" tanyanya padaku.

"He em," ku jawab pendek saja, karena jika tidak pasti mulutku ini akan ngomel tak terkendali. Bisa-bisa aku berantem lagi. Aku terus beristigfar dalam hati, berusaha bersabar, sebisa mungkin menghindari perdebatan sekecil apapun di depan anak-anak.

"Siapa?"

"Lily." Mas Pras mengernyitkan dahi. Mungkin dia heran melihat reaksiku yang seolah tidak terjadi apa-apa, tidak seperti biasanya.

"Ngomong apa kamu sama dia?"

"Nggak ada,"

"Masa' "

"Iya, tanya saja padanya." Jawabku pura-pura acuh. Padahal darahku sudah mendidih sampai ke ubun-ubun rasanya. Astagfirullah. Aku segera pergi menjauh darinya, takut diri ini tak bisa mengontrol emosi. Aku lihat dia sibuk lagi berkutat dengan hapenya.

Aku segera menelpon Nina. Tidak mampu rasanya menyimpan luka ini sendirian. Sesak melihat Mas Pras lebih peduli kepada orang lain dibandingkan padaku, istrinya.

"Assalamualaikum, Ra?"

"Waalaikum salam, Nina tadi..." aku menggantung kalimatku, celingukan kanan kiri sebelum mulai bercerita. Takut tiba-tiba ada orang lain dan mendengar pembicaraanku.

" Iya, tadi kenapa?" Nina terdengar penasaran.

"Wanita itu telepon ke hapenya Mas Pras, aku angkat."

"Lalu?"

"Sesuai dengan saran kamu, aku bersikap biasa aja. Tapi Nin, aku ga kuat rasanya sakit. "

"Aku tahu, Ratih. Pasti sakit. Tapi inilah, kesabaran kamu diuji. Orang yang diuji hanya orang yang akan naik kelas, naik tingkatan. Percaya deh. Jangan putus asa."

"Anggap saja suamimu sedang sakit. Dan kau adalah obat sekaligus dokternya. Kamu harus sabar merawatnya. Ketika dia sembuh nanti, dia akan sadar kalau kau adalah yang terbaik untuknya. Kamu harus bersikap lebih agresif lagi. Lebih manja, dan lebih perhatian."

" Caranya?"

" Ya ampun, nanya lagi. Ya kalau dia pergi agak lama, telepon dia atau sms, tanyain ada dimana? Deket-deket dia, manja-manja gitu. Tanyain dia besok mau makan apa? Hari ini acaranya kemana aja. Siapin kesukaannya. Ya pokoknya gitu-gitu deh." Seperti biasa Nina memberi saran panjang lebar, yang saat ini terdengar seperti ceramah ustadz bagiku.

" Tapi Nin..." belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, Nina sudah memotong dan nyerocos lagi.

"Masih kesel sama dia? Malu? Gengsi? Coba deh, kamu bayangin lebih malu mana kamu jadi janda atau kamu deket-deket, manja-manja sama dia. Apa susahnya coba. Kamu istrinya, udah Halal dapat pahala lagi plus bonusnya suami makin cinta." Kupikir memang ada benarnya ucapan Nina, apa salahnya aku bermanja-manja sama Mas Pras. Toh dia suamiku.

"Mesti gitu, ya?"

" Harus. Biasanya, ya laki-laki itu suka dengan wanita yang manja. Karena mereka merasa dibutuhkan sama pasangannya. Terus mereka juga senang diperhatikan. Manusia mana sih, yang ga suka di perhatikan. Coba deh, kasih perhatian ekstra. Eh, udah dulu ya. Nanti disambung lagi. Ada tamu kayaknya. Assalamualaikum." Nina menutup telponnya.

-*-

Selama beberapa hari ini aku bersikap biasa saja sesuai dengan saran Nina, menyiapkan kesukaannya, bermanja-manja meskipun awalnya agak canggung karena aku bukan tipe orang yang manja. Mendekatinya ketika dia sedang sendiri, menceritakan hal-hal kecil yang terjadi di rumah terutama perkembangan Alya. Awalnya dia acuh tak acuh dengan ceritaku, tapi makin kesini rupanya dia mulai memberi respon. Setiap dia pulang kerja dia akan duduk di teras atau di depan tivi bersamaku sekadar buat ngobrol walaupun hanya sebentar, tapi bagiku ini adalah perkembangan yang luar biasa. Kebiasaannya dengan Lily? Masih.

Alya terbangun tengah malam. Memang agak rewel dia akhir-akhir ini, mungkin efek dari jatuh bangun karena belajar berdiri. Badannya agak demam, jadinya dia tidak mau tidur di kasur. Dia maunya tidur kalau di gendong, dan sudah selarut ini Mas Pras belum pulang. Aku coba sms dia.

'Mas, ada dimana? Kok belum pulang?'

Sebentar kemudian dia datang. "Hmmm.... Mas Alya dari tadi rewel. Mas ga ada? Capek aku," aku mengeluh kesal padanya supaya ia tahu aku juga membutuhkan kehadirannya. Tidak hanya wanita itu.

"Kenapa baru sms?" tanyanya, bagiku malah terkesan menyalahkan.

"Emang harus disms dulu ya baru mau pulang?"

"Ya udah, sini aku gantiin gendong Alyanya."

Mas Pras selalu berhasil menenangkan anak-anakku saat mereka tantrum atau rewel. Makanya aku merasa sangat kebingungan saat tidak ada dia, apalagi saat Alya lagi rewel. Setelah Alya tertidur pulas, Mas Pras tidak juga tidur, padahal ini sudah sangat larut. Tapi dia masih lanjut otak-atik hape. "Apa perempuan itu tidak ada kerjaan lain? Padahal esok harinya dia harus kerja," pikirku dalam hati.

"Ehm.... Capek," ucapku sambil merebahkan kepalaku di pangkuannya. Mas Pras terlihat sedikit terkejut. Mungkin merasa canggung karena tak biasa. Aku bangun dan menyandarkan kepalaku dibahunya. Dia menghentikan aktivitas dengan hapenya.

"Ehm, Mas aku boleh tanya sesuatu?"

"Apa?" Aku menarik kepalaku dari bahunya dan menatapnya lekat.

"Seberapa besar rasa cinta Mas kepada Lily?" Dia terdiam, mungkin tidak menduga arah pertanyaanku. Dia menghela napas dalam-dalam.

"Aku tak tau perasaan ini apa? Aku tak pernah seperti ini sebelumnya. Tak pernah serindu dan segila ini. Aku sadari semua ini Ratih. Ini pasti menyakitimu. Aku selalu ingin berada di dekatnya, dan selalu melindunginya. Ratih, Maafkan aku." Mas Pras meremas rambut dan mengusap wajahnya.

"Sejauh apa hubunganmu dengannya, Mas?" Aku belum mengalihkan pandanganku darinya

"Sumpah demi Allah, aku tak pernah menyentuhnya."

"Apakah sumpahmu masih bisa ku percaya?"

"Itu semua terserah padamu Ratih"

"Kalau aku minta kamu memilih antara aku dan dia? Kamu pilih siapa?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirku, entah kekuatan apa yang membuat aku berani mengajukan pertanyaan hidup dan mati ini bagi keluargaku. Dia menggeleng lemah.

"Aku ga bisa. Aku ga bisa pilih antara kalian berdua." Ucapnya lemah.

"Harus. Aku atau dia?" tanyaku dengan nada setengah mengancam.

"Dia hatiku dan kau ibu dari anak-anakku. Hidupku tak kan lengkap tanpa salah satu dari kalian. Lily adalah gairah hidupku dan anak-anak adalah semangat hidupku." "Egois." Nampaknya aku terbawa situasi, aku lupakan pesan Nina, "Aku atau dia?" Aku mengulang pertanyaanku dengan nada yang lebih tegas.

"Ijinkan aku menikahinya."

Kalimat terakhirnya membuat duniaku runtuh seketika. Suamiku meminta ijin untuk menikah lagi. Air mataku yang sekuat tenaga aku tahan akhirnya tumpah juga. Aku tak tahu jawaban apa yang harus aku berikan. Hatiku sudah hancur berkeping-keping. Aku mungkin bisa berbagi apapun dengan orang lain. Apapun itu. Tapi untuk berbagi suami, membayangkan saja aku tak sanggup. Mungkin berpisah akan lebih baik bagiku. Tapi anak-anakku? Apakah aku bisa sejahat itu memisahkan mereka dari ayah kandungnya? Tapi jika harus bertahan aku tak akan sanggup melihat suamiku berbagi kasih dengan wanita lain.

"Menikahlah dengannya, kalau itu bisa membuatmu bahagia. Aku ikhlas, tapi kembalikan dulu aku ke orang tuaku." Mas Pras terhenyak, kemudian dia menggeleng lemah entah apa maksudnya. Dia menghela napas dan membuangnya dengan kasar, lalu meninggalkan aku sendiri yang terisak di ruang tengah.

***--**-**------*******

Percakapan malam itu telah memberikan pukulan telak bagiku. Walaupun Mas Pras tak pernah berkata dia akan menceraikan aku, setidaknya aku sudah mengerti apa keinginan yang ada di hatinya. Ia ingin bersama wanitanya. Mungkin keinginannya saat ini sama dengan keinginanku saat itu, saat aku sangat ingin menjadi istrinya. Aku bisa mengerti, saat hasrat dalam dada begitu menggebu ingin bersama seseorang yang kita cintai, logika sudah tidak bisa berfungsi lagi. Tapi benarkah itu cinta?

Aku sadar, ini karma yang harus kuterima. Setelah sekian lama, aku tak peduli tentang apa yang dirasakan Mas Pras. Mungkin dia begitu tersiksa hidup bersama orang yang tidak ia cintai, berpura-pura bahagia di hadapan orang lain dan harus bertanggung jawab atas diriku secara lahir batin. Ini waktunya aku harus rela melepaskan statusku sebagai Nyonya Prasetyo Wijadmiko untuk digantikan oleh dia. Dia yang namanya tak sanggup aku sebutkan.

"Assalamualaikum." Suara Aya mebuyarkan lamunanku. Dia baru saja datang dari sekolah, tanpa melepas sepatu dia berlari kebelakang.

"Waalaikumsalam. Aya... lepas dulu dong sepatunya. Cuci kaki dan tangan," ucapku setengah berteriak, tapi percuma, Aya tak peduli dengan teguranku. Ia tetap nyelonong masuk ke arah dapur, mengambil sebotol air dingin di kulkas dan meneguknya dengan nikmat.

"Aya haus, Ma. Panas banget," ucapnya setelah mengusap bibirnya yang basah dengan sebelah tangan. Dia melepaskan tas sekolah di bahunya, duduk di ruang tengah bersamaku sambil melepas kedua sepatu dan kaos kaki putihnya. Aku pura-pura menutup hidungku, " Bau, Sayang. Jangan di lepas di sini, ah." Dia nyengir, kemudian bergegas menuju kamar mandi. Dia datang kembali padaku setelah berganti baju dengan boneka Hello Kitty kesayangannya itu.

"Adek mana, Ma?

"Ikut Tante Hilda, ke rumah Eyang."

"Ooo.." bibirnya membulat membentuk huruf o.

"Mama, Aya bingung deh sama ayah bundanya Tiara?"

"Ngapain bingung sama ayah bundanya Tiara?"

"Tadi kan, Bu Guru ngasih tugas untuk menuliskan silsilah keluarga, terus tiap anak di suruh maju kedepan sama Bu guru. Terus, Pas giliran Tiara maju, Tiara bilang ia punya dua ayah dan dua bunda, Ma."

"Maksudnya gimana, sih? Mama ga ngerti deh?" Aku mengernyitkan dahi dan menggaruk kepalaku yang tidak gatal tanda tidak mengerti.

"Tiara bilang dia punya Ayah lama dan ayah baru terus dia juga punya bunda lama dan bunda baru. Kata Tiara lagi ya, Ma. Ayah lama tinggal sama bunda baru. Terus bunda lama juga tinggal sama ayah baru. Gitu."

"Ayah bunda Tiara itu sebenarnya yang mana sih?" Aku masih pura-pura tidak mengerti walaupun sebenarnya aku sudah paham apa yang di maksudkan oleh Aya. "Ayah lama dengan bunda lama, dong." Jawabnya tegas. " Mama, apa nanti Aya juga punya Papa sama Mama baru?" tanyanya dengan tatapan polos dari mata bulatnya yang indah.

Pertanyaan Aya terasa menghujam ulu hatiku, membuat udara siang yang panas terasa semakin panas. Sedang aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku harus memutar otakku, untuk mengalihkan perhatian Aya sementara waktu, sebelum aku menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaannya itu.

"Mama... Mama, kok malah diem," aku tersadar dari lamunanku.

"Eh.. enggak kok sayang. Tadi cuma Mama cuma masih mikir," aku berusaha mengulur waktu, mencari sesuatu yang sekiranya dapat membuat Aya lupa pertanyaanya.

" Terus?"

"Mama pikir... kayaknya Mama butuh yang seger-seger, deh. Gimana kalau kita makan puding mangga dulu?"

" Oya, Mama punya puding mangga. Kenapa ga bilang dari tadi. Aya mau Aya mau, Ma." Aya terlihat sangat senang tahu ada puding mangga kesukaannya.

"Sebentar, Mama ambilin dulu ,ya." Aku mencubit pipinya gemas.

Akhirnya aku bisa mengalihkan perhatian Aya. Bagaimana nanti aku bisa menjelaskan tentang arti sebuah perceraian pada anak-anakku. Saat Papa dan Mamanya harus berpisah. Dan ia harus memilih salah satu dari kami. Hatinya pasti akan terluka. Dan luka itu akan dia bawa seumur hidupnya.

Apalagi tentang Papa dan Mama baru yang barusan ia tanyakan. Bagaimana aku bisa menjelaskannya? Ini akan menjadi sesuatu yang sangat rumit bagi anak usia tujuh tahun seperti Aya. Ya Allah... berilah hambamu ketabahan dalam menghadapi ini semua.

-*-

Aku tersungkur di atas hamparan sajadah, tenggelam dalam doa di sepertiga malamku. Mengadukan segala keluh kesah di hati pada Sang Pencipta. Badai pasti berlalu. Ada rencana Tuhan yang indah untukku dan untuk keluargaku. Karena aku yakin semua yang terjadi di alam semesta ini tak akan terjadi tanpa ijin-Nya. Aku masih berharap keluargaku masih bisa diselamatkan, berharap ada mukjizat yang akan membuat hati Mas Pras mencintaiku, walau mungkin semuanya sudah terlambat.

Aku tidak tahu, sudah berapa lama dia memperhatikan aku. Karena khusuk berdoa aku sampai tak menyadari kehadirannya di sampingku. Dia menatapku lembut, kurasakan dadaku berdesir. Dia menghapus air mataku dengan ibu jarinya. Entah apa maksudnya. Apakah dia merasa iba padaku? Atau apakah dia merasa bersalah? Diraihnya kepalaku dalam peluknya. Erat dan hangat. Kurasakan detak jantungnya dan aroma tubuhnya. Ini kali kedua Mas Pras memelukku seperti ini. Yang pertama saat ayahku meninggal secara mendadak karena serangan jantung. Dan yang ini aku tidak tahu alasannya.

"Ratih, maafkan aku," bisiknya di telingaku.

"Aku juga minta maaf, telah membuatmu terjebak dalam pernikahan ini."

"Tidak, Ratih. Tidak, semua ini terjadi karena takdir Tuhan." Kali ini dia memelukku semakin erat.

"Maafkan aku, jika selama ini aku belum bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak-anakmu." Aku melepaskan pelukannya. Kami bertatapan, lama. Kedua tangannya masih memegang lembut kedua pipiku.

"Mas, sebelum kita berce..." dia meletakkan jari telunjuknya di bibirku bermaksud menghentikan kata-kataku. Tapi aku menepisnya lembut.

"Sebelum kita resmi bercerai, aku ingin bertemu dengan Lily." Mas Pras menggeleng tanda tak setuju.

"Aku mohon..." pintaku setengah berbisik. Mas Pras tertunduk lesu. Aku segera beranjak dan meninggalkan dia. Keputusanku sudah bulat, jika dia tetap ingin menikahi wanitanya, aku yang akan mengalah. Walaupun sebenarnya dalam hati ini sangat tidak ingin berpisah.

******--*******

Pagi ini berjalan seperti biasa, aku menyiapkan keperluan sekolah Aya, mengurus Alya dan menyiapkan sarapan. Mas Pras sedang Mandi , saat aku sedang menyuapi Alya Bubur di depan televisi sambil menonton kartun kesayangannya. Aku lihat hape Mas Pras tergeletak di meja, saat ada panggilan masuk dari Miko, begitu yang tertera di layar telepon itu. Aku terima, belum sempat aku bicara, penelpon di seberang sudah nyerocos dulu, " Mas, cepetan. Aku mau ambil pesenan jilbabku, keburu aku pake ke kantor, nih."

"Jilbab?" tanyaku.

"Eh.. Ehmmm anu, Bu, Mas Pras mana?" suara si penelpon terdengar gugup.

"Mandi." Jawabku pendek, mungkin terkesan sinis.

"Ya sudah, Bu." Sambungan terputus. Aku tersenyum geli setelah menerima telepon tadi. Namanya Miko, suaranya cewek. Nampaknya Mas Pras mulai pintar bermain kucing-kucingan. Dia memberi nama Miko, padahal aku yakin itu tadi Lily, karena aku pernah bicara di telepon sebelumnya. Baiklah kalau begitu, akan aku ikuti permainan ini. Entahlah, mengapa sekarang aku tak merasa sakit hati?

Mas Pras sudah keluar dari kamar mandi, Sambil memasang dasi di depan cermin dia bertanya padaku.

"Bicara sama siapa?"

"Miko." Mas Pras yang tadinya santai menjadi salah tingkah.

"Mas, cepetan. Aku mau ambil pesenan jilbabku, keburu aku pake ke kantor, nih." Aku bicara menirukan nada Miko di telepon. Mas Pras tidak berkata apa-apa. Dia hanya bergaya sok sibuk dengan dasinya yang dari tadi tidak selesai-selesai dan pura-pura tidak mendengarku.

Aku mencolek lengannya dengan tengil, "Sejak kapan Miko pake jilbab? Ha..ha.." Lagi-lagi dia tak menjawab. Dia hanya mendengus kesal. Kemudian pergi meninggalkanku yang terkekeh, melihat raut wajahnya yang menurutku lucu.

Mas Pras berangkat dengan tergesa, tak sempat sarapan, Ada tugas mendesak katanya. Tugas dari Lily. Eh, bukan dari Miko, mungkin. Aku khawatir jika ia tidak sarapan, Mas Pras punya penyakit maag yang parah. Jadi aku rencanakan untuk menyusulnya ke kantor, membawakannya makanan.

------

Aku memacu motorku dengan kecepatan sedang, sengaja aku berangkat ke kantor Mas Pras tiga puluh menit lebih awal sebelum jam istirahat, agar sampai di sana tepat waktu. Namun sial, ban motorku kempes. Aku harus mencari tambal ban terlebih dahulu, sebelum melanjutkan perjalanan. Sampai di sana mobil Mas Pras aku lihat sudah tidak ada. Aku masuk melalui pintu nasabah tidak melalui pintu samping yang diperuntukkan khusus untuk pegawai bank.

"Selamat datang. Ada yang bisa saya bantu?" tanya satpam itu ramah sambil membukakan pintu. Aku hanya tersenyum tidak segera menjawab sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan.

"Ibu mau setor atau mau menarik uang?" tanyanya lagi. Saya menggeleng.

"Saya mencari Pak Prasetyo Wijadmiko. Saya istrinya."

"Pak Pras keluar, Bu. Ini ,kan jam makan siang." Jelasnya padaku.

"Makanya saya kemari, kalau jam kantor kan ga boleh, Pak."

"Ibu, telepon Bapak aja, biar cepat pulang"

"Lupa ga bawa hape saya."

" Mari saya antarkan ke ruangan, Bapak."

"Oh, ga usah. Saya mau menunggu di sini saja. Kalau di ruangan bapak, saya sendiri. Bosen. Kalau di sini kan bisa lihat-lihat."

" Baiklah, Ibu silahkan duduk disini." Ucap satpam itu sambil mempersilahkan aku duduk.

Aku duduk di kursi tamu dekat pintu masuk. Kulihat di bagian teller ada dua orang yang kosong dengan tanda sedang istirahat di mejanya. Dan dua orang lagi masih melayani nasabah.

Setengah jam aku menunggu, Mas Pras belum datang juga. Lelah menunggu, aku berpikir hendak pulang saja, khawatir Alya yang aku titipkan di rumah ibu mertua mencariku. Karena aku pikir pasti Mas Pras sudah makan di luar. Ketika aku hendak beranjak dari kursi, kulihat mobil Mas Pras masuk parkiran. Mas Pras keluar dari mobil, tapi tidak sendiri. Dia bersama seorang wanita cantik. Tubuhnya tinggi semampai khas pegawai bank. Dia juga ramping tapi berisi. Kulitnya tidak putih tapi bersih. Dari jauh senyumnya terlihat manis sekali. Mereka berjalan beriringan menyusuri koridor sambil mengobrol dengan akrab. Saking asyiknya mereka tidak mengetahui kalau aku mengikuti di belakangnya.

"Menurutku, sambalnya kurang pedes, deh." Wanita itu beceloteh dengan riang."

"Ih, kayak gitu kurang pedes. Bibirku aja rasanya jontor karena kepedesan." Ucap Mas Pras menimpali.

"Jangan makan pedes-pedes, Mas. Nanti asam lambungnya naik, lho." Sengaja aku menyela pembicaraan mereka.

Mas Pras dan wanita itu serempak menoleh ke arahku. Mas Pras tampak begitu terkejut, berbeda dengan ekspresi wanita cantik disebelahnya yang tampak bertanya-tanya.Aku melangkah dengan santai dan tak lupa menyunggingkan senyum manis di bibirku.

"Ratih, kamu?" Mas Pras bertanya masih dengan ekspresi kaget.

"Ih.. awas minggir-minggir." Aku melangkah ke arah mereka, dan berdiri tepat di tengah-tengah.

"Sanaan, dikit!" Karena merasa sempit aku meminta Mas untuk bergeser ke belakang agar aku bisa leluasa berbicara dengan wanita itu.

"Kenalin, Ratih. Istri sah Pak Prasetyo," aku mengulurkan tangan pada wanita itu dengan penuh percaya diri tak lupa dengan senyum manis yang kubuat sedemikian rupa agar terkesan sinis. Ragu-ragu dia menyambut uluran tanganku.

"Apriliya Pratidina" ucapnya terbata.

"Udah tau. Tuh, di tanda pengenal sudah tertera.Maksudnya panggilannya siapa?" tanyaku padanya.

"Lily." Jawannya pendek.

Degghhh... wanita ini yang bernama Lily. Akhirnya aku bertemu dengannya. Kuakui Lily memang wanita yang sempurna. Hidungnya mancung, bibirnya tipis, matanya bulat dengan bulu yang lentik, alisnya melengkung indah seperti ulat bulu. Pantas saja, Mas Pras tertarik padanya.

Sekilas menurutku dia mirip dengan Mas Pras. Banyak orang yang bilang, bila sepasang kekasih wajahnya mirip itu tandanya mereka berjodoh. Apa iya dia berjodoh dengan suamiku? Lalu aku apanya?

"Ratih... Ratih," Mas Pras menyadarkanku dari lamunan. Ternyata tanpa sadar aku meremas tangan Lily terlalu kuat sehingga dia meringis kesakitan. Aku terkekeh kemudian melepaskan tangannya.

"Santai saja." Ucapku pada Mas Pras sambil mengedipkan mata.

"Maaf saya permisi." Pamit Lily sambil berlalu dengan wajah yang cemberut. "Cemberut aja, masih cantik," aku membatin. Aku menyusul dan menjajari langkahnya kemudian menghadang jalannya.

"Eh... kok buru-buru, sih. Padahal saya mau mengucapkan terimakasih, lho. Udah mau menemani suami saya ngobrol tiap malam sampai larut." Ucapku dengan nada bicara sok akrab dan wajah tulus yang kubuat-buat.

"Maaf saya buru-buru." Dia pergi dan kali ini aku tak mencegahnya.

"Apa-apaan sih kamu?" Mas Pras menghampiriku.

"Cuma bilang terima kasih. Salah?" jawabku dengan nada tak berdosa.

"Kamu gila, Ratih." Ucapanya setengah berbisik, tapi aku tau ada kemarahan yang tertahan, terselip dalam kata-kata itu.

"Oh, ya? Untung aku masih sabar, kalau enggak, sudah aku bunuh kalian berdua." Ucapku dengan nada mengancam dan sorot mata yang tajam. Mas Pras bergidik. Aku terkekeh melihatnya.

"By the way. Cantik." Ucapku sambil berlalu meninggalkan Mas Pras yang masih berdiri mematung di koridor.

Aku memberikan makanan yang aku bawa dari rumah kepada Pak Satpam. Panas udara siang ini tak sepanas suasana hatiku. Di balik helm yang aku kenakan air mata ini mengalir deras. Karena tidak konsentrasi menyetir, tiba-tiba.... Braaakkkkkk!!!! Kurasakan tubuhku terhempas. Kepalaku tiba-tiba pusing. Aku tak sanggup menggerakkan badanku. Mataku terasa berat. Dan semuanya gelap.

****-----*****

Aku merasa ada sebuah udara segar yang mengalir masuk melalui sebuah alat ke rongga hidungku. Aroma obat yang kental juga ikut masuk bersamaan dengan aliran udara segar itu. Kepalaku pusing. Aku mencoba membuka mataku. Kabur. Aku mengerjapkan mata agar pandanganku lebih jelas. Kulihat semuanya serba putih. Aku mencoba untuk bangun, Ah... rasanya leherku sakit bila bergerak sedikit saja. Aku merasa pedih di siku tangan sebelah kanan dan lututku. Dan kurasakan nyeri di tanganku, yang ternyata akibat jarum infus.

Aku tak tau sudah berapa lama aku berada di ruangan ini. Aku mencoba mengedarkan pandanganku ke seluruh ruangan dan aku menemukan seseorang di kursi yang tertidur di bibir ranjangku sebelah kiri dengan wajah tenggelam di antara kedua tangannya.

"Dimana aku?" Aku bertanya pada diriku sendiri. Dan dia terbangun. Dia Mas Pras, suamiku.

"Ratih, kamu sudah sadar?" ada pancaran rasa gembira di guratan wajahnya yang letih. Dia berlari menuju telepon yang berada di meja sebelah tempat tidurku, menekan tombol dengan kasar karena terburu-buru. Tak lama kemudian seorang pria berjas putih dengan berkalung stetoskop datang, diikuti seorang wanita muda dengan pakaian serba putih dan membawa peralatan, entah apa itu di tangannya. Dengan cekatan dokter itu melakukan pemeriksaan kepadaku dibantu oleh wanita muda itu.

"Alhamdulillah, Ibu Ratih sudah melewati masa kritisnya." Ucap pria itu ramah.

"Alhamdulillah." Jawab Mas Pras dengan penuh rasa syukur "Baiklah saya permisi dulu." Pria berjas putih itu berlalu diikuti wanita muda itu.

"Terima kasih, Dokter." Mas Pras mengantar dokter itu sampai ke pintu.

"Sayang, akhirnya kamu sadar juga. Ya Allah, terima kasih, " ucap Mas Pras lembut , yang justru membuat aku risih mendengar ucapannya.

"Aku keluar dulu, ya. Mau telepon sebentar," lanjutnya dengan senyum tipis tersungging di bibirnya. "Sejak kapan mau telepon pamit dulu?" kataku dalam hati. Dari balik kaca jendela aku bisa melihat dia sibuk menelpon beberapa orang. Sebentar kemudian dia masuk dan duduk di tepi ranjang.

"Berapa lama aku di sini?" tanyaku dengan suara parau.

"Kamu mengalami gegar otak karena benturan keras di kepala, beruntung waktu itu kamu pakai helm. Dan tidak sadarkan diri selama dua hari," ucapnya dengan tatapan mata yang sendu. Tiba-tiba pikiranku melayang pada Aya dan Alya. Bagaimana nasib kedua anakku ketika aku tidak sadar. Bagaimana Alya? Dia pasti mencariku. Aku tidak pernah meninggalkan dia selama ini.

"Aya.. Alya," ucapku terbata, namun rupanya Mas Pras mengerti maksud ucapanku.

"Tenang, sayang. Mereka bersama Ibu dan Mama." Ibu adalah panggilan kami untuk ibu Mas Pras, mertuaku. Sedangkan Mama adalah panggilan untuk Ibuku.

Tak lama kemudian Ibu datang, membawakan aku sekeranjang buah apel kesukaanku. Ibu meletakkan keranjang buah itu di meja telepon.

"Alhamdulillah kamu sudah siuman, Nak," sapanya sambil mecium pipiku.

"Aya dan Alya..." belum sempat aku menyelesaikan kata-kataku ibu sudah menyela, "Sudah jangan banyak bicara, kamu harus istirahat supaya bisa cepat pulang ke rumah. Mereka baik-baik saja. "

Aku menuruti ucapan Ibu untuk tidak banyak bicara. Dalam diam, ingatanku menerawang pada kejadian siang itu. Dan Ah.. adegan saat Mas Pras berjalan beriringan bersama wanita itu, cara dia bicara, cara dia menatap wanitanya tergambar jelas di mataku.

Tiba-tiba ada rasa benci yang amat dahsyat menyeruak dalam hatiku. Aku berpikir, ini semua gara-gara Mas Pras aku jadi harus terbaring lemah menjadi pesakitan. Anak-anakku menjadi terlantar tidak terurus. Seperti ada api yang membakar tubuhku. Dadaku terasa sesak mengingatnya. Kepalaku kembali pusing. Aku menjadi muak melihat wajah Mas Pras.

"Keluar!!!!" Aku berteriak histeris.

"Ratih, kamu kenapa, Nak?" Ibu kaget mendengarku berteriak.

"Suruh dia pergi Ibu. Aku benci. Aku tak mau melihat dia ada di sini!" Teriakku histeris sambil menunjuk ke arah Mas Pras.

"Ratih, ada apa? Ratih ..." Mas Pras bukannya keluar, justru ia datang menghampiriku dengan wajah terheran-heran.

"Pras, sudah! Cepat panggil dokter!" Bentak Ibu kepada Mas Pras.

Pria berjas putih itu datang lagi dan memberikan sebuah suntikan padaku.

"Ibu Ratih baru siuman. Tolong jaga emosinya agar tetap stabil," ucap pria itu kepada Mas Pras dan Ibu. Kemudian pria itu pergi.

Sesaat kemudian, aku merasa tidak bertenaga. Rasanya mengantuk. Dan aku tidak ingat apa-apa lagi.

****-*****

NEGERI PARA PENGHIANAT 7

Bab 7: Harap yang Menyala, Bukan Sekadar Cahaya Negeri ini telah berkali-kali disakiti oleh penguasanya sendiri. Diperas oleh tangan-tang...